8# Sahur
Juni 25, 2015Baca Juga
Semalam, saat tak sengaja mengulur-ulur timeline di jejaring sosial, saya menemukan "status" galau seorang teman. Ia mengeluhkan sahurnya. Katanya, tak ada orang yang menemani. Kesepian.
Beruntung, Ramadhan tahun ini, saya belum pernah sahur sendirian. Sebisa mungkin, saya akan "mengungsi" ke redaksi kampus untuk sahur bersama teman-teman lainnya. Dua-tiga kali saya pernah ketiduran di kost usai menjalani rutinitas peliputan, namun jelang sahur saya akan melenggang kembali ke sana. Disana, ramai. Ritmik yang selalu digali dan dirindui
Saya tahu rasanya sahur sendirian. Bukan hanya saya. Semua yang pernah menjadi anak-anak kost, atau perantau pasti pernah merasakannya. Bagaimana susahnya menyediakan sendiri santapan sahur. Berpacu dengan waktu, yang terkadang kita malah melewatkannya. Bangun di saat matahari sudah nyaris terang-benderang. Kalau bareng teman kan, bisa saling mengingatkan.
Di kampung halaman, suasana puasa juga lebih terasa. Ada ibu yang membangunkan di waktu jelang sahur. Ada bapak yang melarang tidur seusai sahur. Kami lebih sering menanti waktu imsak dengan menonton tayangan-tayangan tivi tak berkualitas.
Tak jarang pula ada orang-orang yang berpuasa tanpa sahur. Entah sengaja maupu tidak.
Dulu, di luar Ramadhan, saya sering melakukannya lantaran tak tahu caranya bangun dini hari. Saya termasuk orang yang sulit bangun di waktu yang diinginkan. Setiap kali hendak menjalankan puasa, saya cukup makan sebelum tidur dan melewatkan waktu sahur tanpa sedikit pun rasa bersalah. Toh, saya merasa kuat-kuat saja menjalani ibadah puasa tanpa perlu repot-repot sahur. #nyombong
Hanya saja, saya pernah mendapati bacaan bahwa salah satu syariat yang membedakan puasa orang Islam dengan orang non-Islam adalah sahur. Dari sana, saya mulai mengubah pola puasa saya. Jika hendak menjalankan puasa, baik wajib maupun sunnah, paling tidak saya menyempatkan waktu sahur.
Meskipun sahur bukan rukun puasa, namun sahur bisa menjadi pembeda ciri puasa kita dengan agama lain. Sempatkanlah sahur di tiba waktunya meski sekadarnya saja. Meski dengan segelas cappuccino.
Bagi saya, sahur bukan soal persiapan menghadapi kegiatan tak makan-minum sehari penuh. Sahur menjadi penanda kita akan melaksanakan puasa. Jika sahur hanya menjadi pengisi perut jelang puasa sehari penuh, maka kita seharusnya tak butuh lagi mengeluh karena lapar. Bukankah dengan sahur seharusnya umat Islam jadi kuat berpuasa? Artinya, banyak sedikitnya konsumsi sahur tak selalu menjadi jaminan kita kuat berpuasa.
Tak perlu banyak-banyak. Seadanya saja. Nanti pas buka puasa baru banyak-banyak. Hahaha...
*Saat menuliskan ini, saya sedang menanti waktu berbuka puasa di tempat tugas. Backsong: ost. film Begin Again. Saya sengaja lebih sering mengisi "rumah" saya di waktu puasa ini. Hanya sebentuk challenge to myself. Yang namanya keterampilan harus lebih sering diasah, bukan sekadar diimpikan.
Beruntung, Ramadhan tahun ini, saya belum pernah sahur sendirian. Sebisa mungkin, saya akan "mengungsi" ke redaksi kampus untuk sahur bersama teman-teman lainnya. Dua-tiga kali saya pernah ketiduran di kost usai menjalani rutinitas peliputan, namun jelang sahur saya akan melenggang kembali ke sana. Disana, ramai. Ritmik yang selalu digali dan dirindui
Saya tahu rasanya sahur sendirian. Bukan hanya saya. Semua yang pernah menjadi anak-anak kost, atau perantau pasti pernah merasakannya. Bagaimana susahnya menyediakan sendiri santapan sahur. Berpacu dengan waktu, yang terkadang kita malah melewatkannya. Bangun di saat matahari sudah nyaris terang-benderang. Kalau bareng teman kan, bisa saling mengingatkan.
Di kampung halaman, suasana puasa juga lebih terasa. Ada ibu yang membangunkan di waktu jelang sahur. Ada bapak yang melarang tidur seusai sahur. Kami lebih sering menanti waktu imsak dengan menonton tayangan-tayangan tivi tak berkualitas.
Tak jarang pula ada orang-orang yang berpuasa tanpa sahur. Entah sengaja maupu tidak.
Dulu, di luar Ramadhan, saya sering melakukannya lantaran tak tahu caranya bangun dini hari. Saya termasuk orang yang sulit bangun di waktu yang diinginkan. Setiap kali hendak menjalankan puasa, saya cukup makan sebelum tidur dan melewatkan waktu sahur tanpa sedikit pun rasa bersalah. Toh, saya merasa kuat-kuat saja menjalani ibadah puasa tanpa perlu repot-repot sahur. #nyombong
Hanya saja, saya pernah mendapati bacaan bahwa salah satu syariat yang membedakan puasa orang Islam dengan orang non-Islam adalah sahur. Dari sana, saya mulai mengubah pola puasa saya. Jika hendak menjalankan puasa, baik wajib maupun sunnah, paling tidak saya menyempatkan waktu sahur.
Meskipun sahur bukan rukun puasa, namun sahur bisa menjadi pembeda ciri puasa kita dengan agama lain. Sempatkanlah sahur di tiba waktunya meski sekadarnya saja. Meski dengan segelas cappuccino.
Bagi saya, sahur bukan soal persiapan menghadapi kegiatan tak makan-minum sehari penuh. Sahur menjadi penanda kita akan melaksanakan puasa. Jika sahur hanya menjadi pengisi perut jelang puasa sehari penuh, maka kita seharusnya tak butuh lagi mengeluh karena lapar. Bukankah dengan sahur seharusnya umat Islam jadi kuat berpuasa? Artinya, banyak sedikitnya konsumsi sahur tak selalu menjadi jaminan kita kuat berpuasa.
Tak perlu banyak-banyak. Seadanya saja. Nanti pas buka puasa baru banyak-banyak. Hahaha...
*Saat menuliskan ini, saya sedang menanti waktu berbuka puasa di tempat tugas. Backsong: ost. film Begin Again. Saya sengaja lebih sering mengisi "rumah" saya di waktu puasa ini. Hanya sebentuk challenge to myself. Yang namanya keterampilan harus lebih sering diasah, bukan sekadar diimpikan.
--Imam Rahmanto--
0 comments