Menjadi “Bukan Saya”

Maret 11, 2014

Baca Juga

Maaf ya untuk Dian, Ai, dan juga Dewi. Saya baru bisa ngeposting hari ini. Hm…lagi-lagi saya harus menyingkirkan banyak hal yang berseliweran di kepala saya. It’s I am. Saya orang yang terkadang sangat rajin, tekun, pantang menyerah, hingga  tidak ingin berhenti mengerjakan sesuatu sebelum benar-benar b. Namun terkadang saya menjadi orang paling “penunda” sedunia. Apalagi ketika kepala saya sudah nyaris mencapai batas maksimumnya. Akh, karena kesalahan saya kemarin, tak ada lagi tempat untuk saya membaginya…

Eh, tapi, tapi tidak berarti saya akan berlama-lama dalam masa “pengasingan” diri itu. Saya akan tetap bersaing dengan kalian. Huahahaha…  *tunggu dulu, saya ngobrol dengan Cappie dulu ya…*slurp..

Lantas, mendadak saya berpikir bagaimana seandainya saya menjadi “bukan saya”? Karena beberapa hari belakangan pun saya memasuki fase itu. Kalau tiba waktu saya mengobral “penunda-penundaan” itu, saya memasuki fase beralih dari diri saya. Saya lebih banyak menyendiri. Serius loh. Seperti semalam, lebih dari sejam saya berkeliling sendirian di toko buku Gramedia. Sebentar saja, karena tiba-tiba kaki saya membutuhkan pertolongan pertama. Pendarahan di jempol saya tidak berhenti!!

Nyaris sejam pula saya menghabiskan waktu duduk sendirian di depan tugu besar tulisan “Mal Ratu Indah” sembari menatap kendaraan yang lalu-lalang di hadapan saya. Apa sekalian saya jadikan data untuk usulan judul krispi saya ya? Berapa jumlah mobil yang lewat dalam semenit? Berapa jumlah motor yang lewat dalam semenit? Berapa banyak pejalan kaki yang membawa anak? Berapa banyak pejalan kaki yang mengendarai mobil? Berapa banyak wanita cantik yang membawa pasangannya? Akh, saya jadi malas berhitung…

Saya yang “bukan saya”. Mungkin dalam hal tampang juga. Kalau saja wajah saya tidak jauh beda dengan Bang Anjasmara mungkin, saya tidak perlu repot-repot banyak bicara kepada wanita. Cukup mengatakan “Hai”, sedikit perbincangan, menitip nomor telepon, saya yakin banyak wanita yang akan menaruh hati pada saya. Sadaapp….. Tapi, sudahlah, saya mensyukuri diri seperti ini saja. Bersyukur dengan tahi lalat yang menjadi ciri khas “kemanisan” wajah saya. Bersyukur dengan wajah tirus karena memikirkan banyak hal. Huahahahaha…. 

Saya hanya berharap membuang sifat-sifat buruk saya dengan menjadi “bukan saya”. Banyak sifat-sifat manusia yang terhimpun semenjak ia dibesarkan dalam keluarganya, hingga harus dibawanya ketika ia memandirikan diri dari keluarganya.

Saya, yang kerap tak mempercayai orang lain, sampai harus mengerjakan semua hal sendirian.Bersikap sok jagoan. Sampai harus menyiksa diri sendiri. Sampai harus menampung lebih banyak kepercayaan orang lain, dan bersiap akan diberikan tugas-tugas yang lebih besar lagi. Padahal, sadar atau tidak, Tuhan sudah membagi “kotak” kepercayaan kita masing-masing. Setiap “kotak” itu bukannya tak terbatas, melainkan ia memiliki batas yang harus kita proporsikan sesuai dengan keperluan dan kemampuan kita.

Soal tak mempercayai itu, saya nampaknya hanya menjadikannya pelampiasan atas kehidupan saya di masa lalu. Sejujurnya, saya juga tahu bagaimana sakitnya ketika kita merasa tak dipercayai. Saya kerap kali mendapatinya dari ayah saya. Seberapa benar hal-hal yang saya kerjakan dan lakukan, ia cenderung meragukannya. Saya jadi bingung sendiri bagaimana harus memperbaiki kepercayaan ayah saya, hingga merasa tak dihargai lagi. Ia tak mempercayai saya. Hh, karena tak dipercayai itulah, saya harus menjalani kehidupan saya menjauh dari keluarga.

“Tidak dipercaya itu rasanya tidak enak,” ujar seseorang yang memantik ingatan saya belakangan.

Yah, saya pikir memang begitu. Maaf atas sikap saya yang agak berlebihan. Saya bersalah telah mengaitkan apa yang saya jalani dengan sifat yang saya dapatkan dan jiplak dari ayah saya. Saya menyesalinya. Saya hanya berharap bisa menjalaninya lagi. Saya merindukannya… 

Menjadi seorang pemimpin, saya belajar untuk banyak mempercayai. Saya diajarkan untuk tidak mengerjakan semuanya sendiri. Meski pada awalnya sulit, namun lambat laun saya menyadarinya bahwa hidup bukan selalu tentang diri sendiri. Kita hidup dalam masyarakat, dan kita hidup untuk saling mempercayai.

Saya jadi menyerahkan hal-hal yang pantas dipercayakan kepada orang lain. Saya memperbaiki manajemen diri. Meski pada awalnya bakal berantakan, namun itu konsekuensi belajar. Siapapun tidak akan pernah benar ketika ia tidak belajar, dan belajar itu sudah sewajarnya banyak salah. Selama kita tidak mengalah dan mengeluh, jalani saja dan bangun sesuatu yang lebih baik.

Dian, Ai, dan Dewi, saya untuk beberapa hari terakhir ini benar-benar ingin banyak mempercayai orang lain. Saya telah dimakan masa lalu atas ketidakpercayaan ayah saya sendiri. Haha…mungkin dalam benak kalian mendadak berpikir, oo… Imam yang konyol dan suka rame sendiri ternyata punya hubungan keluarga yang agak rumit ya? Sejujurnya, iya. Saya yang beranjak dewasa dan ayah, tidak seakrab Dian yang bisa belajar dan bermain-main catur sepuasnya dengan ayahnya. ^_^.

Soal kepercayaan itu, sekali lagi saya merasa ingin menjadi “bukan saya”. Dengan begitu, saya bisa dengan sederhana mempercayai orang lain, dan secara sederhana pula menjalin hubungan dengan orang lain. Mungkin, hingga saya benar-benar lupa bahwa “bukan saya” adalah bukan saya. Biarlah ia menyusup dalam kehidupan saya. Dan bukankah untuk hal-hal baik, mengadaptasi “bukan saya” adalah “saya” untuk sarana belajar? Sama halnya ketika kita belajar menggambar, kita mencontoh potongan gambar orang lain dulu. Kalau sudah mahir, ya cukup dengan gambar-gambar ala kita sendiri.

Menjadi “bukan saya”, saya ingin lebih banyak mempercayai orang lain…

Menjadi “bukan saya”, saya ingin lebih banyak mempercayai orang lain…

Saya ingin lebih banyak mempercayai orang lain…

Saya lebih banyak mempercayai orang lain…

Saya percaya…

Saya ingin lebih banyak mempercayai, kamu…


--Imam Rahmanto--

You Might Also Like

2 comments

  1. Gila. Sampai merinding aku, baca tulisan ini. Semoga kamu bisa lebih permempercayai orang lain, seperti halnya kamu mempercayai keajaiban. Bahkan, mungkin, kamu bisa percaya pula dengan kebetulan :D

    BalasHapus
  2. Wah, kalau "kebetulan", saya bakalan sulit mempercayainya deh. :P

    BalasHapus