Pe-En-Es?
September 22, 2013Baca Juga
Pernah suatu kali seorang murid bertanya pada saya di tengah-tengah pembelajaran kelas,
“Jadi, pada akhirnya kakak akan menjadi PNS?”
Saya tersenyum mendengarnya. Dalam benak saya, sama sekali tidak terpatri keinginan bulat untuk menjadi seorang pegawai pemerintahan seperti itu. Kemana takdir akan dituntun oleh saya, kesanalah takdir saya seharusnya.
Saya sama sekali tidak berkeinginan besar menjadi seorang PNS. Memang sih, gajinya sudah pasti. Biasanya dalam skala yang besar. Ditanggung oleh pemerintah lagi. Ada biaya pensiunnya juga malah. Bahkan, sebenarnya, (mungkin) 85 persen orang Indonesia berkeinginan besar menjadi pegawai pemerintahan tersebut, termasuk orang tua saya. Wajar, ketika orang benar-benar mematok “kebahagiaannya” pada urusan “uang”, maka pekerjaan menjadi tolak ukurnya.
“Kalau kau bisa lulus tahun depan, di bulan Agustus, ada kesempatan besar untuk penerimaan CPNS. Katanya, bakal ada penerimaan besar-besaran di tahun 2014,” seorang teman menyarankan pada saya.
Menjalankan pekerjaan yang lebih banyak menghabiskan banyak waktu di ruangan. Menunggu. Bertemu dengan orang-orang yang sama. Berlangsung tiap hari. Tiap bulan. Tiap tahun. Nyaris melakukan hal-hal yang serupa. Saya tidak begitu menyukainya. Apalagi dengan seragam-seragam yang selalu harus dipakai dalam pekerjaan kita. Sedikitnya, guru agak condong pula arah sana, meskipun pekerjaan guru adalah pekerjaan mulia. Tiap orang menginginkan hal-hal yang berbeda, bukan? Kepala yang berbeda = isi yang beraneka agam.
Oleh karenanya, saya memimpikan pekerjaan yang bisa dengan bebas membuat saya mengunjungi banyak tempat. Melakukan banyak hal. Tentu saja, bisa menuliskan banyak hal pula. Dan apa yang saya jalani sekarang, perlahan mengantarkan saya pada tujuan itu. Yang tersisa kini, saya harus menyelesaikan apa yang telah saya mulai.
Saya agak abai untuk berpikir tentang uang lebih dulu, meskipun anggapan “Segalanya butuh uang” memang tidak bisa dipungkiri. Selama pekerjaan yang akan saya geluti itu bisa mencukupi diri saya sendiri, atau berbagi dengan orang lain, maka itu sudah cukup bagi saya. Jikalaupun saya kelak memiliki istri, seharusnya istri saya pun adalah orang yang mampu mengimbangi perjalanan-perjalanan saya. Mungkin, ia pun seharusnya orang yang “tahan” dengan perjalanan-perjalanan saya kelak. ;)
Masa muda, ya semestinya menjadi masa-masa kita mengunjungi dan mempelajari banyak hal, bukan? Urusan uang bukan menjadi urusan utama pengukur kebahagiaan. Kelak jika saya sudah punya anak dan istri, maka soal penghasilan baru menjadi tanggungan kebahagiaan itu pula. Membahagiakan orang lain, adalah dengan menghidupi dan mengayominya. Dari sana, barulah mencari pekerjaan dengan penghasilan yang mencukupi keluarga seutuhnya.
Saya menggariskan, kelak beberapa tempat destinasi dalam -kertas yang tertempel di langit-langit kamar saya- akan terwujud. I wish it!
--Imam Rahmanto--
0 comments