Menantang Masalah
September 22, 2013Baca Juga
Saya bingung. Ada banyak hal yang melilit di kepala saya dan secara bergantian memaksa diperhatikan. Padahal fokus saya hanya bisa satu (atau paling tidak dua hal), tidak bisa semuanya sekaligus secara bersamaan.
Dan terkadang ada beberapa hal yang pada kenyataannya tidak mampu saya selesaikan dengan baik. Saya menyadari itu. Tidak setiap waktu keajaiban-keajaiban kecil bisa diciptakan. Ada banyak orang lain di belahan bumi sana yang juga butuh keajaiban-keajaiban itu.
Tantangan, katanya harus selalu diselesaikan dengan baik. Diselesaikan dengan sepenuh hati.
Saya mengenal seorang adik junior saya, yang juga seorang bawahan saya di lembaga pers kampus. Saya cukup kagum dengannya. Tampilannya yang kecil, tidak menunjukkan bahwa dia orang yang lemah. Makanya saya tidak pernah berani meremehkan kemampuan orang-orang kecil. Hal-hal besar pada kenyataannya dirangkai dari hal-hal kecil. Justru, untuk membuktikan kepada orang lain tentang kemampuannya, ia mati-matian selalu memenuhi setiap tugas maupun tantangan yang saya berikan. Tak satupun tugas liputan kampus yang saya berikan luput dari perhatiannya. Baginya, tantangan adalah motivasinya untuk berbuat lebih baik.
“Saya suka tantangan,” ujarnya dengan sikap kerasnya. Garis mata tegasnya menyiratkan setiap keteguhan yang dimilikinya. Ia bukan tipe orang-orang yang periang atau cerewet. Hanya menanggapi sekilas setiap percakapan yang dilayangkan padanya. Seperlunya. Akan tetapi, nyaris setiap tugas yang saya bebankan dilaksanakan dengan “Iya”.
Diantara teman-teman lainnya, ia menjadi orang yang paling bijak menyikapi sesuatu. Menjadi penyemangat bagi teman-teman yang lainnya. Menjadi penyemangat bagi dirinya sendiri. Sungguh, orang-orang yang unik. Menjadi orang-orang yang tidak banyak mengeluh, bahkan kepada setiap masalah yang dimilikinya.
Saya belajar darinya menyikapi setiap tantangan. Dan masalah atau apapun itu namanya adalah tantangan dalam bentuk berbeda. Skala “belajar”nya lebih tinggi.
“Dengan melarikan diri dari masalah, bisa membuat hati kita tenang,” seorang teman pernah berkata pada saya.
“Masalah bukan untuk dihindari, melainkan untuk dihadapi. Anonim. Tapi, pada dasarnya memang begitu,” bantah saya.
“Bilang saja kalau tidak bisa melarikan diri dari masalahnya,” cibirnya.
Melarikan diri? Setiap saat kita bisa melarikan diri. Bahkan tanpa harus selalu berharap agar kita sejatinya menghilang saja dari dunia ini (ketika berhadapan dengan masalah). Sekali-kali saya juga terkadang melarikan diri dari permasalahan yang menghimpit saya. Hanya saja, apakah dengan melarikan diri permasalahan akan terselesaikan?
Sejenak, memang kita akan menganggapnya selesai. Akan tetapi itu hanya anggapan jangka pendek. Sewaktu-waktu masalah itu sekonyong-konyong akan menabrak ketika kita telah kembali pada kesadaran semula. Dua kali lipat. Dan semakin membuat kita terpuruk. Seharusnya, segala hal yang dimulai seyogyanya diakhiri pula dengan baik.
Saya tidak tahu bagaimana menyikapi setiap persoalan hidup. Saya yakin, seorang Mario teguh pun tak selalu bisa menyelesaikan masalahnya dengan bijak. Orang bijak biasanya dihadapkan pada pilihan-pilihan (bijak) yang ditetapkannya sendiri. Tidak memilih pun dianggap suatu pilihan. Untuk itu, dia belajar. Lalu, kenapa tidak kita menciptakan pilihan-pilihan kita juga sendiri?
Sejatinya, kita menjalani hidup adalah dengan dan untuk belajar. Kata orang, hidup adalah tantangan. Hidup adalah pilihan. Tidak perlu mengeluh. Yang bisa dilakukan cukup tersenyum dan selalu percaya bahwa segalanya akan berjalan sesuai dengan yang dipikirkan dan diimpikan….
*Ps: postingan yang sok-sok bijak karena berusaha untuk menyemangati diri sendiri. Hahaha…
Dan terkadang ada beberapa hal yang pada kenyataannya tidak mampu saya selesaikan dengan baik. Saya menyadari itu. Tidak setiap waktu keajaiban-keajaiban kecil bisa diciptakan. Ada banyak orang lain di belahan bumi sana yang juga butuh keajaiban-keajaiban itu.
Tantangan, katanya harus selalu diselesaikan dengan baik. Diselesaikan dengan sepenuh hati.
Saya mengenal seorang adik junior saya, yang juga seorang bawahan saya di lembaga pers kampus. Saya cukup kagum dengannya. Tampilannya yang kecil, tidak menunjukkan bahwa dia orang yang lemah. Makanya saya tidak pernah berani meremehkan kemampuan orang-orang kecil. Hal-hal besar pada kenyataannya dirangkai dari hal-hal kecil. Justru, untuk membuktikan kepada orang lain tentang kemampuannya, ia mati-matian selalu memenuhi setiap tugas maupun tantangan yang saya berikan. Tak satupun tugas liputan kampus yang saya berikan luput dari perhatiannya. Baginya, tantangan adalah motivasinya untuk berbuat lebih baik.
“Saya suka tantangan,” ujarnya dengan sikap kerasnya. Garis mata tegasnya menyiratkan setiap keteguhan yang dimilikinya. Ia bukan tipe orang-orang yang periang atau cerewet. Hanya menanggapi sekilas setiap percakapan yang dilayangkan padanya. Seperlunya. Akan tetapi, nyaris setiap tugas yang saya bebankan dilaksanakan dengan “Iya”.
Diantara teman-teman lainnya, ia menjadi orang yang paling bijak menyikapi sesuatu. Menjadi penyemangat bagi teman-teman yang lainnya. Menjadi penyemangat bagi dirinya sendiri. Sungguh, orang-orang yang unik. Menjadi orang-orang yang tidak banyak mengeluh, bahkan kepada setiap masalah yang dimilikinya.
Saya belajar darinya menyikapi setiap tantangan. Dan masalah atau apapun itu namanya adalah tantangan dalam bentuk berbeda. Skala “belajar”nya lebih tinggi.
“Dengan melarikan diri dari masalah, bisa membuat hati kita tenang,” seorang teman pernah berkata pada saya.
“Masalah bukan untuk dihindari, melainkan untuk dihadapi. Anonim. Tapi, pada dasarnya memang begitu,” bantah saya.
“Bilang saja kalau tidak bisa melarikan diri dari masalahnya,” cibirnya.
Melarikan diri? Setiap saat kita bisa melarikan diri. Bahkan tanpa harus selalu berharap agar kita sejatinya menghilang saja dari dunia ini (ketika berhadapan dengan masalah). Sekali-kali saya juga terkadang melarikan diri dari permasalahan yang menghimpit saya. Hanya saja, apakah dengan melarikan diri permasalahan akan terselesaikan?
Sejenak, memang kita akan menganggapnya selesai. Akan tetapi itu hanya anggapan jangka pendek. Sewaktu-waktu masalah itu sekonyong-konyong akan menabrak ketika kita telah kembali pada kesadaran semula. Dua kali lipat. Dan semakin membuat kita terpuruk. Seharusnya, segala hal yang dimulai seyogyanya diakhiri pula dengan baik.
Saya tidak tahu bagaimana menyikapi setiap persoalan hidup. Saya yakin, seorang Mario teguh pun tak selalu bisa menyelesaikan masalahnya dengan bijak. Orang bijak biasanya dihadapkan pada pilihan-pilihan (bijak) yang ditetapkannya sendiri. Tidak memilih pun dianggap suatu pilihan. Untuk itu, dia belajar. Lalu, kenapa tidak kita menciptakan pilihan-pilihan kita juga sendiri?
Sejatinya, kita menjalani hidup adalah dengan dan untuk belajar. Kata orang, hidup adalah tantangan. Hidup adalah pilihan. Tidak perlu mengeluh. Yang bisa dilakukan cukup tersenyum dan selalu percaya bahwa segalanya akan berjalan sesuai dengan yang dipikirkan dan diimpikan….
--Imam Rahmanto--
*Ps: postingan yang sok-sok bijak karena berusaha untuk menyemangati diri sendiri. Hahaha…
0 comments