Menyeberang

Maret 05, 2014

Baca Juga

Memory adalah cara kita lintas waktu ke masa lalu. Barang-barang yang masih utuh hanyalah sebagai pembangkitnya, menjembatani dunia lampau dan waktu sekarang.

Saya memandangi buku kecil, notes, di meja itu. Sampulnya yang nampak dilapisi bahan kulit dengan kancing sebagai penguncinya. Masih utuh seperti saat dulu saya memakainya. Hanya sedikit robekan kecil, mungkin ulah kecoa, di ujung kiri sampulnya. Dari dalam mencuat tulisan tangan, Pramuka Saka Bhayangkara.

Isinya tiba-tiba saja menarik memory saya ke masa lalu. Saat-saat dimana saya masih berseragam pramuka. Di waktu ketika saya berteriak lantang dengan teman-teman yang badannya jauh lebih besar daripada saya. Saya harus rela selalu dibariskan di belakang. Pramuka yang berbeda dari Pramuka biasa. Pramuka yang setiap minggu mendapat jadwal latihan dari para petugas polisi kecamatan.

Saya lupa alasan masuk dalam barisan "kemiliteran" itu dulu. Mm...mungkin karena teman saya yang mengajak, dan kelihatan keren juga. Saya paling suka dengan seragamnya yang mengenakan setelan celana panjang cokelat bersaku banyak, kiri dan kanan.

Lantas membongkar barang lainnya. Ada impuls menyenangkan mendapati barang-barang "jahiliyah" saya disana. Banyak hal bisa membuat saya tersenyum simpul, hingga tertawa sendiri. Ada lampu kamar.

Ayah adalah orang yang gemar mengoleksi barang-barang bekas. Di rumah, khususnya perkakas motor, ada banyak barang yang disimpannya. Baut, gir, lampu motor, stir motor, dinamo, hingga velg. Jika barang-barang itu ia anggap masih berguna, tak segan ia akan menyimpannya. Wajar jika ayah kerap kali menjadi montir bagi teman-teman lainnya sesama orang Jawa. Sesekali, tetangga pun ada yang meminta bantuan padanya.

Seperti halnya memodifikasi sesuatu, ayah saya sangat senang memanfaatkan barang-barang bekas tersebut ketimbang membeli bahan baru. Selain itu, dulu, ayah memang menjalani pekerjaan sebagai pengepul barang bekas. Saya jadi ingat sepeda masa kecil saya yang dibuat ayah dari sepeda bekas.

Sedikitnya, saya menyadari, ternyata kebiasaan saya menyimpan barang-barang yang masih layak pakai menurun dari kebiasaan ayah saya. Sejak kecil saya juga senang memodifikasi barang. Dari jam dinding di kamar saya yang berbahan dasar jam waker dan tutup stoples. Hingga lampu kamar saya yang bertenaga baterai.

Yah, tidak banyak hal yang bisa dibeli dengan uang. Memanfaatkan barang-barang masih layak pakai terkadang menjadi satu-satunya pilihan untuk bisa terus bersejajar dengan orang-orang lain.

***

Entah bunga melati atau bukan, yang saya temukan tumbuh
di depan halaman rumah saya. (Foto: me)
Pantas rasanya jika saya mengucapkan "apa kabar" atas banyak hal yang telah saya tinggalkan di tanah kelahiran ini. Saya benar-benar tidak tahu banyak hal yang berubah dalam masa pelarian saya.

"Anaknya Haji "ini" sudah menikah loh," ibu terkadang menyampaikan kebaruan bagi adaptasi saya.

"Itu rumahnya siapa?"

"Ohh, itu rumah anaknya bapak "ini","  saya lebih banyak bertanya hal-hal umum yang terlihat oleh mata.
Bahkan rumah besar yang kini berdiri megah menunjukkan kesenjangannya di hadapan kami, dulu belum ada.

Bukan hanya orang yang berubah, segalanya berubah. Not just people change, everything change.



--Imam Rahmanto--

You Might Also Like

0 comments