7# Kerja dan Ibadah
Juni 24, 2015Baca Juga
Ramadhan#7 |
Ini sudah seminggu bulan puasa berlalu. Hari ketujuh. Saya tidak tahu hendak bercerita tentang apa. Sedang dalam masa terkantuk-kantuk lantaran 20 jam yang lalu belum mengistirahatkan mata. Untuk sahur pun saya tidak perlu dibangunkan. Saya sudah terbangun sebelum teman-teman lainnya menyiapkan santapan sahur.
Mata saya terpaku di depan dekstop. Mengutak-atik sedikit keahlian yang sudah lama saya tinggalkan. Seorang teman meminta bantuan, emm...sebenarnya saya juga sih yang menawarkannya, untuk editing majalah yang sudah disiapkan anak didiknya. Entah setan apa yang mengusik sampai saya mau bersusah-susah me-refresh kembali ingatan design and layouting. #fiuhh
Teman saya ini sudah setahun lebih berprofesi sebagai guru di kampung halamannya. Masih sebagai guru.honorer. Wajar, di usia-usia kami yang masih "panas" dicetak dari perguruan tinggi masih belum sampai menempati posisi strategis Pe-En-Es. Baru untuk urusan percetakan majalah ini, teman saya yang perempuan itu punya kesempatan buat melenggang keluar dari kampung halamannya.
"Guru memang bukan jiwa saya nampaknya," ujarnya.
Saya banyak mendengar luapan cerita darinya. Tentang ia yang menjalani profesi guru sebagai dalih menghindari pengangguran. Setahun lebih menjalaninya, ia benar-benar takluk oleh waktu. Tak ada kompromi tentang passion yang hingga kini masih belum didapatinya. Padahal, kami dulu tak seakrab seperti sekarang. Terkadang jarak dan waktu.justru mengajarkan kita tentang kedekatan yang sesungguhnya.
"Kalau kau beruntung mendapatkan pekerjaan yang sesuai minat, keinginan, atau passionmu, sungguh hal beruntung sekaligus menyenangkan. Karena ada hal-hal tertentu yang memang tak bisa diukur dari banyaknya gaji,"
Di bulan Ramadhan, patokan ibadah bisa diukur dari sejauh mana kita menjalani pekerjaan. Entah itu pekerjaan yang disenangi, atau justru pekerjaan yang dipaksakan. Bagi saya, semua pekerjaan bernilai ibadah. Asalkan dilakukan setulus hati.
Yang tersisa, sudahkah kita bekerja sesuai minat dan keinginan kita? Kalau sudah, maka saya yakin, soal uang akan jadi pertimbangan kesekian. Setiap kerja bernilai ibadah...
Ini sudah seminggu bulan puasa berlalu. Hari ketujuh. Saya tidak tahu hendak bercerita tentang apa. Sedang dalam masa terkantuk-kantuk lantaran 20 jam yang lalu belum mengistirahatkan mata. Untuk sahur pun saya tidak perlu dibangunkan. Saya sudah terbangun sebelum teman-teman lainnya menyiapkan santapan sahur.
Mata saya terpaku di depan dekstop. Mengutak-atik sedikit keahlian yang sudah lama saya tinggalkan. Seorang teman meminta bantuan, emm...sebenarnya saya juga sih yang menawarkannya, untuk editing majalah yang sudah disiapkan anak didiknya. Entah setan apa yang mengusik sampai saya mau bersusah-susah me-refresh kembali ingatan design and layouting. #fiuhh
Teman saya ini sudah setahun lebih berprofesi sebagai guru di kampung halamannya. Masih sebagai guru.honorer. Wajar, di usia-usia kami yang masih "panas" dicetak dari perguruan tinggi masih belum sampai menempati posisi strategis Pe-En-Es. Baru untuk urusan percetakan majalah ini, teman saya yang perempuan itu punya kesempatan buat melenggang keluar dari kampung halamannya.
"Guru memang bukan jiwa saya nampaknya," ujarnya.
Saya banyak mendengar luapan cerita darinya. Tentang ia yang menjalani profesi guru sebagai dalih menghindari pengangguran. Setahun lebih menjalaninya, ia benar-benar takluk oleh waktu. Tak ada kompromi tentang passion yang hingga kini masih belum didapatinya. Padahal, kami dulu tak seakrab seperti sekarang. Terkadang jarak dan waktu.justru mengajarkan kita tentang kedekatan yang sesungguhnya.
"Kalau kau beruntung mendapatkan pekerjaan yang sesuai minat, keinginan, atau passionmu, sungguh hal beruntung sekaligus menyenangkan. Karena ada hal-hal tertentu yang memang tak bisa diukur dari banyaknya gaji,"
Di bulan Ramadhan, patokan ibadah bisa diukur dari sejauh mana kita menjalani pekerjaan. Entah itu pekerjaan yang disenangi, atau justru pekerjaan yang dipaksakan. Bagi saya, semua pekerjaan bernilai ibadah. Asalkan dilakukan setulus hati.
Yang tersisa, sudahkah kita bekerja sesuai minat dan keinginan kita? Kalau sudah, maka saya yakin, soal uang akan jadi pertimbangan kesekian. Setiap kerja bernilai ibadah...
--Imam Rahmanto--
0 comments