Strange

Maret 30, 2015

Baca Juga

Beberapa waktu lalu, saya berkesempatan berteman dengan seorang bule. Namanya Selim Celik. Ia menjadi guide berkeliling di salah satu taman wahana air terbesar di Makassar. Selain itu, pertanyaan-pertanyaan teknis seputar wahana memang dikaitkan langsung dengan pekerjaannya. Oleh karena itu, dengan senang hati, ia menjawab segala pertanyaan saya dengan bahasa Indonesia-aksen Inggris- yang cukup lancar.

Ia berkebangsaan Turki. Mengaku sudah tiga bulan lebih menetap di Indonesia. Bahkan, kini ia punya pekerjaan tetap di perusahaan swasta yang bergerak di bidang properti dan perumahan terbesar di kota ini. Bermula dari pekerjaannya di perusahaan asal yang dikontrakkan dengan perusahaan properti tersebut.

Adalah hal yang menyenangkan bisa berteman dengannya. Bagi saya, hal semacam ini bisa menjadi kesempatan untuk memperdalam keterampilan bercakap Inggris. Saya selalu ingin belajar autodidak untuk bahasa yang satu ini. Belajar melalui lembaga-lembaga formal maupun English Camp, menurut saya, agak mainstream untuk dewasa ini. Dan menghabiskan banyak uang… -_-“

Akhir-akhir ini saya juga sedang mencari teman-teman dari luar negeri agar bisa langsung “dicelup” dalam mempraktekkan bahasa Inggris. Beruntung dipertemukan dengan Selim dan, oh ya, temannya, Mr. Aihan.

Kalau Selim lancar berbahasa Inggris, tidak demikian dengan Mr. Aihan. Ia hanya paham bahasa Inggris atau bahasa Turki. Akan tetapi, saya cukup mengapresiasinya. Apalagi Mr. Aihan dengan senang hati membagi nomor teleponnya pada saya. Ia mengaku tidak punya pin BBM. Bagi Mr. Aihan, nomor telepon sudah cukup menjadi alat komunikasi.

Ada satu hal menarik yang diungkapkan Selim tentang perangai atau perilaku orang Indonesia. Selama pengamatannya, ia ternyata melihat dan mulai membedakan beberapa sifat asli yang cenderung dimiliki oleh orang lokal.

“Orang Indonesia itu suka saling bombe’. Saya tidak suka itu,” ujarnya suatu waktu.

“Seperti apa maksudnya?” tanya saya penasaran.

“Contoh sederhana, kadang, kalau mereka bertengkar di rapat, dibawa sampai keluar. Satunya tidak mau makan di tempat yang ada orang dimusuhinya itu. Itu tidak baik,” ujarnya.

Ia melanjutkan, di negara asalnya, orang-orang saling menghargai pendapat satu sama lain. Kejujuran begitu ditekankan satu sama lain. Diam, bukanlah sifat yang seharusnya dimiliki oleh orang-orang berkehidupan sosial.

“Kalau memang kamu punya masalah sama dia, bilang saja. Jangan didiamkan orangnya. Dipendam,”

“Di tempatku, orang-orang terbuka ngomong ke lainnya kalau ada yang tidak disukainya. Misalkan dia bilang saja; ‘saya tidak suka caramu begitu bla..bla…bla’ ke orang yang tidak disukainya. Kan jelas masalahnya. Tidak dibawa-bawa keluar,” lanjutnya.

Nampaknya Selim betul-betul mendalami perangai orang Indonesia. Saya sendiri yang lahir dan dibesarkan di tanah pertiwi ini tidak pernah jauh-jauh membandingkan perangai antar-negara. Salut. Meskipun lelaki kelahiran Istanmbul ini punya pribadi yang slengekan, namun ia juga cukup menghargai budaya-budaya yang berlaku di negeri ini. Terlebih ia sendiri pun masih seorang Muslim.

Kata-kata itu sebenarnya sudah lama disampaikannya. Namun, entah dalam wujud apa, mendadak saja mengusik realita saya belakangan ini. Ada hal-hal yang memang tak bisa dimengerti. Atau hal-hal yang memang tak ingin kita mengerti, sebatas menjaga diri agar tak terluka.

Perihal bombe’, nyatanya memang kerap kali terjadi di sekeliling hidup kita. Tak hanya soal pekerjaan. Orang-orang yang terlibat di dalamnya terkadang saling menjaga diri, saling menjauhi diri. Tak saling menegur. Asing. Strange to the other.

Bisa jadi satu sama lain kukuh mempertahankan prinsipnya. Keras kepala. Entahlah, apakah perihal “keras kepala” juga dikategorikan sebagai sifat dasar manusia Indonesia? Atau hanya sifat dasar anak pertama? Kapan-kapan saya harus menanyakannya pada Selim.

Nah, sudah seberapa Indonesia kah kita?

Perihal beberapa keping waktu yang telah berlalu, nyatanya saya masih memendam sebentuk kekecewaan. Abstrak. Memang, tak jelas wujudnya. Hingga saya harus menahan banyak hal di kepala. Hingga sebatas menahan laju lengkung di bibir. Sudahlah, mungkin, sudah saatnya saya kembali bersikap sebagaimana semestinya... #Sorry...


--Imam Rahmanto--

You Might Also Like

0 comments