Skenario

Maret 05, 2014

Baca Juga

"Apa kabar?"

"Tidak perlu kau berbasa-basi menanyakan kabarku,"

"Aku tak berbasa-basi. Aku benar-benar tulus menanyakan kabarmu," potongku cepat.

Kau lantas terdiam. Lama sekali. Aku hanya bisa lepas memandangimu. Banyak hal yang telah berubah dari dirimu. Buruk. Jauh lebih buruk ketika kau masih bersamaku.

"Kau lihat sendiri kan? Bagaimana keadaanku sekarang,"

Aku hanya terdiam. Lama sekali. Dari pantulan matamu, aku masih melihat kilasan masa lalu bersamamu.

"Sebagaimana kau yang meinggalkanku. Kau meninggalkanku karena keegoisanmu. Kau hanya berpikir tentang dirimu, tanpa melihat sekelilingmu."

"Maaf...."

"Tak usahlah kau meminta maaf. Semuanya telah berlalu. Basi."

"Dulu, hampir 8 bulan lalu, ketika kau melangkahkan kaki keluar dari rumah sakit itu, aku memanggilmu. Berteriak sekuat tenaga. Berharap kau satu-satunya yang mendengar suaraku.

Namun, kau telah ditutupi keegoisanmu. Kau tidak berpikir sedikitpun tentangku. Oke, tak usah tentangku. Ibumu. Kau tak berpikir bagaimana kesulitannya ketika kau pergi kan? Bagaimana kau mengawali langkah dengan berpaling dari ayahmu. Air matamu, aku tahu, menyiratkan keibaan sekaligus ketetapan hatimu. Seperti aku selalu mengetahui keras kepalanya dirimu.

Kau boleh membenci ayahmu. Tapi tidak dengan mengorbankan ibu dan adikmu."

Diam. Lagi-lagi aku hanya diam. Sejujurnya, tak ada yang bisa kuungkapkan padamu. Kata-katamu menampar kesadaranku. Membangkitkan ingatan yang telah lama ingin dimaafkan. Aku hanya menghela napas, panjang, sembari tetap bertahan memandangimu.

"Kau lihat bagaimana buruknya aku sekarang, kan?"

"Hampir 8 bulan kita tak bertemu. Keadaanku kini tak sama lagi ketika kita masih bersama. Seabai-abainya dirimu, kamu masih mau menjagaku. Kau masih mau ditemaniku. Kita, kemana-mana, selalu bersama-sama.

"Lihatlah aku sekarang. Beberapa bagian diriku tercerabut begitu saja. Aku diam, menunggu kedatanganmu. Karena aku yakin, suatu waktu Tuhan akan mempertemukanmu lagi denganku. Sekuat itu aku menunggumu. Aku menunggu. Kapan kita akan bersama lagi, menikmati pagi di tepian Pantai Losari," ia nampak sesak menyampaikan keluhnya setelah lama tak berjumpa denganku.

"Aku juga merindukan kita bersama lagi. Berlarian di tengah jalan pagi-pagi buta, demi menyaksikan keramaian pasar dadakan di Anjungan Losari itu," tuturku.

"Tapi, entahlah. Apakah kita masih akan bertemu lagi. Mungkin, ini adalah kali terakhir aku akan melakukan perjalanan jauh denganmu. Kau ingat, kan? Bagaimana pertama kalinya kita mencari jalan ke Makassar. Hampir tiap tahun kita sama-sama pulang ke rumah. Hampir tiap tahun pula aku selalu merenung bersamamu."

"Kau tahu, pertemuan kita kali ini mungkin akan jadi nuansa perpisahan," aku menukas tanpa ingin mendengar jawabanmu lagi.

"Terima kasih untuk kau yang masih mau menjaga dan bersamaku. Dan aku takkan bisa menolaknya." pasrahnya.

***

Saya mengakhiri potongan skenario di dalam imaji kepala. Di depan sana, motor yang sejak dulu menemani perjalanan saya di Makassar tergolek lemah. Ia siap dikendarai lagi. Hanya saja, kondisinya lebih buruk dibanding sebelum saya meninggalkannya dulu.

Ia kusam tak pernah dicuci. Lampu sebelah kanannya pecah. Kedua spionnya juga. Untuk menghidupkannya saja tidak butuh kunci. Cukup menyambungkan kabel yang menjorok keluar dari leher motor tersebut. Katanya, "Kuncinya hilang. Jadi dibongkar seperti itu." Sampai-sampai tidak diperlukan pula kunci untuk membuka jok bagasinya. Ckck...

Ayah saya yang belum sembuh betul memutuskan untuk pulang ke rumah. Saya, mengendarai motor, yang sejak 8 bulan lalu dititipkan di rumah kawan ayah saya itu, mengiringinya. Untuk pertama kalinya, saya bertemu dengan "Jupiter". Akan tetapi, pun kesempatan ini merupakan kebersamaan terakhir saya dengan motor keluaran tahun 2005 tersebut.

Perjalanan panjang Parepare - Enrekang kemarin nampaknya adalah penutup kebersamaan kami. Diwarnai hujan dan kilat yang sambar-menyambar.

***

"Maafkan karena kau harus berhujan-hujan denganku," ujarku di tengah perjalanan.

Kau tersenyum sembari tetap melaju menerabas genangan air di tengah jalan. "Ini bukan apa-apa. Dulu, kita sering melakukannya. Menembus hujan." ujarmu.


--Imam Rahmanto--

You Might Also Like

2 comments