Kerabat

Oktober 10, 2015

Baca Juga

Seorang anak perempuan sedang bernyanyi-nyanyi kecil di samping pengemudi angkutan umum. Ia manis. Rambutnya ikal sebahu. Jaketnya dirapatkan ibunya sambil menemani sang buah hati berdendang lagu sederhana.

"Garuda Pancasila. Akulah pendukungmu. Patriot Proklamasi..."


Anak itu teramat riang di pangkuan ibunya. Saya hanya mengamati dari sisi lain di belakang supir. Sesekali menatap keluar jendela. Sesekali menyembunyikan senyum. *Duh, betapa menenangkannya melihat anak-anak kecil nan riang di tengah sumpeknya angkutan kota begini.

Hei, saya pernah seperti itu. Masa-masa kecil yang menyenangkan. Tanpa beban apa-apa. Bepergian bersama orang tua. Merajuk manja ke pelukan mamak. Meminta uang ke dompet bapak. Kalau mengilas masa-masa itu, mata kerap terasa basah. #ehh

"Berkibarlah benderaaaku.... Lambang suci gagah perwiraaaa. Di seluuuruh pantai Indoneeesia..." Lagu-lagu ini menjadi hafalan wajib di bangku TK dan SD dulu. Zaman sekarang, entah apakah masih sama.

***

Baru-baru ini, saya membesuk Pakde di rumah sakit. Sebenarnya, ia sudah sebulan lebih berobat di kota ini. Hanya jelang operasi ia baru diopname. Selebihnya, ia bisa rawat jalan. Pakde sekeluarga menginap di rumah salah seorang kerabat di perbatasan kota. Hanya agak menyulitkan bagi orang minus kendaraan seperti saya.

Saya mencoba untuk lebih dekat ke keluarga. Mengenal sebanyak mungkin kerabat yang masih hidup dan terjangkau penglihatan. Bapak selalu berpesan, "Kenal-kenal lah kerabatmu. Kau itu terlalu jauh dari keluarga." Saya hanya terdiam dan mengangguk. "Kelak, kalau bukan keluargamu sendiri, siapa lagi yang akan kau mintai pertolongan?"

Sejak dulu, saya memang agak jauh dari keluarga. Beranjak dewasa, ada banyak hal yang terpilin dan berputar di kepala saya. Something wrong or something change? Perlahan, kesadaran saya menguat. Mencocok-cocokkan segalanya dengan alur kehidupan yang saya miliki dan akan jalani. Berusaha mandiri, yang sejatinya membuat saya menjauh. Seolah tak mengingat keluarga.

Ternyata saya tak sedekat dulu dengan bapak dan mamak...

"Piye kabare, Pakde?" tanya saya ketika bertemu.

Ia tak bisa menjawab. Hanya memberi isyarat lewat gerak mulutnya. Berganti jawaban Mbokde yang mewakili dari sisinya. Selebihnya, anak lelakinya yang mengajak saya mengobrol basa-basi.

Tentang kerabat, saya lebih banyak mengenal mereka dari cerita bapak dan mamak. Kami sekeluarga teramat jarang berkunjung ke kampung nenek. Apalagi semenjak setengah badan bapak lumpuh seutuhnya. Tak bisa membawa kami kemana-mana. Bahkan sekadar mengunjungi seremoni wisuda saya dua bulan kemarin.

Khususnya kakak sulung bapak. Satu-satunya saudara yang menyaingi bapak merantau hingga ke Sulawesi Tenggara. Alhasil, mereka bisa memboyong kehidupan yang berkecukupan dari usaha membuka warung sari laut. Lebih dari apa yang bisa dicapai bapak hingga kini.

Sejujurnya, saya baru bertemu lagi dengan Pakde lebih dari sebulan lalu. Saat bapak mencemaskan kondisi saudara laki-lakinya lantaran penyakit yang mulai menggerogoti. "Kalau kamu ada waktu, sesekali kunjungilah mereka," saran bapak. Saya harus menurutinya, mengingat jejak kehidupan saya yang teramat jauh dari keakraban keluarga. Pelarian itu, dulu, sedikitnya memberikan beberapa harapan baru bagi saya.

Muka tirus kakak sepupu, baru saya kenali lagi lepas tiga tahun lamanya. Wajah adik lelakinya, menyerupai wajah ayahnya. Mungkin kecakapan rupanya memang menurun dari aura bapak dan ibunya. Adik lelaki bungsunya lagi, hampir menyamai proporsi tubuh adik perempuan saya. Seingat saya, usia mereka juga sepantaran. Kami, baru bertemu lagi rentang bertahun lamanya.

Selangkah demi selangkah, saya menjajal bertautan kembali dengan keluarga. Kian dewasa, saya mesti memahami ada hal-hal penting di jalur keluarga. Sebanyak apa pun saya menjalin persahabatan dengan orang luar, keluarga selalu menjadi tempat kembali satu-satunya. Berinteraksi dengan banyak karakter individu, mengajarkan saya untuk mengelola perasaan untuk lebih banyak bersabar. Lebih banyak berpikir positif. Mencerna semakin dalam. Hakikatnya, setiap orang selalu punya alasan untuk berbuat sesuatu, bukan?

Keluarga tak bisa disejajarkan dengan pertemanan. Ia tak sama. Tak setara. Semestinya komposisi persahabatan itu yang mengisi kedekatan dalam keluarga. Bahkan persahabatan sekali pun ada kemungkinan terputus di tengah jalan. Sementara keluarga selalu terikat oleh hubungan darah, meski diputus oleh lisan. Sekejam-kejamnya bapak memutus hubungan dengan anak, mencercanya dengan segala kata-kata kotor, pikirannya selalu tepaut pada anaknya. Benar kata pepatah, sekejam-kejamnya harimau, ia tak pernah memakan anaknya sendiri.

Kalau teman selalu menjadi tempat mencurahkan kegundahan, keluarga sejurusnya selalu mendapatkan jalurnya di segala penjuru. Toh, kemana lagi kita berpulang jika bukan pada keluarga? Dan Tuhan, tentunya...

***

Saya menutup telepon bapak yang disambungkan melalui hape Pakde. Mungkin, saking bahagia melihat keponakannya datang membesuk (meski operasinya harus ditunda), ia langsung menghubungi saudaranya di ujung telepon. Suara dari jarak delapan jam perjalanan berdengung parau dan menjejalkan banyak anjuran. Tak ketinggalan rutukan kepada dokter yang absen dan menyisakan Pakde yang berkemas hendak meninggalkan rumah sakit.

Alat komunikasi lipat itu masih di genggaman saya. Seusainya, saya mencoba mengetikkan nomor pribadi. Sejak kemarin, saya sangat sulit mendapatkan nomor handphone Pakde. Nomor yang dulu sudah tak aktif lagi. Kini saya memperoleh kesempatan menyimpan sendiri nomor terbarunya.

Seketika dengung alat komunikasi saya berbunyi. Di layarnya tertera nomor asing. #jlebb! Jantung saya berdetak. Hati saya mencelus. Pikiran saya sekelebat mengingat sesuatu tentang nomor itu.

...Nomor ini yang pernah meneror saya dengan cercaan pedas tanpa sekat kesopanan apa-apa, segala jenis kata-kata tak bajik, dulu, kala saya teramat-sangat (men)jauh dari keluarga...

Akh, sudahlah. Saya harus memaafkan, kendati jejeran pesan singkatnya masih tak lekang di ingatan.




--Imam Rahmanto--

You Might Also Like

0 comments