Sepak Bola yang Njlimet

Oktober 24, 2015

Baca Juga

"Itu si Muchlis. Yang nomor 27 itu Maldini. Terus Dewa yang nomor punggung 25," gumam saya dalam hati.

Perlahan, saya mulai mengenali para pemain-pemain skuat Pasukan Ramang - julukan PSM -. Bagaimana tidak, saban sore saya mesti menyambangi latihannya. Mengikuti perkembangan skuat kebanggaan masyarakat Sulsel itu mempermantap persiapan turnamen. FYI, di pertengahan November nanti ada perhelatan besar juga mempertemukan 14 klub ISL di Indonesia. Itu menjadi turnamen kedua yang digelar Mahaka sebagai salah satu operator pertandingan semenjak Liga Indonesia dibekukan.

Nyaris empat bulan saya menyelami dunia olahraga ini, khususnya dunia sepak bola. Saya mulai memahami bagaimana sepak bola membangun hubungan antar masyarakat, termasuk antara insan pelaksananya dengan masyarakat sebagai penikmatnya. Lambat laun, di kepala saya juga mulai menjalar, bagaimana peduli mengamati kisruh sepak bola yang sudah mengungkung negeri ini.

Semula, saya hanya sekadar menjalankan tugas di dunia sepak bola ini. Sebagai seorang pewarta yang baik, sudah menjadi tugas saya menyelesaikan setiap liputan yang dibebankan oleh atasan. Sebagai pewarta yang baik pula, saya wajib banyak tahu dan menggali segala hal terkait spesialisasi itu.

Waktu ternyata selalu berhasil mengubah seseorang. Mungkin, waktu pula yang mampu menanamkan cinta di hati seseorang.

Sedikit demi sedikit, perhatian saya mulai teralih ke dunia yang dulunya terasa asing. Saya banyak belajar dari interaksi dengan para pegiat olahraga kulit bundar itu. Para legenda yang awalnya sama sekali tak saya kenali. Diskusi, curhat, berbagi pengalaman menjadi lorong waktu yang mengangkat isi kepala saya untuk belajar peduli terhadap sepak bola di Indonesia.

"Sepak bola kita terlalu banyak masalah," hal yang kerap saya dengarkan di lapangan.

Saya sejatinya mengiyakan hal itu. Hati saya bergetar menyaksikan langsung euforia para suporter menyaksikan tim kesayangannya bertanding. Seperti apa tingkah mereka yang begitu "mencintai" klub-klub yang mendominasi pakaian mereka di tribun stadion. Wajar, Kalau sudah cinta, logika entah kemana.

(Sumber: google.com)
Euforia itu mengalir bersamaan dengan rutinitas saya mengamati perkembangan sepak bola. Bagaimana pun, yang namanya semangat memang selalu menemukan jalannya untuk menular. Betapa saya (dan masyarakat pecinta sepak bola) mulai merindukan sepak bola Indonesia mulai bergulir kembali. Pun, saya seolah merasa memiliki.

Akh...sejujurnya, saya belum banyak mengerti bola. Saya belum paham, kenapa Kemenpora begitu kukuh membekukan PSSI, yang katanya ditengarai banyak diisi mafia pertandingan. Saya tak habis pikir, kisruh yang terjadi antara institusi yang seharusnya berjalan beriringan itu mulai merembes ke ranah pribadi.

Katanya, Menpora sangat-amat-teramat berseberangan dengan Ketua PSSI. Katanya, dulu bermula di suatu pemilihan ketua. Tidak adakah dari keduanya yang ingin berdamai? Mengalah, bukan berarti kalah. Ini bukan lagi soal ego pribadi, melainkan kepentingan banyak orang.

Sebagai orang yang pernah mengecap dunia organisasi, saya pernah belajar menjadi pemimpin yang baik. Pemimpin yang baik itu tak lagi berpikir tentang dirinya sendiri. Ia tak lagi hidup sendiri. Di kepalanya bukan lagi seputar "bagaimana dengan aku". Melainkan, ia seharusnya belajar berpikir, "bagaimana dengan mereka" yang dipimpinnya.

Bukankah orang tua kita hidup memimpin anak-anaknya tanpa pernah berpikir tentang diri sendiri? Mau beli baju, ia berpikir dulu bagaimana dengan anak-anaknya. Mau makan, mereka akan menyuruh anak-anaknya menyantap duluan. Mau bekerja, mereka tak pernah malu diolok-olok, asalkan anak-anaknya bisa makan.

Lihatlah di luar sana, para pemain sepak bola yang terpaksa "turun kasta" demi sesuap nasi. Mereka yang tergolong "artis" di lapangan sepak bola harus turun merumput di turnamen-turnamen antar kampung. Saya pertama kali menyaksikan laga para bintang ISL itu secara langsung di Liga Ramadan.

Evan Dimas (merah) saat bermain di Liga Ramadan Makassar. (Foto: Tawakkal-FAJAR)
PSSI dibekukan, berujung pada Liga Indonesia yang berhenti mendadak. Kemenpora tak lagi mengizinkan pertandingan digawangi PSSI. Alhasil, para pemain harus mencari pertandingan yang bisa memakai jasa mereka, meskipun dibayar dengan hitungan tiap laga di lapangan.

Jelang akhir bulan ini, salah satu turnamen besar di Parepare (Habibie Cup) yang mengikutsertakan klub-klub daerah juga dibanjiri para pemain bintang. Mereka menyeberang ke pelosok daerah Sulsel dengan harapan bisa dibayar mahal. Karena kompetisi di Indonesia sedang vakum, pemerintah daerah berlomba-lomba menggaet para bintang ISL itu. Di samping unsur politis, setidaknya mereka sudah berniat memberikan hiburan yang bagus bagi masyarakat.

Mau bagaimana lagi? Liga berhenti, banyak klub yang tidak lagi mengakomodasi pemainnya lantaran lowong jam pertandingan resmi. Sementara penghasilan klub, setahu saya, sebagian besar berasal dari hasil-hasil pertandingan yang digelar di Indonesia. Para sponsor baru mengalirkan dukungannya jika pertandingan berjalan dan dinikmati masyarakat.

"Klub butuh pertandingan, masyarakat butuh hiburan,"

Satu hal yang saya pahami. Ketika laga berlangsung, betapa kehidupan begitu menjalar di sekitar lapangan pertandingan. Suporter yang berseru-seru mendukung tim kesayangannya. Pedagang asongan berkeliling di sepanjang tribun. Anak-anak yang tak tahu hendak kemana diajak kakak-kakaknya menyaksikan idolanya. Para pemain yang sumringah diadang para fans-fansnya. Mereka takjub dan berdegup di tengah lapangan karena bermain dikelilingi para pendukungnya. Lapangan seolah kembali bernyawa. Ada tawa dimana-mana.

"Kami rindu geliat keramaian itu," bahasa seluruh gurat wajah para suporter dan masyarakat pecinta bola.

Saya mulai memahami, sepak bola ternyata menghidupi banyak orang. Dari rakyat kecil, hingga para petinggi yang tak tahu berterima kasih. Tengoklah di laga final Piala Presiden kemarin. Stadion Gelora Bung Karno sungguh menjadi pemandangan menakjubkan bagi masyarakat pecinta sepak bola. Itu semacam wujud kerinduan yang membuncah ke ubun-ubun. Seperti rasanya saat berjumpa seseorang yang kerap dirindukan.

Kendati tak paham pokok perkaranya, saya hanya berharap Menpora, PSSI cepat akur. Saya tak perlu menghakimi siapa yang salah. Berdamai sajalah. Jangan mengacaukan sepak bola Indonesia yang kian terpuruk. Berhentilah mengobarkan kebencian, yang mengorbankan masyarakat di nusantara.

Seharusnya segala kepentingan pribadi dipinggirkan dahulu dan duduk bersama membahas kepentingan masyarakat. Cukuplah masyarakat muak dengan panggung sandiwara perpolitikan Indonesia. Tak usah sandiwara semacam itu merembet ke ranah olahraga.

Kalau ibu pertiwi sudah bosan dimonopoli para petinggi negeri, maka ajarkanlah kami bersikap ksatria di tengah hijaunya lapangan nusantara...

Klub Persib memboyong juara pertama di Piala Presiden. (Foto: bola.com)


--Imam Rahmanto--

You Might Also Like

0 comments