Tanya yang Senantiasa Terulang
Mei 14, 2015Baca Juga
“Kenapa menjadi jurnalis?”
Pertanyaan itu kembali menghampiri saya. Sudah saya bilang, kan? Setiap orang akan terkejut (kelak boleh takjub) mengetahui latar belakang pendidikan saya yang sama sekali tak berkaitan dengan pekerjaan sekarang.
Namun, pertanyaan itu kini dilontarkan oleh orang yang berbeda.
“Kenapa menjadi jurnalis?” tanya Andy F Noya, presenter Kick Andy Show, di hadapan para peserta talkshow. Saya dan seorang rekan jurnalis dari Republika sedang berdiri di atas panggung bersamanya. Ditemani pula oleh salah seorang penulis novel best seller, Trilogi Negeri 5 Menara.
Lagi, saya agak telat bangun pagi. Kalau tak ada jadwal liputan pagi, saya terkadang tidur kebablasan. Kalau sudah begini, Subuh-an pun telat. Padahal, saya berharap, pekerjaan sebagai jurnalis cukup mengubah pola tidur saya sebulan belakangan ini. Nampaknya saya butuh seseorang (perempuan) untuk membangunkan saya setiap pagi. Haha…
Setiap hari, saya bertugas di Kantor Gubernur Sulsel. Dalam dunia jurnalistik profesional, masing-masing jurnalis punya desk atau bidang liputan. Berdasarkan desk yang menaungi, maka saya di”dinas”kan di pusat pemerintahan provinsi itu.
Kalau sedang tak ada agenda, saya terkadang agak telat bergabung dengan teman-teman jurnalis lainnya. Apalagi status saya yang masih reporter magang. Pun, disana sudah ada seorang senior yang memang sudah lama ditugaskan. Saya hanya sebagai pelengkap, sekaligus pembelajar. Menyelesaikan liputan penugasan biasanya sudah cukup bagi kami, para magang. Kami lebih sering dijejali dengan liputan-liputan seremoni. Liputan kontrol lebih banyak ditangani senior di media bersangkutan.
Di kala sedang menikmati segelas cappuccino (di kost teman), sebuah pesan BBM masuk di gawai. Pesan dari redaktur. Saya diinstruksikan meliput sebuah diskusi RUU di kampus UNM, yang merupakan kampus saya sendiri.
“Beruntung, saya belum beranjak ke gubernuran,” gumam saya dalam hati. Jaraknya juga tidak terlalu jauh dari kost saya. Hanya saja, waktu pelaksanaan kegiatannya nyaris berbenturan dengan agenda di gubernuran. Tepat tengah hari, saya harus segera ke kantor gubernur untuk meliput acara yang nampaknya bakal keren.
“Kalau begitu saya nebeng sampai kampus Gunung Sari saja ya?” pinta saya pada teman yang sedang bersiap-siap hendak keluar rumah. Ia pun mengiyakan.
Untuk menuju lokasi peliputan, saya terkadang harus memutar otak saya lantaran tak punya kendaraan. Selain memanfaatkan angkutan umum, saya biasanya nebeng ke teman-teman lainnya yang searah (atau dipaksa searah) dengan lokasi peliputan.
Beberapa jam berikutnya, saya sudah meluncur ke lokasi peliputan. Disana, saya bertemu beberapa orang dari media lokal lain, yang sebenarnya berasal dari satu lembaga jurnalistik kampus dengan saya. Kebanyakan, mereka adalah kakak senior saya di kampus. Saya sempat tertawa sendiri melihatnya. Kami berasal dari media lokal yang berbeda, tapi sebenarnya masih se-ibu di kampus ini. Dan lagi, dua orang adik junior dari lembaga jurnalistik kampus yang sama juga hadir meliput kegiatan tersebut. Lengkap sudah.
Berbekal pinjaman kendaraan dari seorang teman di kampus, saya membalap ke kantor gubernur. Saya tiba disana telat sejam dari jadwal di agenda. Perkiraan saya, acara yang seharusnya menjadi liputan penugasan itu bakal berantakan. Namun kenyataan berkata lain.
Setiba di belakang Ruang Pola, dua orang yang lamat-lamat saya kenali sedang dikerubuti oleh para pegawai dinas. Tak ketinggalan pula beberapa teman jurnalis lain bergantian mengambil gambar keduanya. Kedua orang itu, Andy F Noya dan Ahmad Fuadi, nampak santai menanggapi permintaan penggemarnya itu satu-satu.
“Sial, hape saya lowbat,” rutuk saya dalam hati. Gadget saya memang sudah tua dan soak. Sekali diisi dayanya, hanya bisa bertahan hingga dua-tiga jam. Selebihnya, harus diisi daya lagi. Padahal, ini kesempatan yang bagus untuk mengobrol sekaligus wawancara dengan kedua tokoh itu.
Sembari mencari-cari stop kontak, yang ternyata dipakai teman lain, saya menunggu momen yang tepat untuk ikut nimbrung mengobrol dengan kedua orang itu. Mau tak mau, saya harus menggunakan catatan manual dan modal ingatan. Biasanya, perbincangan-perbincangan menarik (dengan tokoh idola) itu bakal mengendap di ingatan.
Siapa pula yang tak mengenal kedua tokoh itu. Yang satu, hampir setiap minggu muncul di layar televisi. Ia hadir sebagai host acara talkshow, Kick Andy Show yang selalu menginspirasi banyak orang. Satunya lagi, penulis novel best seller yang selama ini saya kagumi. Saya pernah bertemu dengannya, tapi tak pernah sedekat dan selama ini. Bahkan, keduanya punya latar belakang sebagai jurnalis. Keren!
Bukan tanpa alasan mereka hadir di gedung pemerintahan itu. Di Ruang Pola, baru saja dilangsungkan pengukuhan pengurus perpustakaan daerah terkait program gemar membaca. Salah satu rangkaian acara terakhirnya, yakni talkshow “gemar membaca” dengan menghadirkan Bang Andy sebagai seorang Duta Baca Nasional. Dihadirkan pula Bang Fuadi selaku seorang penulis novel yang banyak menginspirasi masyarakat di Indonesia.
Di belakang panggung, saya bergabung dengan seorang teman lainnya dari Republika. Saya duduk di sampingnya. Sementara di sampingnya lagi, Bang Fuadi mengobrol bebas. Bang Andy yang duduk tepat di samping Bang Fuadi sibuk dimintai berfoto bersama oleh para penggemarnya. Saya sebenarnya juga hendak mengabadikan momen itu, tapi ya sudahlah, hape saya sedang kehabisan daya. Lagipula, saya meyakini bukan terakhir kalinya saya akan bertemu dengan kedua orang ini.
“Dari cerita-cerita kalian, nampaknya kalian ini memang suka nulis ya?” Bang Andy tiba-tiba nyeletuk. Mungkin di tengah kesibukannya melayani foto bareng penggemar, ia mencuri dengar perbincangan kami.
“Kalau begitu, nanti kalian berdua saya undang naik ke atas panggung. Kalian berbagi tentang apa pentingnya menulis dan membaca,” lanjut Bang Andy.
Waduh. Saya terkejut sekaligus bahagia. Tidak menyangka bakal “terkenal” beberapa menit di gubernuran. Hahaha…
“Meski pun dari latar belakang yang bertolak belakang, tak mempengaruhi minat mereka untuk terus menulis. Satunya dari Jurusan Matematika, satunya lagi dari Jurusan Tekstil. Kita panggil Imam dan Debbie!!” serunya setelah Bang Fuadi menyampaikan ilmu dan pengalamannya sebagai penulis.
Kami yang sejak awal sedang mencatat liputan di dalam ruangan, di samping jejeran kursi penonton, segera menjadi titik fokus pandangan Bang Andy. Otomatis, seluruh peserta di ruangan itu juga mengikutkan pandangan menyelidiknya ke kami. Aduh, agak kikuk juga nih.
Di atas panggung, kami diberi pertanyaan yang sama secara bergantian. Mulai dari alasan suka menulis, alasan suka membaca, arti buku bagi kami, hingga bercerita tentang latar belakang menjadi jurnalis. Bahkan, Bang Andy menanyakan tentang blog yang menjadi tempat saya mengabadikan tulisan-tulisan saya. Beberapa jawaban kami sampaikan secara umum. Akh, seandainya disitu ada kamera dan kami masuk tivi, moga orang tua saya melihat dan mendengar bagaimana saya betul-betul bahagia dengan pekerjaan saya saat ini.
Meskipun tidak berlangsung sampai setengah jam, kami dihadiahi tiga buku dari tim Bang Andy. Mungkin semacam ucapan terima kasih. Satu novel Negeri 5 Menara, dan dua buku hasil keluaran acara Kick Andy Show.
Saya selalu percaya, pekerjaan apapun yang dijalani dengan senang hati akan membuahkan hasil yang sepadan. Seperti slogan yang selalu dimasyarakatkan Bang Fuadi, Man Jadda Wa Jada, barangsiapa yang bersungguh-sungguh, maka dia akan mendapatkan hasilnya. Tentu, hasil yang sepadan dengan usaha, doa, dan kebahagiaannya.
Do what you love. Love what you do. Kerjakan hal yang memang kita sukai. Dan cintailah apa yang dikerjakan. Kerjakan sesuatu yang memang pilihan kita. Bukan justru karena tak ada pilihan lain.
Jika orang di luar sana berbondong-bondong mengidamkan pekerjaan sebagai Pe-En-Es, saya justru tak menginginkannya sama sekali. Serius! Saya terkadang geli sendiri mendengar teman-teman saya mengatakan, “Tak ada pekerjaan lain, makanya kita jadi jurnalis.” Karena sejatinya saya tak pernah menjadikan pekerjaan sebagai jurnalis sebagai alternatif terakhir.
Meskipun kata bapak saya, jangan terlalu membenci sesuatu. Jangan sampai kelak kesempatan akan datang dan tak ada pilihan lain kamu harus memilihnya. Namun, sebagai orang yang keras kepala, saya tetap pada pilihan saya. Yah, saya memang orang yang keras kepala.
Sebelum menamatkan kuliah di akhir Februari silam, saya sudah bertekad akan bekerja di bidang kepenulisan. Saya hendak bekerja dengan sepenuh hati. Bahwa setiap hari adalah tantangan, menjadi alasan utama saya untuk tetap hidup dan bekerja keras. Bahwa setiap hari bertemu dengan hal-hal baru, adalah alasan saya untuk selalu berbahagia.
Hingga kini, sejak pertemuan dengan Bang Fuadi, saya masih berhubungan via sms dan BBM dengannya. Kami berbicara tentang Komunitas Menara-nya di Gowa. Di PAUD tersebut masih kekurangan sukarelawan. Oleh karenanya, Bang Fuadi butuh dukungan mencari sukarelawan yang berminat mengurusnya. Kapan-kapan saya akan jalan-jalan kesana, yang katanya di pelosok Gowa.
Nah, bukankah pekerjaan ini menyenangkan? Kelak, saya bakal bertemu lebih banyak lagi hal-hal baru, tempat-tempat baru, hingga orang-orang baru. Jika tempo hari saya bertemu dengan orang-orang hebat, maka besok saya akan bertemu dengan orang-orang yang jauh lebih hebat. #just believe it!
Karena setiap hari adalah tantangan!
Pertanyaan itu kembali menghampiri saya. Sudah saya bilang, kan? Setiap orang akan terkejut (kelak boleh takjub) mengetahui latar belakang pendidikan saya yang sama sekali tak berkaitan dengan pekerjaan sekarang.
Namun, pertanyaan itu kini dilontarkan oleh orang yang berbeda.
“Kenapa menjadi jurnalis?” tanya Andy F Noya, presenter Kick Andy Show, di hadapan para peserta talkshow. Saya dan seorang rekan jurnalis dari Republika sedang berdiri di atas panggung bersamanya. Ditemani pula oleh salah seorang penulis novel best seller, Trilogi Negeri 5 Menara.
***
Lagi, saya agak telat bangun pagi. Kalau tak ada jadwal liputan pagi, saya terkadang tidur kebablasan. Kalau sudah begini, Subuh-an pun telat. Padahal, saya berharap, pekerjaan sebagai jurnalis cukup mengubah pola tidur saya sebulan belakangan ini. Nampaknya saya butuh seseorang (perempuan) untuk membangunkan saya setiap pagi. Haha…
Setiap hari, saya bertugas di Kantor Gubernur Sulsel. Dalam dunia jurnalistik profesional, masing-masing jurnalis punya desk atau bidang liputan. Berdasarkan desk yang menaungi, maka saya di”dinas”kan di pusat pemerintahan provinsi itu.
Kalau sedang tak ada agenda, saya terkadang agak telat bergabung dengan teman-teman jurnalis lainnya. Apalagi status saya yang masih reporter magang. Pun, disana sudah ada seorang senior yang memang sudah lama ditugaskan. Saya hanya sebagai pelengkap, sekaligus pembelajar. Menyelesaikan liputan penugasan biasanya sudah cukup bagi kami, para magang. Kami lebih sering dijejali dengan liputan-liputan seremoni. Liputan kontrol lebih banyak ditangani senior di media bersangkutan.
Di kala sedang menikmati segelas cappuccino (di kost teman), sebuah pesan BBM masuk di gawai. Pesan dari redaktur. Saya diinstruksikan meliput sebuah diskusi RUU di kampus UNM, yang merupakan kampus saya sendiri.
“Beruntung, saya belum beranjak ke gubernuran,” gumam saya dalam hati. Jaraknya juga tidak terlalu jauh dari kost saya. Hanya saja, waktu pelaksanaan kegiatannya nyaris berbenturan dengan agenda di gubernuran. Tepat tengah hari, saya harus segera ke kantor gubernur untuk meliput acara yang nampaknya bakal keren.
“Kalau begitu saya nebeng sampai kampus Gunung Sari saja ya?” pinta saya pada teman yang sedang bersiap-siap hendak keluar rumah. Ia pun mengiyakan.
Untuk menuju lokasi peliputan, saya terkadang harus memutar otak saya lantaran tak punya kendaraan. Selain memanfaatkan angkutan umum, saya biasanya nebeng ke teman-teman lainnya yang searah (atau dipaksa searah) dengan lokasi peliputan.
Beberapa jam berikutnya, saya sudah meluncur ke lokasi peliputan. Disana, saya bertemu beberapa orang dari media lokal lain, yang sebenarnya berasal dari satu lembaga jurnalistik kampus dengan saya. Kebanyakan, mereka adalah kakak senior saya di kampus. Saya sempat tertawa sendiri melihatnya. Kami berasal dari media lokal yang berbeda, tapi sebenarnya masih se-ibu di kampus ini. Dan lagi, dua orang adik junior dari lembaga jurnalistik kampus yang sama juga hadir meliput kegiatan tersebut. Lengkap sudah.
Berbekal pinjaman kendaraan dari seorang teman di kampus, saya membalap ke kantor gubernur. Saya tiba disana telat sejam dari jadwal di agenda. Perkiraan saya, acara yang seharusnya menjadi liputan penugasan itu bakal berantakan. Namun kenyataan berkata lain.
Ahmad Fuady dan Andy F Noya sedang menunggu waktu talkshow. (Foto: ImamR) |
Setiba di belakang Ruang Pola, dua orang yang lamat-lamat saya kenali sedang dikerubuti oleh para pegawai dinas. Tak ketinggalan pula beberapa teman jurnalis lain bergantian mengambil gambar keduanya. Kedua orang itu, Andy F Noya dan Ahmad Fuadi, nampak santai menanggapi permintaan penggemarnya itu satu-satu.
“Sial, hape saya lowbat,” rutuk saya dalam hati. Gadget saya memang sudah tua dan soak. Sekali diisi dayanya, hanya bisa bertahan hingga dua-tiga jam. Selebihnya, harus diisi daya lagi. Padahal, ini kesempatan yang bagus untuk mengobrol sekaligus wawancara dengan kedua tokoh itu.
Sembari mencari-cari stop kontak, yang ternyata dipakai teman lain, saya menunggu momen yang tepat untuk ikut nimbrung mengobrol dengan kedua orang itu. Mau tak mau, saya harus menggunakan catatan manual dan modal ingatan. Biasanya, perbincangan-perbincangan menarik (dengan tokoh idola) itu bakal mengendap di ingatan.
Siapa pula yang tak mengenal kedua tokoh itu. Yang satu, hampir setiap minggu muncul di layar televisi. Ia hadir sebagai host acara talkshow, Kick Andy Show yang selalu menginspirasi banyak orang. Satunya lagi, penulis novel best seller yang selama ini saya kagumi. Saya pernah bertemu dengannya, tapi tak pernah sedekat dan selama ini. Bahkan, keduanya punya latar belakang sebagai jurnalis. Keren!
Bukan tanpa alasan mereka hadir di gedung pemerintahan itu. Di Ruang Pola, baru saja dilangsungkan pengukuhan pengurus perpustakaan daerah terkait program gemar membaca. Salah satu rangkaian acara terakhirnya, yakni talkshow “gemar membaca” dengan menghadirkan Bang Andy sebagai seorang Duta Baca Nasional. Dihadirkan pula Bang Fuadi selaku seorang penulis novel yang banyak menginspirasi masyarakat di Indonesia.
Di belakang panggung, saya bergabung dengan seorang teman lainnya dari Republika. Saya duduk di sampingnya. Sementara di sampingnya lagi, Bang Fuadi mengobrol bebas. Bang Andy yang duduk tepat di samping Bang Fuadi sibuk dimintai berfoto bersama oleh para penggemarnya. Saya sebenarnya juga hendak mengabadikan momen itu, tapi ya sudahlah, hape saya sedang kehabisan daya. Lagipula, saya meyakini bukan terakhir kalinya saya akan bertemu dengan kedua orang ini.
“Dari cerita-cerita kalian, nampaknya kalian ini memang suka nulis ya?” Bang Andy tiba-tiba nyeletuk. Mungkin di tengah kesibukannya melayani foto bareng penggemar, ia mencuri dengar perbincangan kami.
“Kalau begitu, nanti kalian berdua saya undang naik ke atas panggung. Kalian berbagi tentang apa pentingnya menulis dan membaca,” lanjut Bang Andy.
Waduh. Saya terkejut sekaligus bahagia. Tidak menyangka bakal “terkenal” beberapa menit di gubernuran. Hahaha…
“Meski pun dari latar belakang yang bertolak belakang, tak mempengaruhi minat mereka untuk terus menulis. Satunya dari Jurusan Matematika, satunya lagi dari Jurusan Tekstil. Kita panggil Imam dan Debbie!!” serunya setelah Bang Fuadi menyampaikan ilmu dan pengalamannya sebagai penulis.
Kami yang sejak awal sedang mencatat liputan di dalam ruangan, di samping jejeran kursi penonton, segera menjadi titik fokus pandangan Bang Andy. Otomatis, seluruh peserta di ruangan itu juga mengikutkan pandangan menyelidiknya ke kami. Aduh, agak kikuk juga nih.
Di atas panggung, kami diberi pertanyaan yang sama secara bergantian. Mulai dari alasan suka menulis, alasan suka membaca, arti buku bagi kami, hingga bercerita tentang latar belakang menjadi jurnalis. Bahkan, Bang Andy menanyakan tentang blog yang menjadi tempat saya mengabadikan tulisan-tulisan saya. Beberapa jawaban kami sampaikan secara umum. Akh, seandainya disitu ada kamera dan kami masuk tivi, moga orang tua saya melihat dan mendengar bagaimana saya betul-betul bahagia dengan pekerjaan saya saat ini.
Meskipun tidak berlangsung sampai setengah jam, kami dihadiahi tiga buku dari tim Bang Andy. Mungkin semacam ucapan terima kasih. Satu novel Negeri 5 Menara, dan dua buku hasil keluaran acara Kick Andy Show.
Saya menjumpai beberapa pelajar yang histeris ingin berfoto dengan Andy F Noya dan Ahmad Fuadi. (Foto: ImamR) |
Tambahan buku gratis saya!! :D :D (foto: ImamR) |
***
Saya selalu percaya, pekerjaan apapun yang dijalani dengan senang hati akan membuahkan hasil yang sepadan. Seperti slogan yang selalu dimasyarakatkan Bang Fuadi, Man Jadda Wa Jada, barangsiapa yang bersungguh-sungguh, maka dia akan mendapatkan hasilnya. Tentu, hasil yang sepadan dengan usaha, doa, dan kebahagiaannya.
Do what you love. Love what you do. Kerjakan hal yang memang kita sukai. Dan cintailah apa yang dikerjakan. Kerjakan sesuatu yang memang pilihan kita. Bukan justru karena tak ada pilihan lain.
Jika orang di luar sana berbondong-bondong mengidamkan pekerjaan sebagai Pe-En-Es, saya justru tak menginginkannya sama sekali. Serius! Saya terkadang geli sendiri mendengar teman-teman saya mengatakan, “Tak ada pekerjaan lain, makanya kita jadi jurnalis.” Karena sejatinya saya tak pernah menjadikan pekerjaan sebagai jurnalis sebagai alternatif terakhir.
Meskipun kata bapak saya, jangan terlalu membenci sesuatu. Jangan sampai kelak kesempatan akan datang dan tak ada pilihan lain kamu harus memilihnya. Namun, sebagai orang yang keras kepala, saya tetap pada pilihan saya. Yah, saya memang orang yang keras kepala.
Sebelum menamatkan kuliah di akhir Februari silam, saya sudah bertekad akan bekerja di bidang kepenulisan. Saya hendak bekerja dengan sepenuh hati. Bahwa setiap hari adalah tantangan, menjadi alasan utama saya untuk tetap hidup dan bekerja keras. Bahwa setiap hari bertemu dengan hal-hal baru, adalah alasan saya untuk selalu berbahagia.
Hingga kini, sejak pertemuan dengan Bang Fuadi, saya masih berhubungan via sms dan BBM dengannya. Kami berbicara tentang Komunitas Menara-nya di Gowa. Di PAUD tersebut masih kekurangan sukarelawan. Oleh karenanya, Bang Fuadi butuh dukungan mencari sukarelawan yang berminat mengurusnya. Kapan-kapan saya akan jalan-jalan kesana, yang katanya di pelosok Gowa.
Nah, bukankah pekerjaan ini menyenangkan? Kelak, saya bakal bertemu lebih banyak lagi hal-hal baru, tempat-tempat baru, hingga orang-orang baru. Jika tempo hari saya bertemu dengan orang-orang hebat, maka besok saya akan bertemu dengan orang-orang yang jauh lebih hebat. #just believe it!
Karena setiap hari adalah tantangan!
--Imam Rahmanto--
0 comments