Teori dan Praktek
Agustus 04, 2014Baca Juga
Seperti biasa, pagi masih diselimuti hawa dinginnya. Ini masih pukul 7, namun aktivitas di perkampungan ini sudah menggeliat. Anak-anak sekolah berlau-lalang hendak melaksanakan kewajiban masa mudanya. Mobil ataupun motor turut menyela momen-momen pergi-ke-sekolah itu.
Sembari duduk-duduk di beranda, tentu saja dengan segelas cappuccino, saya mengamati. Kabut-kabut yang mulai melebur perlahan, hendak bertukar peran dengan matahari condong memanas. Hanya saja, saya memperkirakan, cuaca tidak akan secerah biasanya. Langit tertutup awan-awan putih menggumpal. Sewaktu-waktu bisa berubah menjadi mendung yang mencurahkan hujan, seperti kemarin.
Menuliskan ini, saya bersiap kembali. Momen libur lebaran nyaris berakhir. Sebenarnya sudah berakhir sejak beberapa hari yang lalu, namun saya saja yang menambah-nambahinya. Kapan lagi coba? hehe… Kesibukan di kota pun sudah membuka sapaannya sejak kemarin. Beberapa teman saya bahkan sudah kembali tepat arus balik, Sabtu-Minggu, kemarin. Yah, gampang ditebak dengan beragamnya update status di jejaring sosial. Tersisa saya dan beberapa orang yang masih nyaman saja mereka satu-satu kenangan yang menggumpal dan bebal di kepala.
#Saya mencopot earphone di telinga saya.
Sederhana. Saya menggantikan pendengaran dengan bunyi-bunyian yang sesungguhnya. Suara-suara membahana pagi lebih nyaman didengar seperti ini. Lebih alami dan mendamaikan, untuk sementara.
Suara ayam bersahutan membangunkan pemiliknya. Mobil-mobil yang melintas dan berpapasan dengan motor, menyuarakan klaksonnya. Terkadang suara motor lebih mendominasi ketika berpapasan dengan motor yang knalpotnya dimodifikasi. Arus sungai kecil di depan rumah, yang tak henti-hentinya mengalir hingga ke muaranya. Tetangga yang sedang menyapu halaman. Anak-anak kecil yang bergantian mengadu pada orang tuanya. Kernet-kernet mobil yang berlomba-lomba memanggil para penumpangnya.
#Saya menggapai gelas yang masih berisi setengah cappuccino.
Banyak hal yang banyak dipertaruhkan dalam hidup ini demi mencapai dan menggapai jalan yang diimpikan. Kalau orang berharapnya jalan yang dilaluinya itu lurus-lurus saja, namun Tuhan menunjukkan jalan berkelok agar kita memperoleh banyak pengalaman di dalamnya.
Semalam, kami baru saja mengunjungi seorang guru. Lama tak berjumpa. Seorang guru, yang telah banyak menginspirasi murid-murid lainnya. Bahkan saya mengadaptasi sedikitnya impiannya yang tertunda. Yah, terkait passion saya dalam menulis ini. Guru yang lebih banyak menyibukkan diri demi mengembangkan sekolah kami. Guru yang lebih banyak mengajarkan kami arti dari kerja keras.
Serius loh. Selama menjalani kepengurusan di lembaga sekolah dulu, kami banyak dibelajarkan tentang kerja keras. Bagaimana menjalankan kekompakan. Dari merencanakan kegiatan, hingga melaksanakannya. Salah satu kegiatan besar kami, dulu, saya sampai harus bermandikan omelan dan cercaan untuk pertama kalinya. #ngelus dada
“Haha…asalkan jangan cuma itunya saja yang diingat,” ujar Bunda, begitu sapaan akrab kami buatnya.
Tenang saja, Bunda. Saya hanya mengingat bagian itu sebagai bagian uniknya. Untuk hal-hal besarnya, seperti sekarang ini, apa yang telah tercapai dan dipelajari dalam hidup ini, semua berdasar dari pengalaman masa SMA itu, kan? Termasuk segala mimpi-mimpi yang saya rancang hingga kini. ;)
Saya percaya, setiap orang membangun pengalamannya masing-masing dari apa yang telah dilaluinya. Kesalahan hanyalah serupa cara yang benar untuk belajar. Tanpa berbuat salah, orang takkan pernah belajar.
Tak ubahnya dalam menjalani hidup, setiap orang harus menerapkan apa yang telah didapatkannya. Ilmu, pengalaman, keterampilan. Semuanya harus dijalankan sinergi agar mencapai hasil yang optimal.
“Ilmu yang diperoleh sejatinya tidak akan banyak diterapkan di dunia nyata. Padahal yang dibutuhkan dalam dunia nyata itu adalah keterampilan. Skill.”
Saya membenarkan perkataan Bunda.
“Perihal hidup adalah mempraktekkan. Hidup tak butuh orang-orang yang pandai. Hidup membutuhkan orang-orang yang terampil dan kreatif.”
Saya mengangguk. Benar yang dikatakannya.
Banyak dari teman-teman saya yang pada akhirnya hanya berlabuh di penyelesaian kuliahnya. Bagi mereka yang hanya berdiam diri, tidak mencoba berpikir kreatif, tidak akan banyak mendapatkan apa. Tuhan juga tahu siapa-siapa saja hamba-Nya yang akan dibantu. Tuhan punya parameter (pengukur) tersendiri, sejauh mana manusia-Nya sudah berusaha keras. Keajaiban = tekad + usaha keras + doa. Kalau sebatas harapan-harapan yang digantungkan tanpa usaha nyata (dan keras), sama halnya dengan “mengemis” pada Tuhan. Sementara Tuhan sendiri tak suka dengan kata “mengemis”.
Hm..pulang ke kampung, nyatanya tidak semata-mata menenggelamkan kami dalam “kengerian-ditanyakan-kapan-selesai-kuliahnya”. Toh, dari beberapa perjalanan kami, saya masih banyak menemukan teman-teman yang nganggur. Akh, padahal periode kelulusan mereka, jauh melampaui saya. Dan semalam, saya harus menawarkan sedikit bantuan kecil, sesekali diwarnai canda. ;)
#akh, cappuccino saya sudah sampai di tegukan terakhir.
Terampil. Terampil. Terampil. Kreatif.
Yah, ingatlah. Hidup tak membutuhkan kita yang hanya mengandalkan ilmu saja. Setiap orang harus bersaing dengan keterampilan yang mereka miliki. Kita butuh hal-hal demikian, selain tetap menyisipkan idealisme di dalamnya.
“Iya, pastilah. Semoga ketika kalian mencapai apa yang kalian impikan, Kalian masih dengan semangat dan idealisme yang kalian junjung,” tutur Bunda.
“Iyalah, Bunda,” balas teman saya, yang bercita-cita memasuki sistem pemerintahan. Aroma-aroma politisi. Sebelumnya sih sempat berdebat tentang idealisme dan tetek bengeknya yang akan luntur ketika terjadi tarik-menarik dalam sistem. Pokoknya seperti itulah.
Sembari menunggu jemputan dari seorang teman, saya masih duduk di depan beranda ini. Sesekali menengok ayah atau ibu yang membutuhkan bantuan kecil. Jam sudah menunjukkan pukul 9 lewat beberapa menit. Saya harus bersiap-siap kembali ke Makassar.
Yah, saya akan kembali ke peraduan di kota. Sekembalinya saya dari sana, lagi, saya berharap akan membawa lebih banyak cerita dan pengalaman yang bisa dibagikan. Termasuk “kelulusan” yang sudah lama diidam-idamkan orang tua. #just believe it
*teman saya sudah menjemput, sekarang.
Ps: Maaf, Ayah. Saya membiarkanmu menyiramkan banyak omongan selama beberapa hari ini. Saya mendiamkannya. Beberapa hal, salah kau persepsikan. Dan ketika tiba waktunya, saya akan menyodorkan usaha saya, dan berkata “Inilah yang selama ini saya sembunyikan.”
Sembari duduk-duduk di beranda, tentu saja dengan segelas cappuccino, saya mengamati. Kabut-kabut yang mulai melebur perlahan, hendak bertukar peran dengan matahari condong memanas. Hanya saja, saya memperkirakan, cuaca tidak akan secerah biasanya. Langit tertutup awan-awan putih menggumpal. Sewaktu-waktu bisa berubah menjadi mendung yang mencurahkan hujan, seperti kemarin.
Menuliskan ini, saya bersiap kembali. Momen libur lebaran nyaris berakhir. Sebenarnya sudah berakhir sejak beberapa hari yang lalu, namun saya saja yang menambah-nambahinya. Kapan lagi coba? hehe… Kesibukan di kota pun sudah membuka sapaannya sejak kemarin. Beberapa teman saya bahkan sudah kembali tepat arus balik, Sabtu-Minggu, kemarin. Yah, gampang ditebak dengan beragamnya update status di jejaring sosial. Tersisa saya dan beberapa orang yang masih nyaman saja mereka satu-satu kenangan yang menggumpal dan bebal di kepala.
#Saya mencopot earphone di telinga saya.
Sederhana. Saya menggantikan pendengaran dengan bunyi-bunyian yang sesungguhnya. Suara-suara membahana pagi lebih nyaman didengar seperti ini. Lebih alami dan mendamaikan, untuk sementara.
Suara ayam bersahutan membangunkan pemiliknya. Mobil-mobil yang melintas dan berpapasan dengan motor, menyuarakan klaksonnya. Terkadang suara motor lebih mendominasi ketika berpapasan dengan motor yang knalpotnya dimodifikasi. Arus sungai kecil di depan rumah, yang tak henti-hentinya mengalir hingga ke muaranya. Tetangga yang sedang menyapu halaman. Anak-anak kecil yang bergantian mengadu pada orang tuanya. Kernet-kernet mobil yang berlomba-lomba memanggil para penumpangnya.
#Saya menggapai gelas yang masih berisi setengah cappuccino.
Banyak hal yang banyak dipertaruhkan dalam hidup ini demi mencapai dan menggapai jalan yang diimpikan. Kalau orang berharapnya jalan yang dilaluinya itu lurus-lurus saja, namun Tuhan menunjukkan jalan berkelok agar kita memperoleh banyak pengalaman di dalamnya.
Semalam, kami baru saja mengunjungi seorang guru. Lama tak berjumpa. Seorang guru, yang telah banyak menginspirasi murid-murid lainnya. Bahkan saya mengadaptasi sedikitnya impiannya yang tertunda. Yah, terkait passion saya dalam menulis ini. Guru yang lebih banyak menyibukkan diri demi mengembangkan sekolah kami. Guru yang lebih banyak mengajarkan kami arti dari kerja keras.
Serius loh. Selama menjalani kepengurusan di lembaga sekolah dulu, kami banyak dibelajarkan tentang kerja keras. Bagaimana menjalankan kekompakan. Dari merencanakan kegiatan, hingga melaksanakannya. Salah satu kegiatan besar kami, dulu, saya sampai harus bermandikan omelan dan cercaan untuk pertama kalinya. #ngelus dada
“Haha…asalkan jangan cuma itunya saja yang diingat,” ujar Bunda, begitu sapaan akrab kami buatnya.
Tenang saja, Bunda. Saya hanya mengingat bagian itu sebagai bagian uniknya. Untuk hal-hal besarnya, seperti sekarang ini, apa yang telah tercapai dan dipelajari dalam hidup ini, semua berdasar dari pengalaman masa SMA itu, kan? Termasuk segala mimpi-mimpi yang saya rancang hingga kini. ;)
Saya percaya, setiap orang membangun pengalamannya masing-masing dari apa yang telah dilaluinya. Kesalahan hanyalah serupa cara yang benar untuk belajar. Tanpa berbuat salah, orang takkan pernah belajar.
Tak ubahnya dalam menjalani hidup, setiap orang harus menerapkan apa yang telah didapatkannya. Ilmu, pengalaman, keterampilan. Semuanya harus dijalankan sinergi agar mencapai hasil yang optimal.
“Ilmu yang diperoleh sejatinya tidak akan banyak diterapkan di dunia nyata. Padahal yang dibutuhkan dalam dunia nyata itu adalah keterampilan. Skill.”
Saya membenarkan perkataan Bunda.
“Perihal hidup adalah mempraktekkan. Hidup tak butuh orang-orang yang pandai. Hidup membutuhkan orang-orang yang terampil dan kreatif.”
Saya mengangguk. Benar yang dikatakannya.
Banyak dari teman-teman saya yang pada akhirnya hanya berlabuh di penyelesaian kuliahnya. Bagi mereka yang hanya berdiam diri, tidak mencoba berpikir kreatif, tidak akan banyak mendapatkan apa. Tuhan juga tahu siapa-siapa saja hamba-Nya yang akan dibantu. Tuhan punya parameter (pengukur) tersendiri, sejauh mana manusia-Nya sudah berusaha keras. Keajaiban = tekad + usaha keras + doa. Kalau sebatas harapan-harapan yang digantungkan tanpa usaha nyata (dan keras), sama halnya dengan “mengemis” pada Tuhan. Sementara Tuhan sendiri tak suka dengan kata “mengemis”.
Hm..pulang ke kampung, nyatanya tidak semata-mata menenggelamkan kami dalam “kengerian-ditanyakan-kapan-selesai-kuliahnya”. Toh, dari beberapa perjalanan kami, saya masih banyak menemukan teman-teman yang nganggur. Akh, padahal periode kelulusan mereka, jauh melampaui saya. Dan semalam, saya harus menawarkan sedikit bantuan kecil, sesekali diwarnai canda. ;)
#akh, cappuccino saya sudah sampai di tegukan terakhir.
Terampil. Terampil. Terampil. Kreatif.
Yah, ingatlah. Hidup tak membutuhkan kita yang hanya mengandalkan ilmu saja. Setiap orang harus bersaing dengan keterampilan yang mereka miliki. Kita butuh hal-hal demikian, selain tetap menyisipkan idealisme di dalamnya.
“Iya, pastilah. Semoga ketika kalian mencapai apa yang kalian impikan, Kalian masih dengan semangat dan idealisme yang kalian junjung,” tutur Bunda.
“Iyalah, Bunda,” balas teman saya, yang bercita-cita memasuki sistem pemerintahan. Aroma-aroma politisi. Sebelumnya sih sempat berdebat tentang idealisme dan tetek bengeknya yang akan luntur ketika terjadi tarik-menarik dalam sistem. Pokoknya seperti itulah.
***
Sembari menunggu jemputan dari seorang teman, saya masih duduk di depan beranda ini. Sesekali menengok ayah atau ibu yang membutuhkan bantuan kecil. Jam sudah menunjukkan pukul 9 lewat beberapa menit. Saya harus bersiap-siap kembali ke Makassar.
Yah, saya akan kembali ke peraduan di kota. Sekembalinya saya dari sana, lagi, saya berharap akan membawa lebih banyak cerita dan pengalaman yang bisa dibagikan. Termasuk “kelulusan” yang sudah lama diidam-idamkan orang tua. #just believe it
*teman saya sudah menjemput, sekarang.
Ps: Maaf, Ayah. Saya membiarkanmu menyiramkan banyak omongan selama beberapa hari ini. Saya mendiamkannya. Beberapa hal, salah kau persepsikan. Dan ketika tiba waktunya, saya akan menyodorkan usaha saya, dan berkata “Inilah yang selama ini saya sembunyikan.”
--Imam Rahmanto--
1 comments
Waaa. Menarik. Aku juga punya Bunda di sekolah, namanya Bu Endang,,, :D
BalasHapus