Ada yang Terlupa
Oktober 20, 2015Baca Juga
Seperti biasa, damn, saya terbangun di pertengahan jam delapan. Sudah sekian hari saya melalaikan shalat Subuh. Saya cemas, terbiasa begini kian mendekatkan saya pada hal-hal tak baik. Sungguh, mamak bilang demikian.
Di kepala, ada semacam kekangan yang ingin dilepas. Entah apa. Musabab belakangan ini terasa ganjil dalam mengerjakan sesuatu. Mungkin, bisa dibilang tak bersemangat. Iya, ada hal-hal yang nampaknya mengganggu alam bawah sadar. Mungkin, saya mesti berbuat bajik lebih banyak.
Beberapa kebiasaan memang hilang belakangan ini. Saya tak lagi meluangkan waktu sekadar membaca novel-novel ringan. Lupa rasanya duduk bersantai, membuka tiap halaman, mendengarkan musik, sembari menyorongkan segelas cappucino di bibir.
Satu-dua novel baru bisa saya tamatkan rentang dua-tiga bulan. Salah satunya, Dilan, karya Pidi Baiq. Novel yang betul-betul ringan, dan sebenarnya tidak memuat kepala mumet membacanya. Saya sedang (susah-payah) menyelesaikan seri keduanya...
Saya mulai lupa bangun pagi. Saya tak lagi berjumpa dengannya; mentari yang mencuat malu-malu dari pucuk pegunungan atau atap-atap rumah. Angin sepoi-sepoi yang membelai wajah yang belum dibasuh sabun. Mata yang belum genap bersih dari kotoran bekas tidur semalaman, silau oleh cahaya keemasan pagi. Saya rindu rasanya.
Saya jadi lupa rasanya liburan, lupa rasanya gunung, lupa rasa-rasa pasir, lupa asin laut, lupa bentuk pohon-pohon pinus, lupa belaian angin, lupa duduk-duduk, lupa bercengkerama bersama teman, lupa tertawa, lupa memandangi muka-muka cemberut, lupa kesasar, lupa mengelabui waktu, lupa menikmati senja, hingga lupa terlepas dari perangkat komunikasi. Saya butuh planet asing yang bisa mengungsikan diri dan mengembalikan ingatan-ingatan yang hilang itu.
Suatu waktu di planet antah-berantah...
"Hei, kamu makhluk asing, darimana asalmu?"
"Aku dari planet bumi, planet yang nyaris mati karena ditenggelamkan es yang mencair di kutub utara. Katanya, gegara pemanasan global. Di salah satu lempeng benuanya, ada negara yang disesaki manusia pesakitan, yang nyaris ditenggelamkan oleh asap. Yah, aku dari negeri asap,"
"Kamu tak diperbolehkan menginjakkan kaki disini?"
"Mengapa? Aku datang dengan niat baik, mencari dunia yang sepi dari hiruk-pikuk panggung politik dan pencitraan. Asap dimana-mana, hasil pembakaran tembakau dan pohon pinus,"
"Kami tak punya persediaan napas buatmu disini,"
"Mengapa? Aku membawa persediaanku sendiri,"
"Karena itu. Kami tak ingin apa yang kamu bawa mempengaruhi budaya yang telah lama dibangun nenek moyang kami sejak tujuh ratus tahun lalu. Kami jauh dari asap, maka pergilah. Cari tempat lain,"
Seolah-olah saya lupa bagaimana merasakan waktu-waktu "tak sibuk".
Sejujurnya, pekerjaan saya tak seformal pekerjaan lainnya. Hanya saja, waktu luang yang terselap-selip membuat saya lupa bagaimana cara menyisakannya untuk orang-orang yang membutuhkan. Tak sebanyak orang yang menuntutnya.
"Hei, kapan ada waktu? Ayo kita nonton,"
"Kamu ada waktu, ndak? Ayo kita keluar main ice skating,"
"Kapan kita bisa ngobrol berdua?"
"Kapan saya bisa melunasi janji (hutang) traktiran saya?"
"Kamu ada waktu? Datanglah menjenguk bapakmu,"
Satu-satunya hal santai yang belakangan memenuhi waktu santai hanyalah permainan Pe-Es. Saya sedang mengembangkan bakat olahraga di layar kaca itu. Nyaris tiga bulan semenjak mengawal desk olahraga di media-tempat-saya-bekerja, hampir setiap malam saya meluangkan waktu sebelum beranjak istirahat. "Ayo, kita adu tanding," hampir tiap malam seorang teman menjadi "korban" pelampiasan kekalahan saya. Belajar untuk tidak jadi pengecut dengan berkali-kali kalah, bukan?
Saya juga mulai lupa rasanya hujan. Semoga Tuhan bersegera melimpahkannya di bulan ini. Kekeringan mulai mengubah sebagian orang mendekati gejala gangguan kejiwaan.
Saya jadi rindu. Rindu liburan, rindu rasanya gunung, rindu berlari-lari, rindu rasanya pasir, rindu berendam di laut, rindu pohon-pohon pinus, rindu dibelai angin, rindu duduk-duduk, rindu bercengkerama bersama teman, rindu tertawa, rindu muka-muka cemberut, rindu kesasar, rindu menghitung senja, rindu mengelabui waktu, hingga rindu hal-hal sederhana, dan rindu kamu...
Apakah saya butuh liburan? Yah, sepertinya gemerisik daun-daun di luar sana mulai mengeja dan melafalkan nama saya...
Ternyata Tuhan menunjukkan jalur-Nya. Saya baru saja bertemu dengan seorang teman kampus semalam. Seangkatan dan seperjuangan di waktu kuliah. Ia sedikit lagi bakal menyelesaikan wisudanya. Saya menyodorkan bantuan seadanya. Saya juga pernah merasai detik-detik akhir masa mahasiswa sepertinya. Pun, kesulitannya.
Dalam hati, saya berpikir, mungkin Tuhan sengaja menyimpan-nyimpan sedikiy keuangan saya bulan ini. Tak biasanya pemasukan pas-pasan sebagai pewarta-magang bisa bertahan sejauh ini. Biasanya, belum genap paruh bulan, saya sudah megap-megap. Ternyata, Tuhan memang baik. Saya sedang diarahkan ke salah satu skenario semacam ini.
Di kepala, ada semacam kekangan yang ingin dilepas. Entah apa. Musabab belakangan ini terasa ganjil dalam mengerjakan sesuatu. Mungkin, bisa dibilang tak bersemangat. Iya, ada hal-hal yang nampaknya mengganggu alam bawah sadar. Mungkin, saya mesti berbuat bajik lebih banyak.
Beberapa kebiasaan memang hilang belakangan ini. Saya tak lagi meluangkan waktu sekadar membaca novel-novel ringan. Lupa rasanya duduk bersantai, membuka tiap halaman, mendengarkan musik, sembari menyorongkan segelas cappucino di bibir.
Satu-dua novel baru bisa saya tamatkan rentang dua-tiga bulan. Salah satunya, Dilan, karya Pidi Baiq. Novel yang betul-betul ringan, dan sebenarnya tidak memuat kepala mumet membacanya. Saya sedang (susah-payah) menyelesaikan seri keduanya...
Saya mulai lupa bangun pagi. Saya tak lagi berjumpa dengannya; mentari yang mencuat malu-malu dari pucuk pegunungan atau atap-atap rumah. Angin sepoi-sepoi yang membelai wajah yang belum dibasuh sabun. Mata yang belum genap bersih dari kotoran bekas tidur semalaman, silau oleh cahaya keemasan pagi. Saya rindu rasanya.
Saya jadi lupa rasanya liburan, lupa rasanya gunung, lupa rasa-rasa pasir, lupa asin laut, lupa bentuk pohon-pohon pinus, lupa belaian angin, lupa duduk-duduk, lupa bercengkerama bersama teman, lupa tertawa, lupa memandangi muka-muka cemberut, lupa kesasar, lupa mengelabui waktu, lupa menikmati senja, hingga lupa terlepas dari perangkat komunikasi. Saya butuh planet asing yang bisa mengungsikan diri dan mengembalikan ingatan-ingatan yang hilang itu.
Suatu waktu di planet antah-berantah...
"Hei, kamu makhluk asing, darimana asalmu?"
"Aku dari planet bumi, planet yang nyaris mati karena ditenggelamkan es yang mencair di kutub utara. Katanya, gegara pemanasan global. Di salah satu lempeng benuanya, ada negara yang disesaki manusia pesakitan, yang nyaris ditenggelamkan oleh asap. Yah, aku dari negeri asap,"
"Kamu tak diperbolehkan menginjakkan kaki disini?"
"Mengapa? Aku datang dengan niat baik, mencari dunia yang sepi dari hiruk-pikuk panggung politik dan pencitraan. Asap dimana-mana, hasil pembakaran tembakau dan pohon pinus,"
"Kami tak punya persediaan napas buatmu disini,"
"Mengapa? Aku membawa persediaanku sendiri,"
"Karena itu. Kami tak ingin apa yang kamu bawa mempengaruhi budaya yang telah lama dibangun nenek moyang kami sejak tujuh ratus tahun lalu. Kami jauh dari asap, maka pergilah. Cari tempat lain,"
Seolah-olah saya lupa bagaimana merasakan waktu-waktu "tak sibuk".
Sejujurnya, pekerjaan saya tak seformal pekerjaan lainnya. Hanya saja, waktu luang yang terselap-selip membuat saya lupa bagaimana cara menyisakannya untuk orang-orang yang membutuhkan. Tak sebanyak orang yang menuntutnya.
"Hei, kapan ada waktu? Ayo kita nonton,"
"Kamu ada waktu, ndak? Ayo kita keluar main ice skating,"
"Kapan kita bisa ngobrol berdua?"
"Kapan saya bisa melunasi janji (hutang) traktiran saya?"
"Kamu ada waktu? Datanglah menjenguk bapakmu,"
Satu-satunya hal santai yang belakangan memenuhi waktu santai hanyalah permainan Pe-Es. Saya sedang mengembangkan bakat olahraga di layar kaca itu. Nyaris tiga bulan semenjak mengawal desk olahraga di media-tempat-saya-bekerja, hampir setiap malam saya meluangkan waktu sebelum beranjak istirahat. "Ayo, kita adu tanding," hampir tiap malam seorang teman menjadi "korban" pelampiasan kekalahan saya. Belajar untuk tidak jadi pengecut dengan berkali-kali kalah, bukan?
Saya juga mulai lupa rasanya hujan. Semoga Tuhan bersegera melimpahkannya di bulan ini. Kekeringan mulai mengubah sebagian orang mendekati gejala gangguan kejiwaan.
Saya jadi rindu. Rindu liburan, rindu rasanya gunung, rindu berlari-lari, rindu rasanya pasir, rindu berendam di laut, rindu pohon-pohon pinus, rindu dibelai angin, rindu duduk-duduk, rindu bercengkerama bersama teman, rindu tertawa, rindu muka-muka cemberut, rindu kesasar, rindu menghitung senja, rindu mengelabui waktu, hingga rindu hal-hal sederhana, dan rindu kamu...
Apakah saya butuh liburan? Yah, sepertinya gemerisik daun-daun di luar sana mulai mengeja dan melafalkan nama saya...
(Sumber: pixabay.com) |
***
Ternyata Tuhan menunjukkan jalur-Nya. Saya baru saja bertemu dengan seorang teman kampus semalam. Seangkatan dan seperjuangan di waktu kuliah. Ia sedikit lagi bakal menyelesaikan wisudanya. Saya menyodorkan bantuan seadanya. Saya juga pernah merasai detik-detik akhir masa mahasiswa sepertinya. Pun, kesulitannya.
Dalam hati, saya berpikir, mungkin Tuhan sengaja menyimpan-nyimpan sedikiy keuangan saya bulan ini. Tak biasanya pemasukan pas-pasan sebagai pewarta-magang bisa bertahan sejauh ini. Biasanya, belum genap paruh bulan, saya sudah megap-megap. Ternyata, Tuhan memang baik. Saya sedang diarahkan ke salah satu skenario semacam ini.
--Imam Rahmanto--
0 comments