Success or Not (yet)?
Agustus 01, 2014Baca Juga
“Hei, apa kabar?”
Pertanyaan yang lumrah disampaikan ketika bertemu teman-teman lama. Apalagi kalau masih di kampung. Pertanyaan lanjutan pun tak ada habisnya. Sampai pada poin-poin mengulas masa-masa dulu, hingga tiba pada pertanyaan,”
“Apa kesibukanmu sekarang?” dengan kata lain, perihal pekerjaan atau profesi.
Saya, hingga kini masih berkutat dengan dunia perkuliahan. Di saat teman-teman seumuran saya sudah memboyong gelar sarjana ke kampungnyaa masing-masing, atau bahkan ada yang sudah bekerja seadanya, saya masih saja berada pada level “anak kuliahan”. Sejauh ini, saya masih sementara menyelesaikan tugas akhir yang baru di-acc-kan sekira tiga dua bulan lalu.
Wajarlah kalau orang-orang di kampung lantas menanyakan pertanyaan pamungkas, “Sudah selesai atau belum?”. Algoritma pertanyaan semacam itu terus berputar di kepala saya. Bagi kebanyakan orang di kampung, pertanda sukses stadium awal adalah lulus kuliah. Yeah, lulus kuliah. Tak peduli sehabis kuliah mau ngapain. Pokoknya, selesai kuliah dulu lah. Kalau ternyata jawaban yang diberikan adalah “Belum”, maka tidak akan berlanjut ke pertanyaan berikutnya seperti, “Apami mukerja?”
Namun, beberapa teman lainnya di kampung juga masih ada yang belum menyelesaikan kuliahnya. Saling bertukar cerita, mereka pun ternyata orang-orang yang punya kegiatan lain di luar sekadar ngampus saja.
“Masa bodoh kalau orang mau bilang apa. Yang penting kuliah ki bukan sekadar kuliah saja. Ada beberapa prioritas lain, kan? Yang ternyata akan sangat menjanjikan selepas kuliah ta nanti,” kata salah seorang teman.
Benar. Bagaimana pun, sulit mengubah paradigma yang berkembang di masyarakat. Yang kita lakukan cukup dengan berlalu saja, sebagaimana “Anjing menggonggong, kafilah berlalu”. Tak perlu mempedulikan desas-desus yang berkembang di tengah masyarakat. Pada akhirnya, yang dibutuhkan adalah dengan membuktikan bahwa kita pun mampu sukses, dalam taraf pengertian yang lebih baik. Dan bukan dalam kungkungan paraadigma di tengah masyarakat yang sudah kuat mengakar.
Hm…sukses ya? Sukses dalam definisi kepala setiap orang itu berbeda-beda. Apalagi dengan kepala yang sudah menyimpan puluhan, ratusan, bahkan ribuan impian yang siap dicapai.
“Wee…sukses mi tawwa saya lihat inie,” beberapa teman punya komentar yang beragam.
Seperti biasalah, bertemu dengan teman-teman menuntut kita untuk bercerita banyak hal, termasuk perbandingan-perbandingan yang dianggap kesuksesan itu.
Sukses apanya ya? Dari sisi studi? Belum layak. Dari sisi proporsi tubuh? Sangat belum menampakkan hasilnya. Karena, mitosnya, orang-orang yang sejahtera itu bisa dilihat dari kurus-gemuknya badan. Semakin gemuk, katanya sih semakin sejahtera. Apalagi kalau yang gemuk itu adalah badan bagian depan, alias perut. Hahaha…tapi, jangan percaya sepenuhnya. -_-“ Saya justru tidak pernah bisa menggemukkan badan, meski berusaha makan sebanyak apapun.
Lantas, dari sisi pekerjaan? Hm...saya malah ragu, orang-orang di kampung mengerti tentang ruang lingkup pekerjaan sebagai jurnalis. Dari sisi gaji atau penghasilan? Nah, sebagian besar orang di kampung pada kenyataannya masih mengukur kesuksesan dari materi yang didapatkan (bahkan dipamerkan, biasanya dengan rumah mewah). Tak heran, pekerjaan polisi, tentara, dokter, atau PNS masih menempati posisi pertama dalam Hall of Fame sebagai profesi terbaik (orang di kampung). Jangan heran loh ya kalau berprofesi pada peringkat itu, maka untuk melamar anak gadis seseorang itu amat sangatlah mudah.
“Makanya saya mau cari perempuan yang orang Jawa,” tutur seorang teman saya, Taufik. Satu orang ini yang menjadi partner kekonyolan anjangsana selama lebaran.
“Benar juga sih. Bagus itu, tidak perlu panai' tinggi, apalagi titel borjuis,” saya membenarkan ucapannya.
“Iya, seperti kakakku. Menikah ki dengan orang Jawa. Acaranya sederhana sekali ji. Kayak cuma menikah ji di rumah,”
“Kayaknya panai’nya juga ndak tinggi ji deh,” lanjut saya lagi. Hahahaha…
Setahu saya, turun-temurun, gadis Jawa itu memang terkenal dengan keramahan sekaligus sikap penerimaannya. Kalau kata keluarga saya, nrimo. Apapun pekerjaan suami, mereka rela menemaninya. Duh, romantisnya. Memang sih, seharusnya istri itu lah yang menjadi pemicu kesuksesan suami. Ada kan pepatah yang bilang, “Di balik laki-laki yang sukses, ada perempuan yang selalu berperan.” Jadi, perempuan tidak sekadar menikmati kesuksesan dini seorang laki-laki.
Saya menyukai lirik lagu dari Wali – Yang Penting Halal, tepat pada bagian seorang perempuan yang menyanyikannya,
“Walaupun abang tak punya uang, diriku akan tetap sayang. Yang penting abang selamat di jalan, itu cukup untukku, Sayang.”
Sebagaimana perumpamaan demikian, sukses itu punya pengertian yang relatif. Secara mendasar, sukses berarti mendapatkan apa yang kita inginkan. Sementara setiap orang punya keinginan yang berbeda-beda, kan? Jadi, tak usah mengukur sepatu sendiri di kaki orang lain deh. Cukup gapai saja apa yang diimpikan, diinginkan. Dan merasa bahagialah atas apa yang dicapai dan dimiliki itu. Melihat ke atas, kepada orang lain, cukup dijadikan modal melaju untuk berbuat lebih baik. Untuk bersyukur, kita perlu melihat ke bawah.
Beda kepala, beda keinginan, beda target, beda impian, beda pula kesuksesan yang ingin diraih. Kali saja, ketika saya yang ingin menyukseskan diri dengan mengelilingi dan menjelajahi banyak tempat, teman saya justru sibuk menyukseskan diri dengan mengumpulkan banyak uang. Ingat loh ya, tak semuanya bisa diukur dengan uang, meskipun uang juga sangat dibutuhkan. Atau sukses bisa juga berarti teman-teman saya yang sibuk jadi tim sukses, akhirnya sukses menyukseskan orang lain.
Akan tetapi, seperti kata teman saya, tak usah mempedulikan “desas-desus” orang di kampung. Jalani saja sesuatu yang paling baik demi mencapai impian dan target yang dipatok. Kalau bisa, setinggi-tingginya. Toh, pada akhirnya, orang-orang hanya ingin melihat hasilnya saja.
"Kalau kau mau hidup untuk cari nama di hadapan orang-orang, maka kau tak perlu jadi 'orang',"
Nah, di momen “pulang kampung” lebaran ini, ketika bertemu dengan teman-teman lama itulah, secara tak langsung kita membuat pemeringkatan acak atas kesuksesan-kesuksesan di dalam kepala. Perbandingan-perbandingan dilakukan. Secara tak langsung, ada persaingan yang kemudian tercipta. Meski berkelakar, perbandingan itu terus mengakar dan membuat kita banyak berpikir,
“Sudah sejauh mana saya mencapai kesuksesan sendiri?”
Pertanyaan yang lumrah disampaikan ketika bertemu teman-teman lama. Apalagi kalau masih di kampung. Pertanyaan lanjutan pun tak ada habisnya. Sampai pada poin-poin mengulas masa-masa dulu, hingga tiba pada pertanyaan,”
“Apa kesibukanmu sekarang?” dengan kata lain, perihal pekerjaan atau profesi.
Saya, hingga kini masih berkutat dengan dunia perkuliahan. Di saat teman-teman seumuran saya sudah memboyong gelar sarjana ke kampungnyaa masing-masing, atau bahkan ada yang sudah bekerja seadanya, saya masih saja berada pada level “anak kuliahan”. Sejauh ini, saya masih sementara menyelesaikan tugas akhir yang baru di-acc-kan sekira tiga dua bulan lalu.
Wajarlah kalau orang-orang di kampung lantas menanyakan pertanyaan pamungkas, “Sudah selesai atau belum?”. Algoritma pertanyaan semacam itu terus berputar di kepala saya. Bagi kebanyakan orang di kampung, pertanda sukses stadium awal adalah lulus kuliah. Yeah, lulus kuliah. Tak peduli sehabis kuliah mau ngapain. Pokoknya, selesai kuliah dulu lah. Kalau ternyata jawaban yang diberikan adalah “Belum”, maka tidak akan berlanjut ke pertanyaan berikutnya seperti, “Apami mukerja?”
Namun, beberapa teman lainnya di kampung juga masih ada yang belum menyelesaikan kuliahnya. Saling bertukar cerita, mereka pun ternyata orang-orang yang punya kegiatan lain di luar sekadar ngampus saja.
“Masa bodoh kalau orang mau bilang apa. Yang penting kuliah ki bukan sekadar kuliah saja. Ada beberapa prioritas lain, kan? Yang ternyata akan sangat menjanjikan selepas kuliah ta nanti,” kata salah seorang teman.
Benar. Bagaimana pun, sulit mengubah paradigma yang berkembang di masyarakat. Yang kita lakukan cukup dengan berlalu saja, sebagaimana “Anjing menggonggong, kafilah berlalu”. Tak perlu mempedulikan desas-desus yang berkembang di tengah masyarakat. Pada akhirnya, yang dibutuhkan adalah dengan membuktikan bahwa kita pun mampu sukses, dalam taraf pengertian yang lebih baik. Dan bukan dalam kungkungan paraadigma di tengah masyarakat yang sudah kuat mengakar.
Setiap orang punya cita-cita, target, impian, yang digantungkannya tinggi-tinggi. (Sumber: google.com) |
Hm…sukses ya? Sukses dalam definisi kepala setiap orang itu berbeda-beda. Apalagi dengan kepala yang sudah menyimpan puluhan, ratusan, bahkan ribuan impian yang siap dicapai.
“Wee…sukses mi tawwa saya lihat inie,” beberapa teman punya komentar yang beragam.
Seperti biasalah, bertemu dengan teman-teman menuntut kita untuk bercerita banyak hal, termasuk perbandingan-perbandingan yang dianggap kesuksesan itu.
Sukses apanya ya? Dari sisi studi? Belum layak. Dari sisi proporsi tubuh? Sangat belum menampakkan hasilnya. Karena, mitosnya, orang-orang yang sejahtera itu bisa dilihat dari kurus-gemuknya badan. Semakin gemuk, katanya sih semakin sejahtera. Apalagi kalau yang gemuk itu adalah badan bagian depan, alias perut. Hahaha…tapi, jangan percaya sepenuhnya. -_-“ Saya justru tidak pernah bisa menggemukkan badan, meski berusaha makan sebanyak apapun.
Lantas, dari sisi pekerjaan? Hm...saya malah ragu, orang-orang di kampung mengerti tentang ruang lingkup pekerjaan sebagai jurnalis. Dari sisi gaji atau penghasilan? Nah, sebagian besar orang di kampung pada kenyataannya masih mengukur kesuksesan dari materi yang didapatkan (bahkan dipamerkan, biasanya dengan rumah mewah). Tak heran, pekerjaan polisi, tentara, dokter, atau PNS masih menempati posisi pertama dalam Hall of Fame sebagai profesi terbaik (orang di kampung). Jangan heran loh ya kalau berprofesi pada peringkat itu, maka untuk melamar anak gadis seseorang itu amat sangatlah mudah.
“Makanya saya mau cari perempuan yang orang Jawa,” tutur seorang teman saya, Taufik. Satu orang ini yang menjadi partner kekonyolan anjangsana selama lebaran.
“Benar juga sih. Bagus itu, tidak perlu panai' tinggi, apalagi titel borjuis,” saya membenarkan ucapannya.
“Iya, seperti kakakku. Menikah ki dengan orang Jawa. Acaranya sederhana sekali ji. Kayak cuma menikah ji di rumah,”
“Kayaknya panai’nya juga ndak tinggi ji deh,” lanjut saya lagi. Hahahaha…
Setahu saya, turun-temurun, gadis Jawa itu memang terkenal dengan keramahan sekaligus sikap penerimaannya. Kalau kata keluarga saya, nrimo. Apapun pekerjaan suami, mereka rela menemaninya. Duh, romantisnya. Memang sih, seharusnya istri itu lah yang menjadi pemicu kesuksesan suami. Ada kan pepatah yang bilang, “Di balik laki-laki yang sukses, ada perempuan yang selalu berperan.” Jadi, perempuan tidak sekadar menikmati kesuksesan dini seorang laki-laki.
Saya menyukai lirik lagu dari Wali – Yang Penting Halal, tepat pada bagian seorang perempuan yang menyanyikannya,
“Walaupun abang tak punya uang, diriku akan tetap sayang. Yang penting abang selamat di jalan, itu cukup untukku, Sayang.”
Sebagaimana perumpamaan demikian, sukses itu punya pengertian yang relatif. Secara mendasar, sukses berarti mendapatkan apa yang kita inginkan. Sementara setiap orang punya keinginan yang berbeda-beda, kan? Jadi, tak usah mengukur sepatu sendiri di kaki orang lain deh. Cukup gapai saja apa yang diimpikan, diinginkan. Dan merasa bahagialah atas apa yang dicapai dan dimiliki itu. Melihat ke atas, kepada orang lain, cukup dijadikan modal melaju untuk berbuat lebih baik. Untuk bersyukur, kita perlu melihat ke bawah.
Beda kepala, beda keinginan, beda target, beda impian, beda pula kesuksesan yang ingin diraih. Kali saja, ketika saya yang ingin menyukseskan diri dengan mengelilingi dan menjelajahi banyak tempat, teman saya justru sibuk menyukseskan diri dengan mengumpulkan banyak uang. Ingat loh ya, tak semuanya bisa diukur dengan uang, meskipun uang juga sangat dibutuhkan. Atau sukses bisa juga berarti teman-teman saya yang sibuk jadi tim sukses, akhirnya sukses menyukseskan orang lain.
Akan tetapi, seperti kata teman saya, tak usah mempedulikan “desas-desus” orang di kampung. Jalani saja sesuatu yang paling baik demi mencapai impian dan target yang dipatok. Kalau bisa, setinggi-tingginya. Toh, pada akhirnya, orang-orang hanya ingin melihat hasilnya saja.
"Kalau kau mau hidup untuk cari nama di hadapan orang-orang, maka kau tak perlu jadi 'orang',"
Nah, di momen “pulang kampung” lebaran ini, ketika bertemu dengan teman-teman lama itulah, secara tak langsung kita membuat pemeringkatan acak atas kesuksesan-kesuksesan di dalam kepala. Perbandingan-perbandingan dilakukan. Secara tak langsung, ada persaingan yang kemudian tercipta. Meski berkelakar, perbandingan itu terus mengakar dan membuat kita banyak berpikir,
“Sudah sejauh mana saya mencapai kesuksesan sendiri?”
--Imam Rahmanto--
2 comments
Hwaaa... Pertanyaan yang kamu terima, kurang lebih juga aku alami, mam. Ebuset. Semacam Lebaran paling berat,, gitu.. Masak THR menurun, tapi pertanyaannya makin berat -_-
BalasHapusKamu mah masih untung dapet THR?? Saya? Cuma uang receh buat dimasukin ke kotak amal masjid. #ehh
BalasHapus