Ragu, Berhenti Sejenak
Agustus 01, 2013Baca Juga
Sekarang tanggal 1 Agustus ya? dan kemarin adalah tanggal terakhir di bulan Juli.
“Apapun itu, hal tersedih malam ini adalah kenyataan bahwa bulan telah meninggalkan Juli.” kata seorang teman saya di akun jejaring sosial miliknya. Memang, pada kenyataannya sekarang adalah bulan Agustus dan sebentar lagi Hari Raya idul Fitri sebagai penutup bulan Ramadhan tiba di depan mata. Lalu?
Rasanya saya ingin berputar ke belakang. Sedikit memutarbalikkan jam pasir. Bisa kan? Di bulan yang penuh dengan suka dan duka. Bulan yang selalu menyimpan sedikit misterinya. Dan saya teringat ketika salah seorang teman saya mulai mengungkapkan kegelisahannya…
“Saya sudah capek. Saya tidak tahu lagi apa yang membuat saya bertahan,”
Menilik persoalan yang dilaluinya ke belakang (lagi, kita berjalan mundur), sebetulnya perkara yang bisa dibilang tidak mudah untuk dirapalkan. Ia seorang wanita, dan wanita tak sekuat penglihatan kita. Persepsi yang dibangun sejak dulu tentang emansipasi wanita sesungguhnya omong kosong belaka. Saya semakin meragukan hal itu. Karena pada hakikatnya, wanita itu memang makhluk yang lemah, rapuh, dan sedikit butuh uluran tangan dari laki-lakinya. Itulah mengapa muncul lirik sebuah lagu, “Karena Wanita ingin Dimengerti.” :)
Ia tampak kuat. Tapi kenyataannya, hatinya rapuh. Wanita memang selalu berpikir berdasarkan perasaannya. “Insiden” kecil yang beberapa hari lalu “menghembusnya” dari redaksi kami, membuatnya sedikit meragu. Saya tidak menyalahkannya, karena sejatinya dia seorang wanita. Hanya sedikit dari sekian banyak wanita yang mampu hidup dengan perasaan tak dihargai.
Dari sana, kita belajar untuk menghargai orang lain. Setiap pekerjaan yang meskipun hanya dibayar dengan seulas senyum saja. Tidak menilai hasil akhir yang ia peroleh. Menikmati proses yang dijalani dalam rangka mencapai hasil itu adalah lebih baik. Sungguh menyenangkan jikalau setiap orang di dunia ini mengerti hakikat proses itu. Mungkin, setiap pekerjaan orang-orang yang bekerja keras akan begitu dihargai, meski hasilnya tidak sesuai dengan yang diharapkan. Memangnya, siapa sih yang bisa memastikan hasil yang diperoleh dengan proses yang dijalani? Kita hanya bisa merencanakan, namun Tuhan yang menentukan!
Hal yang sama mungkin berlaku dalam “tubuh” yang saya pimpin. Saya bukan tipe-tipe pemimpin yang baik. Pemimpin yang tahu cara atau mekanisme memimpin anggotanya. Tahu cara memanajerisasi proses kerja-kerja anggotanya. Bukan! Saya bukan orang-orang seperti itu. Bahkan, saya sebetulnya tidak berkeinginan untuk menjadi seorang pemimpin, jika bisa.
Akan tetapi, memenuhi tanggung jawab yang dilimpahkan, maka saya hanya berusaha untuk menjadi orang yang baik. Saya teringat dengan salah satu buku yang pernnah saya baca; kalau menginginkan orang lain menjadi apa yang kita inginkan, maka kita harus melakukan hal itu terlebih dahulu. Kita ingin orang lain baik, maka kita harus baik dulu. Kita ingin orang lain disiplin, maka kita harus disiplinkan diri dulu. Do-will-get.
Sedikitnya, saya belajar bagaimana memposisikan diri untuk mempersalahkan orang lain. Bahkan untuk membangun semangat bersama teman-teman yang lainnya, ada baiknya saling menghargai setiap pekerjaan yang dilakukan. Lagi, menilai dari proses yang mereka jalani. Tidak berpatok pada hasil yang ingin dilihat.
“Pokoknya, hasil akhirnya itu gagal!” ujar salah seorang kakak senior saya suatu ketika kami berbincang ngalor-ngidul tentang terbitan tabloid edisi kami yang lalu.
Saya hanya tertawa kecil mendengarnya. Tetap saja, dalam penglihatan mereka, apa yang kami lakukan waktu itu adalah kegagalan. Namun, bagi saya, proses yang kami lalui jauh lebih rumit (dan menyenangkan). Dalam “tubuh” kami, saya tidak ingin membelajarkan teman-teman untuk menilai segala sesuatunya lewat hasil semata. Adalah menjalani (dan menikmati) proses yang jauh lebih penting. Soal hasil? Sudahlah, itu dipikirkan belakangan. Terpenting, kami menjalani tugas-tugas kami dengan kondisi yang berbahagia.
Saya tidak peduli ketika orang lain menganggap saya gagal. Itu memang persepsi mereka. Itu hak mereka. Namun, tidak semestinya pula persepsi mereka mempengaruhi persepsi yang saya bangun sendiri. Kalau mereka ingin berpikir negatif tentang apa yang saya lakukan, biarkan saya membuktikan hal-hal positif lainnya.
Hei…
Untuk Engkau, yang sedang dihinggapi keragu-raguan, ada banyak hal yang bisa kita jadikan pelajaran. Satu batu sandungan, bukan berarti akan menyurutkan langkah kita mencapai hasil akhir yang kita inginkan. Kita boleh berhenti sebentar, sekadar menghela napas perlahan, menenangkan hati yang sedang dipenuhi emosi. Akan tetapi, usainya, kita bisa kembali melanjutkan. Tidak sendirian, melainkan bersama-sama. Bukankah kita berjalan tak sendirian?
Di kiri-kananmu ada orang-orangyang peduli padamu. Di atasmu, ada Tuhan yang selalu memberikan pilihan terbaik untukmu. Di bawahmu, masih ada kakimu yang selalu kuat untukmu berjalan.
Sejauh ini, saya mengenalmu (dan belajar darimu), sebagai orang yang selalu berpikir: semuanya akan baik-baik saja. ^_^. Maka kembalilah membangun pikiran-pikiran positif itu.
“Waktumu masih panjang,” katanya.
“Aku tak menginginkannya.”
“Tapi mereka menginginkanmu. Waktu bukanlah sesuatu yang bisa kau kembalikan. Saat berikutnya mungkin jawaban atas doamu. Menolaknya berarti menolak bagian yang paling penting dari masa depan.”
“Apa itu?”
“Harapan.”
---from Timekeeper, a nove--
“Apapun itu, hal tersedih malam ini adalah kenyataan bahwa bulan telah meninggalkan Juli.” kata seorang teman saya di akun jejaring sosial miliknya. Memang, pada kenyataannya sekarang adalah bulan Agustus dan sebentar lagi Hari Raya idul Fitri sebagai penutup bulan Ramadhan tiba di depan mata. Lalu?
Rasanya saya ingin berputar ke belakang. Sedikit memutarbalikkan jam pasir. Bisa kan? Di bulan yang penuh dengan suka dan duka. Bulan yang selalu menyimpan sedikit misterinya. Dan saya teringat ketika salah seorang teman saya mulai mengungkapkan kegelisahannya…
“Saya sudah capek. Saya tidak tahu lagi apa yang membuat saya bertahan,”
Menilik persoalan yang dilaluinya ke belakang (lagi, kita berjalan mundur), sebetulnya perkara yang bisa dibilang tidak mudah untuk dirapalkan. Ia seorang wanita, dan wanita tak sekuat penglihatan kita. Persepsi yang dibangun sejak dulu tentang emansipasi wanita sesungguhnya omong kosong belaka. Saya semakin meragukan hal itu. Karena pada hakikatnya, wanita itu memang makhluk yang lemah, rapuh, dan sedikit butuh uluran tangan dari laki-lakinya. Itulah mengapa muncul lirik sebuah lagu, “Karena Wanita ingin Dimengerti.” :)
Ia tampak kuat. Tapi kenyataannya, hatinya rapuh. Wanita memang selalu berpikir berdasarkan perasaannya. “Insiden” kecil yang beberapa hari lalu “menghembusnya” dari redaksi kami, membuatnya sedikit meragu. Saya tidak menyalahkannya, karena sejatinya dia seorang wanita. Hanya sedikit dari sekian banyak wanita yang mampu hidup dengan perasaan tak dihargai.
Dari sana, kita belajar untuk menghargai orang lain. Setiap pekerjaan yang meskipun hanya dibayar dengan seulas senyum saja. Tidak menilai hasil akhir yang ia peroleh. Menikmati proses yang dijalani dalam rangka mencapai hasil itu adalah lebih baik. Sungguh menyenangkan jikalau setiap orang di dunia ini mengerti hakikat proses itu. Mungkin, setiap pekerjaan orang-orang yang bekerja keras akan begitu dihargai, meski hasilnya tidak sesuai dengan yang diharapkan. Memangnya, siapa sih yang bisa memastikan hasil yang diperoleh dengan proses yang dijalani? Kita hanya bisa merencanakan, namun Tuhan yang menentukan!
Hal yang sama mungkin berlaku dalam “tubuh” yang saya pimpin. Saya bukan tipe-tipe pemimpin yang baik. Pemimpin yang tahu cara atau mekanisme memimpin anggotanya. Tahu cara memanajerisasi proses kerja-kerja anggotanya. Bukan! Saya bukan orang-orang seperti itu. Bahkan, saya sebetulnya tidak berkeinginan untuk menjadi seorang pemimpin, jika bisa.
Akan tetapi, memenuhi tanggung jawab yang dilimpahkan, maka saya hanya berusaha untuk menjadi orang yang baik. Saya teringat dengan salah satu buku yang pernnah saya baca; kalau menginginkan orang lain menjadi apa yang kita inginkan, maka kita harus melakukan hal itu terlebih dahulu. Kita ingin orang lain baik, maka kita harus baik dulu. Kita ingin orang lain disiplin, maka kita harus disiplinkan diri dulu. Do-will-get.
Sedikitnya, saya belajar bagaimana memposisikan diri untuk mempersalahkan orang lain. Bahkan untuk membangun semangat bersama teman-teman yang lainnya, ada baiknya saling menghargai setiap pekerjaan yang dilakukan. Lagi, menilai dari proses yang mereka jalani. Tidak berpatok pada hasil yang ingin dilihat.
“Pokoknya, hasil akhirnya itu gagal!” ujar salah seorang kakak senior saya suatu ketika kami berbincang ngalor-ngidul tentang terbitan tabloid edisi kami yang lalu.
Saya hanya tertawa kecil mendengarnya. Tetap saja, dalam penglihatan mereka, apa yang kami lakukan waktu itu adalah kegagalan. Namun, bagi saya, proses yang kami lalui jauh lebih rumit (dan menyenangkan). Dalam “tubuh” kami, saya tidak ingin membelajarkan teman-teman untuk menilai segala sesuatunya lewat hasil semata. Adalah menjalani (dan menikmati) proses yang jauh lebih penting. Soal hasil? Sudahlah, itu dipikirkan belakangan. Terpenting, kami menjalani tugas-tugas kami dengan kondisi yang berbahagia.
Saya tidak peduli ketika orang lain menganggap saya gagal. Itu memang persepsi mereka. Itu hak mereka. Namun, tidak semestinya pula persepsi mereka mempengaruhi persepsi yang saya bangun sendiri. Kalau mereka ingin berpikir negatif tentang apa yang saya lakukan, biarkan saya membuktikan hal-hal positif lainnya.
***
Hei…
Untuk Engkau, yang sedang dihinggapi keragu-raguan, ada banyak hal yang bisa kita jadikan pelajaran. Satu batu sandungan, bukan berarti akan menyurutkan langkah kita mencapai hasil akhir yang kita inginkan. Kita boleh berhenti sebentar, sekadar menghela napas perlahan, menenangkan hati yang sedang dipenuhi emosi. Akan tetapi, usainya, kita bisa kembali melanjutkan. Tidak sendirian, melainkan bersama-sama. Bukankah kita berjalan tak sendirian?
Di kiri-kananmu ada orang-orangyang peduli padamu. Di atasmu, ada Tuhan yang selalu memberikan pilihan terbaik untukmu. Di bawahmu, masih ada kakimu yang selalu kuat untukmu berjalan.
Sejauh ini, saya mengenalmu (dan belajar darimu), sebagai orang yang selalu berpikir: semuanya akan baik-baik saja. ^_^. Maka kembalilah membangun pikiran-pikiran positif itu.
***
“Waktumu masih panjang,” katanya.
“Aku tak menginginkannya.”
“Tapi mereka menginginkanmu. Waktu bukanlah sesuatu yang bisa kau kembalikan. Saat berikutnya mungkin jawaban atas doamu. Menolaknya berarti menolak bagian yang paling penting dari masa depan.”
“Apa itu?”
“Harapan.”
---from Timekeeper, a nove--
--Imam Rahmanto --
0 comments