Tupai yang Terjatuh
September 12, 2013Baca Juga
Selamat pagi!
Saya selalu menyukainya. Memandangi langit di kala orang-orang masih terlelap dengan buaian mimpi mereka. Memandangi awan bias kemerah-merahan diterpa sinar matahari yang keluar sepotong-potong. Dan menantikan kehangatan di setiap pangkal hari. Selalu menyenangkan.
Dan...inspirasi, motivasi, semangat, bagi saya, selalu datang di pagi hari. Bahkan pagi-pagi buta. Dengan bahan-bahan itu, kita bisa menciptakan hari yang baik. Just believe it! Tentu, tidak lupa dengan menikmati seteguk Cappuccino. Tiba-tiba saya teringat dengan beberapa orang yang pernah menghadiahi saya minuman itu. Terima kasih. :)
“Kenapa suka Cappuccino?” seorang murid pernah bertanya pada saya.
“Hm..kenapa ya? Mungkin karena minuman itu enak. Atau mungkin karena minuman itu pula yang bisa menemani saya di waktu-waktu orang lain terlelap, dan saya bisa belajar lebih banyak tentang kehidupan,” jawab saya agak ngelantur. Meskipun pada dasarnya apa yang saya ungkapkan ada benarnya juga.
Pagi ini, saya masih menghabiskan waktu dengan duduk di beranda rumah posko sambil memandangi langit yang sebentar lagi berubah terang. Tidak ada jam mengajar buat saya hari ini. Hari Kamis dan Jumat (termasuk Minggu juga), di masa-masa KKN adalah hari libur bagi saya selaku seorang guru (bantu) Matematika. Lagi, saya hanya menangani dua kelas saja di sekolah yang menjadi pusat Praktek Pengalaman Lapangan (PPL) saya. Mmm....”hanya”?? Jam pelajaran Matematika di sekolah manapun cenderung sama banyaknya. Lebih banyak dari pelajaran-pelajaran lainnya. Bersabarlah menjadi guru bidang studi itu......
Menjadi guru bukanlah perkara sulit. Akan tetapi, menjadi guru yang baik, bukanlah perkara mudah. Saya sedikitnya belajar dari hal-hal yang telah terjadi selama berinteraksi dengan murid saya di sekolah.
Sepandai-pandainya tupai melompat, akhirnya bakal jatuh juga. Tanpa persiapan yang matang tentu segala hal yang tidak terencana dengan baik akan berantakan, bukan? Ya, ya, ya semacam itulah.
“Mari coba kita selesaikan soal ini,” ujar saya mengarahkan. Hari itu saya membahas salah satu contoh soal di kelas Aljabar.
Tentu saja, dalam pikiran adik-adik saya, soal tersebut bisa diselesaikan dengan mudah oleh saya. Akan tetapi, tahu tidak, saya pun baru menemukannya dalam buku pedoman saya dan belum pernah mencoba mengerjakannya dengan baik. Cukup melihat sekilas dan memikirkannya, saya bisa menyelesaikannya. Begitu pikir saya, dengan berani.
Alhasil, saya menemukan diri saya tersesat dalam penyelesaian soal tersebut. Setelah yakin mampu menyelesaikannya dan menunjuk salah seorang siswa untuk mengerjakannya dengan tuntas, hasilnya jauh dari perkiraan awal. Saya lantas berpikir, ada yang tidak beres.
Benar saja, ketika saya mengecek kembali buku pedoman, memang ada kesalahan penafsiran. Waduh! Perasaan saya pun mendadak diterpa “ketakutan” akan kesalahan yang saya lakukan. Sebagai seorang guru, kata orang, tidak baik menunjukkan “ketidakpintaran” kita di depan murid-murid kita. Pokoknya, siswa harus melihat kita sebagai orang yang pintar.
Dengan berkeringat dingin, saya memperbaiki proses pengerjaan yang sebelumnya telah rampung. Sedikit lebih berhati-hati dari sebelumnya. Taraa!! Dan menghasilkan nilai sesuai dengan yang (seharusnya) diharapkan.
Hahaha....adalah hal lucu melihat diri saya tenggelam dalam kondisi seperti itu. Bayangkan saja, saya yang sejak awal tidak pernah merasa grogi berbicara di depan orang banyak, mendadak berubah kikuk ketika mendapati diri saya melakukan kesalahan di depan murid-murid saya. Meskipun kesalahan tersebut dikaji ulang, namun tentunya saya tidak akan mampu menepis asumsi yang akan muncul dalam benak mereka satu persatu. Entah itu mengenai saya ataupun guru pada umumnya. Mungkin, menurut mata kuliah Microteaching, saya telah gagal menjadi guru pada hari itu. Hahaha...tak apalah.
Lebih menggelikan lagi ketika mendapati wajah saya cemong oleh sisa-sisa warna spidol. Gara-garanya, saya berulang kali mengusap wajah (yang berkeringat) dengan tangan yang berlumuran tinta-tinta bekas menulis di whiteboard. Nyaris saja semua murid di kelas terkikik geli melihat wajah saya. Emm...mungkin lebih tepatnya memandang iba. :(
Saya hanya berusaha menjadi guru yang baik. Saya tidak pernah bermaksud menjadi guru yang pintar, ataupun sok pintar. Karena hal itu bukan kapabilitas saya. Meskipun mengajarkan sesuatu pada orang lain adalah hal yang menyenangkan. Cukup membanggakan bisa mengajarkan kepandaian untuk orang lain. Akan tetapi, lebih menyenangkan bisa membagi semangat untuk orang lain. Mm..saya lebih memilih opsi kedua.
Salah, saya pun mengakuinya. Melakukan kesalahan adalah hal manusiawi. Namun mengakuinya, bukan perkara mudah. Terkadang orang-orang yang melakukan kesalahan tidak ingin mengakui atau bahkan meminta maaf atas kesalahan yang telah dilakukannya. Sebagian besar orang mungkin malah menghindar.
Hal semacam itu mungkin banyak pula terjadi pada guru-guru yang tak pernah ingin dianggap "tidak pintar" oleh murid-muridnya. Kesannya, seolah-olah, segala hal yang dikemukakan oleh guru selalu benar. Padahal, sejatinya seorang guru adalah juga manusia biasa. Tiada gading yang tak retak. Tak ada manusia yang luput dari kesalahan.
"Hehe...saya minta maaf ya kalau saya nyaris menyesatkan kalian," pinta saya sambil mengusap-usap wajah saya. Meminta maaf, bukanlah hal yang perlu disembunyikan. Bukan hal tabu.
Selalu, saya ingin mengajarkan, oh bukan, tapi mendidik murid-murid saya tentang "hidup". Bukan tentang pelajaran-pelajaran formal yang didapatkan di sekolah. Jikalau untuk membuat mereka pintar satu-satunya tujuan belajar, maka saya mungkin bukanlah orang yang pantas bagi mereka. Saya bukan orang pandai. Saya hanya orang biasa yang mencoba untuk membagi "hidup" saya untuk orang lain. Sedikit mengajarkan mereka tentang semangat, inspirasi, dan motivasi membangun impian dan cita-cita mereka. Oleh karena itu, saya menjadi orang ter-cerewet ketika berada dalam kelas mengajar. haha... :p
Seekor tupai mampu melompat dari satu batang pohon ke batang yang lain. Akan tetapi, se-sempurna-nya kaki dan tangan yang diciptakan Tuhan untuknya, terkadang sesekali ia pernah jatuh berdebum ke tanah. Dan, saya bukan tupai itu. Saya justru seorang manusia, yang pastinya banyak melakukan kesalahan. Entah itu disengaja maupun tidak. Akan tetapi, yakinlah selalu, di setiap kesalahan yang kita lakukan selalu ada kesmpatan untuk berbuat benar. Memperbaikinya. Dan di setiap hal yang kita lakukan, salah atau benar, selalu ada celah untuk menertawakannya.
Dan tentu saja, pada hari itu saya benar-benar menunjukkan betapa berharganya menjadi orang berani ketimbang orang pandai.
Saya selalu menyukainya. Memandangi langit di kala orang-orang masih terlelap dengan buaian mimpi mereka. Memandangi awan bias kemerah-merahan diterpa sinar matahari yang keluar sepotong-potong. Dan menantikan kehangatan di setiap pangkal hari. Selalu menyenangkan.
Dan...inspirasi, motivasi, semangat, bagi saya, selalu datang di pagi hari. Bahkan pagi-pagi buta. Dengan bahan-bahan itu, kita bisa menciptakan hari yang baik. Just believe it! Tentu, tidak lupa dengan menikmati seteguk Cappuccino. Tiba-tiba saya teringat dengan beberapa orang yang pernah menghadiahi saya minuman itu. Terima kasih. :)
“Kenapa suka Cappuccino?” seorang murid pernah bertanya pada saya.
“Hm..kenapa ya? Mungkin karena minuman itu enak. Atau mungkin karena minuman itu pula yang bisa menemani saya di waktu-waktu orang lain terlelap, dan saya bisa belajar lebih banyak tentang kehidupan,” jawab saya agak ngelantur. Meskipun pada dasarnya apa yang saya ungkapkan ada benarnya juga.
Pagi ini, saya masih menghabiskan waktu dengan duduk di beranda rumah posko sambil memandangi langit yang sebentar lagi berubah terang. Tidak ada jam mengajar buat saya hari ini. Hari Kamis dan Jumat (termasuk Minggu juga), di masa-masa KKN adalah hari libur bagi saya selaku seorang guru (bantu) Matematika. Lagi, saya hanya menangani dua kelas saja di sekolah yang menjadi pusat Praktek Pengalaman Lapangan (PPL) saya. Mmm....”hanya”?? Jam pelajaran Matematika di sekolah manapun cenderung sama banyaknya. Lebih banyak dari pelajaran-pelajaran lainnya. Bersabarlah menjadi guru bidang studi itu......
Menjadi guru bukanlah perkara sulit. Akan tetapi, menjadi guru yang baik, bukanlah perkara mudah. Saya sedikitnya belajar dari hal-hal yang telah terjadi selama berinteraksi dengan murid saya di sekolah.
Sepandai-pandainya tupai melompat, akhirnya bakal jatuh juga. Tanpa persiapan yang matang tentu segala hal yang tidak terencana dengan baik akan berantakan, bukan? Ya, ya, ya semacam itulah.
“Mari coba kita selesaikan soal ini,” ujar saya mengarahkan. Hari itu saya membahas salah satu contoh soal di kelas Aljabar.
Tentu saja, dalam pikiran adik-adik saya, soal tersebut bisa diselesaikan dengan mudah oleh saya. Akan tetapi, tahu tidak, saya pun baru menemukannya dalam buku pedoman saya dan belum pernah mencoba mengerjakannya dengan baik. Cukup melihat sekilas dan memikirkannya, saya bisa menyelesaikannya. Begitu pikir saya, dengan berani.
Alhasil, saya menemukan diri saya tersesat dalam penyelesaian soal tersebut. Setelah yakin mampu menyelesaikannya dan menunjuk salah seorang siswa untuk mengerjakannya dengan tuntas, hasilnya jauh dari perkiraan awal. Saya lantas berpikir, ada yang tidak beres.
Benar saja, ketika saya mengecek kembali buku pedoman, memang ada kesalahan penafsiran. Waduh! Perasaan saya pun mendadak diterpa “ketakutan” akan kesalahan yang saya lakukan. Sebagai seorang guru, kata orang, tidak baik menunjukkan “ketidakpintaran” kita di depan murid-murid kita. Pokoknya, siswa harus melihat kita sebagai orang yang pintar.
Dengan berkeringat dingin, saya memperbaiki proses pengerjaan yang sebelumnya telah rampung. Sedikit lebih berhati-hati dari sebelumnya. Taraa!! Dan menghasilkan nilai sesuai dengan yang (seharusnya) diharapkan.
Hahaha....adalah hal lucu melihat diri saya tenggelam dalam kondisi seperti itu. Bayangkan saja, saya yang sejak awal tidak pernah merasa grogi berbicara di depan orang banyak, mendadak berubah kikuk ketika mendapati diri saya melakukan kesalahan di depan murid-murid saya. Meskipun kesalahan tersebut dikaji ulang, namun tentunya saya tidak akan mampu menepis asumsi yang akan muncul dalam benak mereka satu persatu. Entah itu mengenai saya ataupun guru pada umumnya. Mungkin, menurut mata kuliah Microteaching, saya telah gagal menjadi guru pada hari itu. Hahaha...tak apalah.
Lebih menggelikan lagi ketika mendapati wajah saya cemong oleh sisa-sisa warna spidol. Gara-garanya, saya berulang kali mengusap wajah (yang berkeringat) dengan tangan yang berlumuran tinta-tinta bekas menulis di whiteboard. Nyaris saja semua murid di kelas terkikik geli melihat wajah saya. Emm...mungkin lebih tepatnya memandang iba. :(
Saya hanya berusaha menjadi guru yang baik. Saya tidak pernah bermaksud menjadi guru yang pintar, ataupun sok pintar. Karena hal itu bukan kapabilitas saya. Meskipun mengajarkan sesuatu pada orang lain adalah hal yang menyenangkan. Cukup membanggakan bisa mengajarkan kepandaian untuk orang lain. Akan tetapi, lebih menyenangkan bisa membagi semangat untuk orang lain. Mm..saya lebih memilih opsi kedua.
Salah, saya pun mengakuinya. Melakukan kesalahan adalah hal manusiawi. Namun mengakuinya, bukan perkara mudah. Terkadang orang-orang yang melakukan kesalahan tidak ingin mengakui atau bahkan meminta maaf atas kesalahan yang telah dilakukannya. Sebagian besar orang mungkin malah menghindar.
Hal semacam itu mungkin banyak pula terjadi pada guru-guru yang tak pernah ingin dianggap "tidak pintar" oleh murid-muridnya. Kesannya, seolah-olah, segala hal yang dikemukakan oleh guru selalu benar. Padahal, sejatinya seorang guru adalah juga manusia biasa. Tiada gading yang tak retak. Tak ada manusia yang luput dari kesalahan.
"Hehe...saya minta maaf ya kalau saya nyaris menyesatkan kalian," pinta saya sambil mengusap-usap wajah saya. Meminta maaf, bukanlah hal yang perlu disembunyikan. Bukan hal tabu.
Selalu, saya ingin mengajarkan, oh bukan, tapi mendidik murid-murid saya tentang "hidup". Bukan tentang pelajaran-pelajaran formal yang didapatkan di sekolah. Jikalau untuk membuat mereka pintar satu-satunya tujuan belajar, maka saya mungkin bukanlah orang yang pantas bagi mereka. Saya bukan orang pandai. Saya hanya orang biasa yang mencoba untuk membagi "hidup" saya untuk orang lain. Sedikit mengajarkan mereka tentang semangat, inspirasi, dan motivasi membangun impian dan cita-cita mereka. Oleh karena itu, saya menjadi orang ter-cerewet ketika berada dalam kelas mengajar. haha... :p
Sumber gambar: Googling |
Dan tentu saja, pada hari itu saya benar-benar menunjukkan betapa berharganya menjadi orang berani ketimbang orang pandai.
--Imam Rahmanto--
0 comments