Tulisan yang Mengabadikan Hidup

Agustus 28, 2013

Baca Juga

“Bagaimana caranya untuk abadi?” tanya seorang pertapa yang seusia hidupnya telah melakukan perjalanan panjang demi menemukan esensi mendasar tentang keabadian.

“Menulislah…” jawab seseorang yang berusia lebih muda darinya.

Hmm…percakapan di atas hanya serangkaian cerita dalam imajinasi saya. Namun, petikan-petikan itu tentunya bukan tanpa dasar sama sekali. Saya kerap kali menyimaknya dalam setiap kesempatan membaca “dunia”. Bagaimana seorang penulis ternyata telah menemukan caranya untuk menjadi “immortal” alias abadi.

Tepat tengah malam ketika saya terbangun, sebuah pesan singkat alias sms masuk ke handphone saya. Sebuah sms yang mengejutkan batin saya. Apalagi naluri sebagai kuli tinta sontak membuat saya harus segera mencari tahu. 

Di akun jejaring social yang saya miliki telah ramai beberapa ucapan berduka atas kepergian salah seorang penulis dan Budayawan Sulsel sekaligus dosen di kampus saya, Ahyar Anwar. Jelas sudah informasi yang disampaikan oleh teman saya. Lagi, kampus saya berduka. Oh, tidak, melainkan dunia turut pula berduka. Bagaimana tidak, salah seorang “perekam” sejarah dan budaya di Sulsel begitu cepat meninggalkan kenangannya dalam usia yang masih muda. Dan kini, yang tersisa adalah kenangan akan tulisan-tulisannya.

Seorang penulis bisa mati? Ah, bagi saya tidak! Ibarat kata pepatah, gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan gading, manusia mati meninggalkan budi + penulis mati meninggalkan tulisannya. Ketika seorang penulis meninggalkan dunia ini, sejatinya ia tak ada lagi di dunia yang fana ini. Akan tetapi, pemikiran-pemikirannya masih bertebaran lewat tulisan-tulisan yang ditinggalkannya. Ia masih hidup. Ia masih menginspirasi banyak orang. Tentu saja, penulis akan dikenang lewat tulisan-tulisannya yang bermanfaat.

Sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi sesamanya.

Bertepatan dengan informasi yang saya terima itu, beranda jejaring social saya beramai-ramai telah bermunculan kenangan-kenangan (tulisan) tentang almarhum penulis. Memang, di kampus saya sendiri, ia banyak dikenal lewat tulisan-tulisannya. Ia juga banyak merintis perkumpulan dan komunitas-komunitas penulis di Makassar. Mungkin, baginya, menulis adalah perihal keabadian sepanjang masa. Ia jauh hari ternyata telah menemukan esensi dari menulis itu sendiri, selain untuk dikenal dunia tentunya.

Menyorot keabadian itu, saya pernah berpikir, “Bagaimana caranya agar ketika saya sudah tidak lagi ada di dunia ini, orang-orang masih mengenang saya. Setidaknya mengenang bahwa saya pernah ‘ada’.”

Saya menemukannya lewat menulis. Saya bisa mengabadikan seluruh pemikiran lewat menulis itu. Orang-orang bisa tahu, berbagi, atau belajar lewat tulisan-tulisan yang kita hasilkan. Mengapa tidak? Dari ratusan tulisan (mungkin) yang bisa kita hasilkan, paling sedikit dua-tiga tulisan bisa menginspirasi orang banyak. Menjadikan kita kenangan bagi mereka. Mungkin, bisa pula teladan.

Dan ketika kita meninggalkan dunia yang fana ini, orang-orang dengan sukarela menghidupkan kita lewat tulisan-tulisan yang pernah dihasilkan, bahkan dipublikasikan.

Sejelek-jeleknya tulisan adalah tulisan yang tidak pernah dibaca orang lain. 

Saya turut berduka atas kepergian salah seorang penulis di kampus saya. Ia memang bukan sanak saudara atau kerabat bagi saya. Akan tetapi, sebagai seorang penulis amatir, ia mungkin bisa menjadi ladang belajar bagi saya, kami, para penulis yang masih membutuhkan seorang penuntun. Saya ingin banyak belajar, belajar atas kebijakan hidup yang dilalui oelh setiap penulis yang berusaha bermanfaat bagi orang lain.

Kematian, membuat kita tersadar, sejenak merenungi. Seandainya kelak kita dipanggil oleh Yang Maha Pemilik Keabadian, adakah yang telah kita tinggalkan untuk dunia ini? Bagaimana cara kita untuk tetap “hidup” di dunia ini? Mungkin, tetap menulis, kita tetap hidup… :)



--Imam Rahmanto--

#Mengenang kepergian seorang penulis sekaligus dosen di kampus saya.

You Might Also Like

0 comments