Di Tanah Melayu Medali

November 04, 2015

Baca Juga

 
(Foto: Imam R)

Horas!

Selamat datang di kota Medan.

Seperti mimpi saja ketika menginjakkan kaki di Bandara Kuala Namu. Perjalanan nyaris sembilan jam sudah bertemu hulunya. Sebuah kota yang dikenal dengan julukan Melayu Deli. Horas!

Sejatinya, perjalanan Makassar - Medan hanya menghabiskan waktu sekira empat jam. Akan tetapi, pesawat mesti transit dahulu di ibukota negara, Jakarta. Terkadang mampir di bandara itu bisa menghabiskan waktu hingga empat jam lamanya.

Gak apa-apa sudah. Saya tetap excited bisa tiba di kota Medan dengan selamat sentosa, hanya kekurangan barang bawaan. Kepala masih pusing gegara jetlag harus ditambahi "bonus" deadline berita yang meminta segera dikerjakan. Selisih waktu sejam antara Medan dan Makassar memaksa saya memenuhi tuntutan yang lebih cepat. Mengetik berita di dalam kendaraan yang sedang melaju, jadi pening pala aku...

***

Dua hari sebelumnya...

Medan seolah tak pernah masuk dalam daftar kota "wanna go" di kepala saya. Kendati menyaksikan beberapa teman pernah kesana, bercerita satu-dua bagiannya, saya tak begitu tergiur merancang perjalanan kesana. Dalam benak saya, kota itu sudah terpatok sebagai "tak-jauh-beda-dengan-Makassar". Saya jauh tertarik ke Kota Pelajar, Yogyakarta.

Tuhan memang selalu bekerja tak terduga.

"Oke, kamu berangkat ya. Sudah dipesankan tiket. Butuh surat atau tidak?" tanya suara dari seberang telepon.

Saya sedang duduk sendirian menyelesaikan satu-dua berita di tepian Lapangan Karebosi. Sesekali melirik orang-orang yang terobsesi menurunkan berat badannya. Otomatis, jantung saya berdetak tak biasanya, hidung saya sudah kembang kempis, bibir saya tak henti menyunggingkan senyum.

Saya sudah lama mengenal orang di ujung telepon itu. Diawali liputan perdana saya untuk perusahaannya, yang sementara menggelar turnamen olahraga. Dari hasil menggali informasi, mereka sedang menyiapkan bertandang di acara olahraga yang lebih besar di Medan.

Di dunia sekarang, saya belajar untuk lebih banyak mengenal orang lain. Lebih banyak berinteraksi. Menantang hingga mencoba hal-hal baru. Menyatukan semuanya dalam sebuah hubungan pertemanan. Yah, bagi saya (selalu), tak ada yang namanya rekan kerja. Otak kita sudah terlampau sumpek dengan istilah serba formal seperti itu. Apa susahnya kita menyebut semua orang sebagai teman kita?

"Siap, Pak. Nantilah saya coba tanya orang di kantor dulu. Apa butuh surat atau tidak," jawab saya segera.

"Jangan lupa besok ya pelepasannya," balasnya lagi.

Ajakan liputan keluar kota itu nyaris membuat saya melompat kegirangan. Saya hendak mengabarkannya kepada redaktur, yang sejak awal sudah mewanti-wanti untuk membangun dan menindaklanjuti hubungan dengan perusahaan itu.

Sedari awal, saya tetap memancang target ke kota itu. Tak ada salahnya memasang banyak target dalam list wanna go saya. Itu semacam doa tak kasat maya yang selalu memaksa sya berusaha melebihi batas kemampuan yang dimiliki.

Bagaimanapun, saya memang punya impian bisa mengunjungi banyak tempat. Selagi muda, mengunjungi kota-selain-Makassar adalah hal wajib. Go anywhere, know anyone...

***

Sehari sebelumnya...

"Besok ikut juga, kan?" tanyanya usai pelepasan kontingennya di halaman kantor perusahaannya. Pelepasan itu dihadiri langsung Direktur Personalia dan SDM-nya.

"Iya, Pak. Berangkat jam berapa?"

"Pagi-pagi, jam 7 kumpul di bandara,"

#jlebb. Saya punya kebiasaan bangun lewat dari jam itu. Entah kenapa semenjak dibebani desk olahraga, ritme pagi saya mulai terganggu. Tapi kelak, di kota Melayu Deli, ritme bangun lebih pagi saya kembali seperti sedia kala.

"Oke, Pak," tanpa tahu, saya harus mengakali apa bangun pagi nanti. Tetapi harus bangun pagi! Ini demi kemaslahatan saya...

"Tapi, saya butuh suratnya. Bisa, kan?" tanya saya lagi.

"Bisa. bisa. Atau saya kirimkan lewat email saja ya nanti?"

"Oke deh, Pak,"

***

Hm, namanya hal-hal baru memang selalu menawarkan kesegaran tertentu. Pikiran seolah terputar kembali menyisakan ruang untuk pengalaman-pengalaman baru. Bonus: teman-teman baru pastinya.

Buktinya, di bandara, saya bisa hadir lebih awal. Beberapa orang yang saya titipkan pesan untuk membangunkan di pagi hari ternyata tidak lebih mujarab dari usaha saya sendiri. Entah bagaimana prosesnya, kepala saya terparkir saja di pagi keberangkatan itu.  Itu seolah ada kekuatan (atau luapan perasaan gembira) yang berkata lewat alam bawah sadar saya, "Ayo, sudah saatnya bangun pagi!"

Dari bandara terbesar kedua di Indonesia, perjalanan kami menghabiskan waktu selama hampir dua jam. Sepanjang perjalanan, mata saya tak henti mengamati bangunan kota. Jalan. Gedung-gedung megah. Kios. Rambu-rambu. Poster. Baliho. Perempuan manis.

Sepintas, suasananya tak jauh beda dengan kota Makassar. Keramaiannya nyaris serupa. Hanya logat bahasanya saja yang berbeda. Pun, gedung-gedungnya, lebih menawarkan banyak kemegahan. Termasuk hotel tempat saya menginap, megah, menyatu dengan salah satu pusat perbelanjaan.

Walau begitu, saya tetap percaya bakal menemukan hal berbeda disini, di kota Melayu Deli...

Sekali lagi, percayalah, Tuhan memang selalu bekerja dengan cara yang terduga.

...to be continued

Merekalah para atlet dan manajer kontingen Pelindo IV, yang bakal menjaditeman-teman baru di kota orang. (Foto: ImamR)


--Imam Rahmanto--


*Saat menuliskan postingan ini, saya baru saja menyelesaikan sarapan di hotel. Saya dan teman-teman sedang bersiap ke lapangan pertandingan futsal.

You Might Also Like

0 comments