Medan Story#2

November 08, 2015

Baca Juga

...sambungan dari Di Tanah Melayu Deli


"Disini, ada satu kendaraan yang berbahaya,"

Ridha, salah seorang pemandu mencoba mengambil perhatian kami yang sebagian masih dilanda jetlag. "Apa itu?" salah seorang penasaran bertanya.

"Becak gitu," sembari tangannya menunjuk keluar jendela bus, "kalau udah jalan di tengah kota, hanya Tuhan dan supirnya yang tahu kapan dia berhenti (mendadak)."

Penumpang seisi bus tertawa. Saya pernah mendengar lelucon serupa. Di kota kami, lelucon itu diutarakan untuk mobil angkutan umum, pete-pete. Salah satu kendaraan penyebab kemacetan kota, kendati membawa ragam kehidupan di dalamnya.

Ah ya, sedari meninggalkan bandara, saya melihat ada banyak kendaraan beroda tiga serupa becak berlalu-lalang di jalan-jalan kota. Jumlahnya bersaing dengan mobil angkutan umum. Dilihat sepintas, kendaraan itu mirip dengan angkutan khas di kota kami, becak motor a.k.a Bentor. Akan tetapi, ada yang berbeda dari bentuknya.

Becak mesin, khas Medan. (Foto: ImamR)
Di Medan, ternyata orang-orang mengenalnya dengan sebutan becak. Kata teman saya, ada dua ragam becak; becak mesin dan becak dayung. Di kota ini, bahasa Melayu masih kental dipakai dalam keseharian. Serupa kendaraan mobil yang disebut "kereta" oleh orang-orang Melayu.

Becak Mesin, masih serumpun dengan bentor di Makassar. Pun, penggunaannya tak banyak berbeda. Hanya modelnya saja yang cukup "aman" bagi penumpang. Itu lantaran kemudi supir dengan motornya berada di sebelah kanan ruang penumpang.

"Ini justru lebih safety dari bentor ya. Di Makassar, kalau ada apa-apa, justru penumpang yang jadi tameng di depan supirnya," tukas salah seorang teman saya.

Becak dayung? Hanya berbeda dari kendaraan pengangkutnya, sepeda. Di Medan, mendayung artinya sama dengan mengayuh pedal sepeda. Saya sempat salah mengartikannya sebagai mendayung di atas permukaan air, tak jauh dari perahu.

Saya tak lepas mengamati kendaraan khas kota itu. Justru, kendaraan tradisional sangat jarang melintas di jalan-jalan kota. Saya berpikir, nampaknya, becak-sepeda memang tak populer di kota ini.

Di samping modelnya yang lebih sederhana, motor yang dipakai sebagai "gandengan"nya juga bukanlah motor-motor keluaran terbaru. Sebagian besar justru memanfaatkan motor "laki" keluaran lama seperti GL-Pro, CB, dan sejenisnya. "Makanya, mungkin biaya ngebuatnya jauh lebih murah ya?" sambung teman saya lagi.

Keramaian kota Medan nyaris tak jauh berbeda dengan kota Makassar. Lalu lalang kendaraan tiap menitnya. Kemacetan di jam-jam sibuk. Gedung-gedung tinggi yang menjulang. Pasar dan mall yang terpisah di setiap kepadatan. Para pengemis yang masih bertahan satu-dua di lampu merah.

Akan tetapi, dari sisi estetika, saya cukup menyukai kota Batak ini. Kendati banyak tergusur dari para keluarga Tionghoa (keturunan China), pemerintah masih kukuh mempertahankan beberapa bangunan kolonialnya. Di beberapa ruas jalan, saya melihat beberapa bangunan milik pemerintah (bahkan swasta) yang dipugar tanpa meninggalkan nilai sejarahnya.

Gedung-gedung tinggi juga menjamur lebih banyak di Medan. Kota kami masih kalah banyak. Tetapi, itu mungkin hanya sementara, lantaran kota kami juga sedang giat-giatnya membangun gedung perhotelan hingga apartemen. Sebentar lagi, ketika Center Point of Indonesia (CPI) prakarsa Ciputra selesai dibangun di tepian Losari, Makassar bakal menjadi kota ramai hingar-bingar. Saya secepatnya harus mencari kedamaian dan perjalanan baru di luar kota.

Di kota kami, bangunan-bangunan tua mulai diruntuhkan. Berganti usia dengan kemegahan tatanan kota. Penglihatan makin sempit. Ruang makin menipis. Pantai kian terkikis. Kami harus berlomba-lomba menghirup udara segar yang dicemari polusi tak bersuara.

Mungkin, satu-dua bangunan tetap dipertahankan pemerintah. Hanya yang berlatar sebagai objek wisata, seperti benteng atau museum. If you know what i mean. Pemerintah kami terlalu sibuk membangun tatanan kota dunia tanpa peduli bangunan-bangunan yang mengingatkannya pada sejarah. Di tengah slogan andalan yang selalu bernuansa etnis daerah, bangunan-bangunan mewah dipugar tanpa henti.

Sungguh, di tanah Batak ini, kultur budaya dan estetika tempo doeloe-nya masih cukup menggiurkan bagi sebagian isi kepala saya. Mungkin, di suatu waktu nanti, menjadi pembuka jalan untuk kembali mengunjunginya...

***

Saya bersama rombongan atlet dilabuhkan di hotel berbintang lima. Jangan tanya seberapa tinggi gedungnya. Apalagi pelayanan kamarnya. Semua ada di tingkatan zona modernisasi. Untuk orang-orang sekelas saya, banyak hal-hal mewah yang masih luput di kepala.

Hanya berselang beberapa jam kedatangan, beberapa manajer cabang olahraga (cabor) harus mengikuti technical meeting Porseni, yang bakal dibuka besok. Sebagian orang memutuskan berisitirahat di kamar masing-masing. Tersisa saya, yang di saat-saat akhir baru mendapatkan kamar di lantai 17.

"Kamu ikut saya," ujar salah seorang pria saat bertemu saya di depan lift. Ia terlihat sibuk mondar-mandir kesana-kemari. Ia juga termasuk rombongan kami.

Awalnya, saya mengira dia salah satu petinggi perusahaan. Kelak, saya baru tahu bahwa ia merupakan pemilik PH (Production House) yang disewa perusahaan untuk mendokumentasikan event dua tahunan ini. Yah, termasuk karena ia dan seorang anggotanya berbagi kamar yang sama dengan saya.

Sembari mengecek GPS gadget, mengamati peta kota, mencari satu-dua tempat menarik dekat hotel, saya tertidur pulas di atas kasur hotel yang tak pernah saya rasai selama hidup di kost-kostan.




--Imam Rahmanto--


*Saya baru tahu, ternyata hari ini diperingati sebagai Hari Capuccino Dunia. Mari bersulang!!

You Might Also Like

0 comments