Perbincangan Kopi

Mei 19, 2015

Baca Juga

Malam belum benar-benar larut gulita ketika kami tinggal berdua. Saya, dan seorang teman. Di beranda sebuah sekretariat lembaga pers kampus. Membincangkan banyak hal. Sesekali, bergosip hal yang remeh-temeh.

Beberapa jam sebelumnya, saya baru saja pulang dari rutinitas malam di kantor. Setiap malam, kami wajib mengikuti rapat redaksi, pembahasan terkait rencana-rencana liputan yang akan dijalankan esok harinya. Sebagai "anak baru" di media profesional, saya harus banyak bersosialisasi pula di kantor. 


Di penghujung kedua mata nyaris mengatup, kami terlibat beberapa perbincangan yang menarik. Tentang kopi. Kenapa pula baru sekarang saya berbincang tentang kopi di blog yang sebagian besar kepalanya merujuk pada kopi?

Yah, salah satu minuman yang sebenarnya menjadi komoditas di daerah domisili saya, Kabupaten Enrekang. Sementara, teman saya yang sebagian keluarganya juga berasal dari sana, juga punya pengalaman sebagai seorang barista. Nyaris setahun lamanya ia bergelut dengan kopi dan racikannya.

"Di Enrekang, ada kopi arabika ya? Kopi kalosi itu apa termasuk kopi arabika?"

Ada satu hal yang ingin saya luruskan dalam hal ini. Kopi kalosi memang tergolong dalam rumpun kopi arabika. Hanya saja, penamaan "Kalosi" itu sebenarnya tidak mengacu pada daerah penghasil kopinya.

Sekali waktu, berkunjunglah ke daerah yang disebut Kalosi itu. Di sana, sejauh saya mengenalnya, tak ada kopi spesial seperti yang selama ini di-branding-kan. Wilayahnya lebih cenderung ke arah perkotaan yang menjadi pusat perdagangan dan distribusi beberapa komoditi. Nah, mungkin atas dasar itulah, penamaan "Kalosi" melekat pada nama kopi arabika.

"Dan lagi, daerah Kalosi itu tepat terlihat di dalam peta, kan?" ujar saya sedikit bercanda. 

Nama Kalosi sendiri, sejak kapan ia digunakan sebagai nomina sebuah kopi yang merepresentasikan daerah sekaligus cita rasa, masihlah kabur. Secara historis, penamaan suatu kopi dengan identitas tempat bisa bermakna macam-macam. Dua makna yang paling sering dipakai adalah nama tempat dan pelabuhan. Seperti nama Java atau Jawa dan Mukha, pada abad 19, itu tidak berarti kopi tersebut ditanam di daerah Pulau Jawa dan Mukha, melainkan juga bisa berarti kopi yang diberangkatkan dari suatu pelabuhan di Pulau Jawa atau di Mukha. Kalosi sendiri bisa berarti pasar dan tempat. Meski di Kalosi ada tanaman kopi, pada saat yang sama mempertimbangkan sebaran kopi spesial Kalosi (sekali lagi, kopi spesial [specialty coffee] bukan kopi secara umum) di berbagai daerah di luar Kalosi yang melampaui daya produksi tanaman kopi di Kalosi, kopi Kalosi bisa berarti kopi yang dibeli atau dijual oleh penjual kopi asalan di pasar Kalosi yang kopinya bisa berasal dari luar Kalosi. --Sumber--

Sementara itu, saya pernah bertemu dengan seorang distributor kopi arabika dari Enrekang. Ia bercerita, sebetulnya kopi arabika yang dilabeli nama "Kalosi" itu berasal dari daerah pegunungan Benteng Alla Utara. Dari Kalosi, berjalanlah ke arah utara hingga menanjak ke area pegunungan tinggi. Di tempat itulah perkebunan kopi banyak ditemui. Biji kopi yang siap dijual, kemungkinan besar berasal dari tempat ini dan dipasarkan di sekitar Kalosi. Wajar ketika orang-orang lebih mengenalnya dengan nama Kopi Kalosi.

Hingga kini, lelaki yang bukan asli tanah Massenrempulu itu justru gencar mebangun branding Kopi Kalosi dengan nama Kopi Benteng Alla. Katanya, ia hendak mengembalikan kejayaan nama penghasil komoditas utama kopi itu.

"Orang kan tahunya cuma Kopi Kalosi dan Kopi Toraja. Sementara mereka sebenarnya tak pernah dasar, yang dinamakan Kopi Kalosi itu adalah Kopi Benteng Alla," saya menjelaskan kepada teman, berdasar pengamatan yang selama ini saya temui di daerah Enrekang.

Penampakan daerah Benteng Alla Utara, yang terkenal sebagai penghasil kopi di Enrekang. (Sumber: philocoffeeproject)
Ketika siap dipanen. (Sumber: philocoffeeproject)

Entah bagaimana caranya, perbincangan kami berputar pada bagian coffeeshop. "Di Makassar memang sudah banyak saya temui orang-orang yang 'latah' mendirikan kafe," ujar teman saya. Sebagai orang yang pernah menghabiskan waktunya bekerja di kafe, ia paham betul tentang mekanisme pasar dan pertumbuhannya.

Memang, bukan hal yang asing lagi. Di kota kami, ada banyak coffeeshop yang menjamur. Satu per satu muncu dengan konsep masing-masing. Msekipun nyaris semuanya berkonsep dasar vintage. Akan tetapi, persaingan kafe semacam itu justru semakin memperkeruh esensi para pecinta kopi yang hendak menikmati kopi.

Fenomenanya, coffeeshop yang ada kini justru tidak bersifat sebagai "toko kopi". Lihat saja, dimana-mana, nyaris semua kafe menyediakan minuman-minuman selain kopi. Padahal, sejatinya, yang namanya "kedai kopi" hanya menyajikan beberapa jenis minuman berbahan dasar kopi.

"Kalau coffeeshop asli, bahkan mereka tidak perlu menyediakan wifi. Konsep murninya kan kedai kopi memang dikhususkan bagi para pecinta kopi, bukan untuk para pecinta nongkrong-lama-lama," tambah teman saya itu. Hanya saja, kebutuhan pasar selalu melewatkan idealisme yang seharusnya diusung setiap barista.

"Seseorang belum disebut pecinta kopi, kalau ia belum merasai yang namanya espresso,"

Sekadar informasi, espresso adalah hasil perasan bubuk kopi yang benar-benar di-press oleh mesin khusus. Semacam sari pati langsung dari bubuk kopi. Oleh karenanya, tak perlu heran ketika memesan espresso di kafe dan Anda disuguhi minuman kopi pahit dengan ukuran gelas jauh lebih kecil. 

Beberapa minuman seperti cappuccino, moccachino, latte, macchiato sebenarnya merupakan "turunan" dari espresso. Semisal cappuccino, yang merupakan hasil racikan dari 1/3 espresso, 1/3 susu segar, dan 1/3 steam foam.

Secara sederhana, "turunan" espresso" seperti pada gambar. (Sumber: google)

Saya hendak menuliskan lebih banyak lagi. Tentang usaha membangun kafe. Alat-alat yang dibutuhkan. Perbedaan rasa kopi. Rekomendasi kedai kopi favorit di kota kami. Esensi mencintai kopi.

Akan tetapi, saya harus istirahat malam ini. Saya terlalu takut bangun kesiangan dengan beberapa tugas liputan yang sudah dibebankan sejak semalam. Oke, nite...

"Kami bukan pecinta kopi. Kami hanya penikmat,"

--Imam Rahmanto--


Ps: Saya terpaksa menuliskan hal ini karena tak ingin kehilangan momen dari kepala saya. Tentang kopi. Tentang asalnya. Tentang kafe. Tentang kesukaan akan minuman itu. Atau tentang cerita yang dibangun lewat cengkerama tanpa gangguan mata yang disibukkan oleh gadget setiap waktu.

You Might Also Like

0 comments