Mencari "Menara" di Tanah Rannaloe

Mei 29, 2015

Baca Juga

Saya selalu memimpikan menyela rutinitas kerja dengan berkunjung ke tempat-tempat yang baru. Hiruk-pikuk perkotaan kerap membuat saya jenuh. Sesekali, saya ingin berkunjung ke daerah asri yang belum tercemar hutan beton. Atau telentang di atas permadani rumput sembari menatap bintang tanpa diganggu polusi kota.

“Sekali waktu, berkunjunglah ke Desa Rannaloe untuk melihat PAUD Komunitas Menara,” ajak seorang "teman baru" lewat BBM-nya. Saya lama mengenalnya lewat karya-karya novel fenomenalnya. Hanya saja baru berkesempatan mengenalnya lebih dekat dua minggu yang lalu.

Akh, saya lupa namanya. (Foto: ImamR)
Saya menjanjikan bakal mengunjungi PAUD yang sebenarnya belum pernah pula dikunjunginya itu. Sekolah untuk anak usia dini itu, baru dibangunnya setahun silam atas usulan relawan disana.

Dari ceritanya, saya cukup membayangkan sebuah desa yang tidak jauh berbeda dengan domisili saya di Enrekang dulu. Pegunungan. Lembah. Pohon-pohon. Jalanan menanjak. Bukit terjal. Udara yang asri. Penduduk yang ramah.

Saya, dan seorang teman dari Harian Nasional, Kak Debbie, tertarik berkunjung kesana. Apalagi dengan kesediaan salah seorang relawan, Pak Ilyas, mengantar kami hingga ke tanah Rannaloe. Sebenarnya saya juga mengajak beberapa orang teman untuk ikut serta. Hanya saja, mereka punya aktivitas masing-masing di akhir pekan itu. Pun, saya bisa “melenggang” ke luar kota Makassar lantaran mendapat izin peliputan PAUD ke redaktur beberapa hari sebelumnya. Yah, sambil menyelam minum air

Pagi benar saya harus bersiap. Kami berencana berangkat bersama pada pukul 7 tepat, sesuai permintaan Pak Ilyas. Akan tetapi, kebiasaan begadang semenjak mahasiswa, dan aktiivitas di sekretariat (redaksi) LPM Profesi malam itu, membuat saya nyaris bangun kesiangan. Saya baru terbangun lewat setengah tujuh. #gubrakk!

Perjalanan kami dimulai dari puskesmas Kalegoa yang tak jauh dari kediaman Pak Ilyas. Jalan poros yang dilalui Pak Ilyas masih terasa asing bagi saya. Bukan jalan poros yang berujung ke Malino, seperti yang selama ini saya lalui. Melainkan jalan poros yang…. entahlah. Saya nampaknya belum pernah melaluinya.

Menurut Pak Ilyas, jalan poros tersebut melintasi perbatasan Gowa-Takalar. Akan tetapi, area Kabupaten Takalar yang akan kami lalui tidak cukup luas. Berselang beberapa menit, kami sudah memasuki kembali area Kabupaten Gowa. “Area Gowa memang cukup luas. Perbatasannya banyak menyentuh beberapa kabupaten di Sulsel. Ada Takalar, Sinjai….” tutur Pak Ilyas di belakang kemudi. Sepanjang perjalanan, Pak Ilyas memang banyak bercerita.

Di sepanjang jalan, saya menemui perumahan yang masih identik dengan pemandangan alam. Saya menikmatinya. Apalagi ketika kami ditraktir untuk mencicipi Coto Kuda. Mata saya selama ini sudah terlalu dibiasakan melihat gedung-gedung tinggi perkotaan. Melihat pohon-pohon hijau rasanya seperti menyemai perasaan. Damai. Di kiri-kanan jalan terbentang lahan persawahan yang cukup luas yang memanjakan mata. Lantaran berangkat pagi, udara panas masih belum terasa.

“Nah, kita akan belok kanan. Kalau terus, maka jalanannya bakal berujung buntu,” jelas Pak Ilyas lagi. Saya tak habis pikir, jalanan beraspal yang kami lalui ini bakal berujung pada jalanan buntu. “Soalnya jalanan selanjutnya itu tidak diaspal, dan sulit dilalui kendaraan mobil,” lanjutnya, seperti bisa membaca pikiran kami. Ia menambahi, perjalanan kami seterusnya akan dilalui dengan tanjakan.

Dari pertigaan jalan poros, kami tiba kurang dari 1 jam di Desa Rannaloe. Melintasi jurang dan dinding perbukitan. Jalan poros yang mengantar kami memang bisa dilalui mobil. Hanya saja, di beberapa titik, batu-batu mencuat dari aspal yang rusak. Termasuk di banyak tikungan yang nyaris memutar sudut 180 derajat. Pun, jalanannya hanya cukup untuk satu mobil.

“Makanya saya tidak berani membawa mobil yang putaran mesinnya di ban depan. Saya pasti pakai mobil yang dorongannya dari belakang, 4WD,” ujarnya di tengah perjalanan.

Saya tak mengerti banyak hal tentang mobil. Dalam bayangan saya, seperti mobil mainan tamiya, yang terbagi dalam dua pelatakan mesin dinamo. Dinamo depan dan dinamo belakang. Mm...mungkin seperti itu.

Berkali-kali ia mengambil ancang-ancang memasuki tikungan yang cukup curam. Ban belakang mobil tak henti bising terselip. Burnout. Menyisakan bunyi yang agak memekakkan telinga. Salah sedikit, mobil yang kami tumpangi bisa mundur dan terperosok ke jurang. Entah ada berapa tikungan yang harus kami taklukkan hingga mencapai Desa Rannaloe. Satu-dua orang yang berpapasan dengan kami menandakan bahwa kami sudah menuju pemukiman yang tepat.

“Itu Desa Rannaloe,” tunjuk Pak Ilyas di tengah-tengah perjalanan kami menaklukkan tanjakan. Ia menunjuk pegunungan yang ada di sebelah kiri kami. “Itu yang ada rumah warna putihnya,” tunjuknya lagi menembus lokasi persawahan yang berada di sisi kanan perjalanan.

Nah, Desa Rannaloe ada di gunung itu. Ngambil gambarnya dari atas mobil yang sedang bermanuver.
(Foto: ImamR)
Pemandangannya tidak jauh beda dengan beberapa daerah di tanah kelahiran saya. (Foto: ImamR)
Akh, saya semakin merindukan menghabiskan waktu di daerah pegunungan begini. Sawahnya. Sungainya. Pohonnya. Teman-teman masa kecil. Eh, iya, apa kabar sekarang ya?

Bagi saya yang terbiasa tinggal di daerah pegunungan, lokasi Desa Rannaloe tidak cukup jauh. Di pedalaman Enrekang, ada lebih banyak daerah yang sulit dijangkau dengan kendaraan biasa. Jika menggunakan motor ke Rannaloe, sebenarnya tidak akan sesulit menggunakan mobil.

Jalan menuju Desa Rannaloe bisa dipilin aspal atas iming-iming para caleg yang berkampanye. Jembatan yang menghubungkan Rannaloe dengan “kehidupan” di luar juga dibangun sebagai upaya untuk meningkatkan perekonomian desa.

“Bayangkan, dulu orang-orangkalau mau jual hasil panenya harus jalan keluar berjam-jam. Sampai-sampai, gula merahnya biasa meleleh di tengah perjalanan,” ujar Pak Ilyas. Salah satu komoditi yang biasa dimanfaatkan penduduk desa ini juga adalah Gula Merah yang diolah dari pohon aren. Kapan-kapan saya ingin melihat proses pengolahan gula merahnya.

Desa Rannaloe tidak bisa terjangkau oleh sinyal handphone. Untuk listrik sendiri, baru disambungkan sekira dua-tiga tahun yang lalu. Pak Ilyas, sebagai relawan, biasanya berkomunikasi dengan menggunakan handy-talkie (HT). HT itu dipegang oleh Ketua Posyandu, Bu Desa, dan Kepala Posyandu.

Biasanya, HT dimanfaatkan ketika ada keperluan kesehatan di desa-desa tetangga, seperti ibu melahirkan. Atas alasan mobilitas pula, Ketua Posyandu di Desa Rannaloe adalah seorang laki-laki. Jikalau ada ibu-ibu melahirkan, maka Ketua Posyandu yang bernama Khaeruddin Syam itu akan mengantarkan satu-satunya bidan desa menembus belantara. Yah, benar-benar belantara, ketika jalan beraspal tak lagi menyambung jalan transportasi.

“Kalau ada yang melahirkan, kami harus kesana. Bagaimana pun medannya, harus ditanggulangi,” ujar Khaeruddin. Ia masih muda. Lulusan Pendidikan Agama Islam, namun kembali mengabdikan diri di desa yang telah melahirkannya.

Kami bercakap di sebuah Posyandu sederhana yang dibangun atas bantuan sebuah institusi swasta atas prakarsa Pak Ilyas. Kalau penasaran dengan Pak Ilyas, saya menemukan tautannya disini. Kebetulan, hari itu masyarakat sedang memenuhi jadwal penimbangan berat badan dan pemeriksaan kesehatan anak-anaknya. Posyandu itu juga merangkap sebagai perpustakaan desa, meskipun dengan buku-buku yang masih minim. Saya menghitung, tidak sampai seratus buku yang tersusun di rak yang menempel di dinding seadanya.

Meski terpencil, Desa Rannaloe termasuk salah satu desa di Kecamatan Bungaya yang paling maju di bidang pendidikan. Desa ini memiliki sekolah madrasah, meskipun masih belum selengkap sekolah-sekolah di kota. Katanya, banyak anak-anak penduduk desa tetangga yang bersekolah di Desa Rannaloe.

Satu yang cukup spesial, salah satu sekolah Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) di atas gunung itu, terselip nama seorang penulis novel best seller. Bagi orang-orang yang sudah pernahh membaca novelnya, tentu tak perlu berpikir panjang ketika mendengar nama PAUD yang menyertakan label "Komunitas Menara". Yah, siapa lagi kalau bukan Ahmad Fuadi.

Selamat datang di tempat belajar kami! (Foto: ImamR)

Berikutnya: PAUD di Atas Awan


--Imam Rahmanto--

You Might Also Like

0 comments