Jokowi, oh, Jokowi

Mei 24, 2015

Baca Juga

Ada yang terbebaskan dari dalam diri saya. Sesuatu yang mungkin selama ini agak mengganjal segala tindak laku. Entah bagaimana, beberapa jam yang lalu, bagi saya, semuanya terasa ringan. Tertawa, ya tertawa saja sekeras-kerasnya. Berujar tanpa perlu ditahan-tahan. Berceloteh seriang apa pun. Yahh…saya merasainya, dari momen kejar-mengejar sang Bapak Presiden, Jumat siang kemarin…

***

Saya tidak sedang ingin menuliskan seuatu yang membuat pilu, sendu, atau galau. Sudahlah. Tak perlu menenggelamkan diri dalam hal semacam itu. Kehidupan ini terus bergerak. Ia tak pernah menanti orang-orang yang duduk menatapi satu pintu tanpa menyadari pintu lainnya yang masih terbuka.

Saya hanya ingin berbagi dan sekaligus menyimpan momen terbaik (sejauh ini) yang pernah saya alami semenjak menjajal dunia jurnalistik profesional. Yeahh!! 

“Oke, kamu liput di gedung perpajakan ya,” seperti biasa, rutin tiap malamnya, kami mendapatkan tugas liputan untuk keesokan harinya. Malam sebelumnya, saya didaulat meliput sebuah acara simbolis pemusnahan barang-barang illegal (rokok dan miras) yang tidak lolos syarat dari pihak Bea dan Cukai.

Menjelang tengah hari, Jumatan, saya dan beberapa wartawan masih menunggu kedatangan orang nomor satu di Kementerian Keuangan, Bapak Bambang SP Brodjonegoro. Rencananya, ia yang akan membuka pemusnahan tersebut, didampingi orang-orang dari Dirjen Bea dan Cukai. Hanya saja, lewat sejam, Menkeu belum tiba. Beberapa wartawan pun mengeluh dan bersungut-sungut. Apalagi, matahari juga sedang membakar kerumunan pers di bawah tenda.

Oh ya, saya mengenal beberapa dari mereka. Sebagian besar merupakan wartawan hukum dan kriminal. Acara pemusnahan barang illegal ini memang seharusnya menjadi lahan peliputan mereka. Namun, mau bagaimana lagi, saya mendapat tugas-yang-tak-elok-ditolak.

Selang beberapa menit, orang yang ditunggu-tunggu pun datang. Bapak Menkeu dan sedikit rombongannya tiba. Ia segera bergabung dengan kerumunan acara di bawah tenda, didampingi oleh Plt Dirjen Bea dan Cukai Supraptono. “Yang namanya pejabat, kalau telat, amat jarang yang mau minta maaf. Dasar Indonesia,”

“Kak, kesini bareng siapa?” tanya saya pada salah seorang wartawan.

Saya mengenalnya sebagai salah seorang teman wartawan dari media nasional yang selama ini posting di Kantor Gubernur, sama seperti saya. “Sendirian sih,” jawabnya, masih dengan logat Bandungnya yang khas.

“Saya nebeng deh kalau begitu. Boleh, ndak?”

“Boleh,” tuturnya.

Saya dan beberapa wartawan lain sudah menyelesaikan bahan untuk penulisan berita. Kalau bahan sudah lengkap, biasanya tidak butuh waktu sejam untuk mengerjakan beritanya, baik lewat gadget maupun laptop. Saban hari, saya menenteng tas (kesayangan) yang berisikan laptop (kesayangan).

Awalnya, saya ingin langsung mampir ke kantor redaksi. Sementara teman saya itu ingin segera ke postingan biasanya, di Gubernuran. Apalagi, saya sempat berpikir,  untuk apa lagi standby di Gubernuran kalau Pak Presiden RI berencana kunjungan kerja hari ini? Biasanya orang-orang di gubernuran sudah mengosongkan agenda disana dan merapat ke Pak Presiden yang berkunjung ke Makassar.

Sebagai “anak baru”, saya biasanya tidak diikutkan dalam momen-momen seperti itu. Dari media kami, sudah ada beberapa orang yang sudah ditugaskan.

Akan tetapi, saya kemudian berubah pikiran. Saya ngikut saja ke gubernuran. Sambil menulis berita disana, bisa sambil santai menunggui yang lain. Mungkin ada kejadian atau acara di gubernuran yang layak liput, pikir saya.

Usai menjalankan kewajiban Jumatan, saya bergegas menyelesaikan berita yang akan dikirimkan. Saya agak menghindari yang namanya menghindari pekerjaan. Apalagi terkait penulisan berita seperti ini. Satu naskah rampung, biasanya pikiran akan langsung *plonggg!!*

“Imam, kau standby disini ya,” pinta salah seorang senior mentor di media tempat saya bekerja.

“Siap, Kak!” jawaban standar. Saya memang menduga akan seperti itu.

Ia dan beberapa wartawan lainnya menuju ke lokasi peliputan lain. Menurut kabar, ada Menteri Sosial yang tiba di salah satu kantor Bulog. Menurut mereka, itu bahan peliputan yang menarik. Sembari menunggu kedatangan Jokowi di Makassar, mereka “menyelami” liputan lain. Menurut Humas yang berjaga disana, Jokowi baru akan tiba di Makassar jam 3. Jadi, masih ada waktu untuk menunggu kedatangannya.

“Imam, kalau disitu ada si A, kamu ikut ke rujab saja pakai mobilnya. Kamu ikut saja ke peliputannya Pak Jokowi,” ujar senior mentor saya itu melalui telepon. Ia nampaknya belum selesai dengan peliputannya. Mungkin, untuk berjaga-jaga, saya memang harus mem-backup-nya.

Sesaat sebelumnya, ia memang mengajak saya untuk nimbrung meskipun tanpa ID card. Saya sendiri tak menyangkanya. Kartu pengenal pers itu sehari sebelumnya sudah dibagikan kepada para wartawan yang didaftarkan medianya untuk meliput kedatangan Jokowi. Jadilah saya ke rujab, menumpang mobil salah seorang tetua Humas yang sudah saya kenali semenjak awal posting di gubernuran.

“Ayo, berangkat. Pak Jokowi sudah mau mendarat di bandara. Kalau kita tidak cepat menunggu di pelabuhan, kita tidak akan keburu,” usulnya sembari memacu mobilnya ke rujab Gubernur. Saya hanya berdua dengannya karena teman-teman se-posting masih mengejar lliputan di Bulog.

Hingga tiba di rujab, kami masih berdua menunggu teman-teman wartawan lain. Sesuai rencana, mereka seharusnya berkumpul disini dan bersama-sama menuju pelabuhan Seokarno-Hatta untuk menghadiri peletakan batu pertama Makassar New Port (MNP) oleh Jokowi. Sayangnya, lewat setengah jam, mereka (yang meliput di Bulog) belum menampakkan batang hidungnya. Hanya dua orang wartawan pemprov yang kemudian muncul dan bergabung bersama kami.

“Kita berangkat duluan deh. Kalau tidak, kita akan ketinggalan acaranya,” usul salah seorang dari kami. Humas pun menyetujui. Akan tetapi, belum sampai 10 meter mobil bergerak meninggalkan rujab, kami berpapasan dengan teman-teman wartawan yang ditunggu. Mereka mengendarai motor.

“Itu mereka!” seru salah seorang dari kami, yang kemudian ditanggapi supir mobil yang berbalik arah kembali ke rujab. Lima orang tambahan untuk satu mobil yang sudah berisi 7 orang. Mati!

Inilah momen paling berkesannya. Sepanjang perjalanan menuju pelabuhan memang diisi dengan gerutuan dan candaan. Bayangkan, di jejeran kursi paling belakang sudah terisi 4 orang, lantas ditambahi dengan kursi tengah yang dimuati 6 orang. Hahahaha….

Sepanjang perjalanan, muncul komentar-komentar yang menimbulkan tawa. Mungkin, bisa dibilang, kami hanya bisa tertawa di dalam mobil. Ada yang kegencet karena sesak. Ada yang dipangku. Ada yang terjepit. Ada yang hendak buang angin. Ada yang ambil kesempatan. Pokoknya, para wartawan ini rela menderita dalam satu mobil demi memenuhi tugas liputan Jokowi. Tak peduli laki atau perempuan.

“Aduh, hati-hati ‘pisang-ijo’ku hancur nanti,” canda salah seorang yang kebagian memangku teman lainnya. Tak tanggung-tanggung, teman perempuan pun juga ikutan dipangku.

“Jangan banyak gerak. Bau!” seru yang lainnya lagi. Tak pelak, diikuti dengan semprotan minyak wangi.

Bahkan tiba di tempat pemeriksaan, polisi yang memeriksa mobil sempat menertawai kami yang “kelebihan muatan”.

“Aduh, deh. Tidak usah dibuka jendelanya. Nanti orang-orang kaget lihat kita sesak muatan begini,” komentar salah satu diantara kami. Hahahahaha….saya hanya bisa tertawa-tawa mengingat momen naik mobil berdesak-desakan itu.

***

Ah, ini pertama kalinya. :') tapi, tentu bukan terakhir kalinya.
(Foto: ImamR)
Bagi kami, para pewarta, tidak ada alasan untuk tak mengerjakan peliputan. Bagaimana pun caranya, kami harus mengerjakan liputan yang diberikan. Militansi sebuah jurnalisme diuji. Kalau orang bersungguh-sungguh, segalanya jadi mungkin.

Di lokasi peliputan, saya baru mendapatkan ID card pers. Sebelum berangkat, saya memang sudah mewanti-wanti Humas untuk meminjamkan ID card yang dimilikinya. Mungkin karena iba, ia mengiyakannya saja. Toh, pada akhirnya saya memperolehnya. Saya bisa pula merasai bagaimana pekerjaan pewarta yang mengejar-ngejar orang sepenting Presiden RI Jokowi.

Mulai dari bergabung dengan wartawan dari media lain. Tak ketinggalan media nasional yang didatangkan langsung dari pusat bersama presiden. Mengikuti setiap perbincangan dan sambutan yang diarahkan para petinggi.

Satu hal yang paling mengesalkan adalah ketika gadget yang seharusnya menjadi tempat saya mengetik semua catatan dan berita terpaksa kehabisan daya. Saya tak menemukan sambungan listrik dimana-mana. Mau tak mau, saya harus kembali ke cara manual: menulis. Padahal, banyak momen yang bisa diangkat menjadi bahan berita saat itu juga.

Setelah di Pelindo, presiden beranjak ke pelabuhan rakyat Paotere. Saya, masih bersama mobil Humas pemprov, mendahului rombongan presiden. Kami meungguinya disana, yang sudah ramai oleh anak-anak hingga orang tua. Di sepanjang jalan menuju Paotere, saya melihat banyak anak SD mengibarkan bendera merah putih. Mereka hendak menyambut rombongan kepresidenan yang lewat.

Lain kali, saya harus punya kamera (dan gadget) yang lebih oke untuk momen seperti ini. (Foto: ImamR)

Ah, mengejar orang se-nomor satu Presiden RI memang agak menegangkan dan jauh lebih sulit. Dimana-mana paspampres berjaga. Untuk wawancara pun, paspampres sangat ketat tak membolehkan wartawan lewat. Saya sampai berdesak-desakan dengan mereka. Tidak hanya paspampres, bahkan sesama wartawan lain yang mau ingin wawancara door-stop dengan Pak Jokowi harus saling sikut. “Ini Presiden RI, Bung!”

Saya sempat menjumpai beberapa menteri yang ikut dengan Pak Jokowi. Hanya saja, saya tak banyak mengenali mereka. Saya hanya mengenali Menteri Sosial Khafifah. Seseorang yang cukup familiar sebagai Ignasius Jonan, Menteri Perhubungan, agak membuat saya ragu. Saya ingin men-google-nya. Sayang, lagi-lagi, gadget saya dalam kondisi daya kritis.

Meskipun demikian, saya cukup menikmatinya. Beberapa pengalaman “berburu” itu cukup mengesankan. Adrenalin memacu sekencang yang mampu diusahakan. Wajar ketika saya tak ingin kehilangan momen itu dari kepala dan menuliskannya disini.

Saya ingin lebih banyak belajar hidup. Banyak-banyak berjalan dan bertemu orang-orang baru. Maka saya menemukan, betapa dunia saya masih tidak lebih luas dibanding selembar daun kelor.


--Imam Rahmanto--


P.s. untuk momen begini, saya terkadang ingin mengabadikan diri sendiri dengan foto. Apalagi sesaat saya mendapatkan ID Card nasional itu. Tapi, tugas menguber-uber informasi agak menyela semua hal yang berkaitan dengan "kepentingan pribadi". #fiuhh



You Might Also Like

0 comments