Ini Ditolong atau Menodong?
Agustus 03, 2013Baca Juga
#Eh, ini hanya sedikit kegalauan saya di lokasi KKN. Adapun kesamaan nama, tokoh, tempat, dan bentuk kejadian adalah fakta sebenarnya.
Menjalani Kuliah Kerja Nyata (KKN) termasuk salah satu agenda rutin yang mesti dijalani mahasiswa, seperti kami, untuk bisa menyelesaikan studi di perguruan tinggi. Harfiahnya, KKN itu berarti kita sebagai mahasiswa diterjunkan ke tengah-tengah masyarakat untuk membantu pengembangan kehidupan di tegah-tengah masyarakat itu. Entah dengan menjalankan program-program yang melibatkan masyarakat atau membantu masyarakat dalam al pengembangan fasilitas umumnya.
Secara “keren”nya sih memang seperti itu. Namun, terkadang beberapa bagian akan berlaku hal-hal yang tidak sesuai dengan harapan kita. Ada hal-hal yang memang tidak tampak oleh mata biasa kita.
“Hm…daripada menjalankan tugas seperti ini, mending kita terjun ke tengah-tengah masyarakat,” gumam saya. Maklum, sudah beberapa hari ini kami mendapat tugas “minta tolong” dari Ibu Lurah untuk mengecat rumahnya. Tugas itu, tentu saja di luar dari program kerja yang kami susun. Namanya juga “minta tolong” makanya kita harus menolong.
Akan tetapi, semakin lama, kami semakin berpikir, apa yang kami lakukan bukan seperti halnya memberikan bantuan pertolongan, melainkan benar-benar sebagai “pesuruh”. Mengapa? Ah ya, segala pekerjaan yang sesungguhnya secara keseharian bisa dilakukan sendiri tanpa mengharapkan bantuan dari mahasiswa menjadi “tugas tambahan” bagi mahasiswa seperti kami dan terkadang menyita sedikit waktu kami.
“Ah, kamu tidak ikhlas saja,” Bukannya seperti itu. Kami ikhlas kok seandainya saja bantuan yang diberikan itu tidak pernah dicekoki dengan tuntutan-tuntutan di luar bidang keahlian kami. Bahkan hasil kerja kami pun dikritik habis-habisan oleh si empunya pertolongan. Tidak jarang kami mendapatkan omelen yang seharusnya tidak perlu dialamatkan kepada kami. Hingga akhirnya merembet ke permasalahan-permasalahn lain. Seolah-olah kami sedang dicarikan kesalahan. Ckckck….bagaimana kami tidak jengkel….
“Ngecat lagi, ngecat lagi,”
Bahkan teman-teman KKN dari posko lain sempat menertawakannya ketika kami berbagi cerita dengan mereka. Yah, baru kali ini mereka melihat mahasiswa KKN mengecat rumah Ibu Lurahnya. Kalau untuk mengerjakan fasilitas-fasilitas umum lainnya, sebenarnya adalah hal sepatutnya. Justru dengan senang hati mahasiswa akan menjadikannya salah satu program kerja. Lah, ini? Fasilitas umum pun bukan.
Memang benar, dengan kehadiran mahasiswa yang menjalani KKN, maka pekerjaan-pekerjaan masyarakat akan menjadi lebih ringan. Akan tetapi, bukan berarti tenaga mahasiswa bisa dimanfaatkan secara optimal untuk kepentingan pribadi, bahkan untuk seorang Kepala Kelurahan sekalipun.
Jikalau disuruh memilih, saya tentu akan lebih memilih terjun langsung untuk membantu ke tengah-tengah masyarakat. Kerja bakti, atau apalah gitu. Bakal lebih jelas arah kerjanya, dibanding harus memenuhi tuntutan-tuntutan Ibu Lurah yang tak ada habis-habisnya.
“Yang bagian depan dicat ya. Kayaknya warna ini bagus ya? Yang di atas juga dicat. Catnya kalau bisa di-double. Lantainya dibersihkan, jangan berantakan seperti itu. Yang di depan juga catnya diselesaikan.”
“Kenapa catnya belum selesai? Kenapa lama sekali? Kalian tidak boleh pulang sebelum catnya selesai. Warnanya salah.”
“Mobilnya tolong dipanasi ya? Kalau bisa sekalian dibersihkan. Kasurnya sekali-kali dicuci dong. Kalian jangan malas-malasan di rumah. Kenapa undangan buat saya tidak ada?”
Seperti ini nih yang dinamakan “menyiksa” mahasiswa KKN. Dan akhirnya, kami pun sadar, kebahagiaan itu tidak sekadar diukur dari kelimpahan materi, melainkan seyogyanya ditimbang dari ketenangan batin. Nampaknya, kami tak perlu lagi bangga dengan fasilitas yang disediakan oleh Bu Lurah. Toh, di balik itu semua menyimpan “udang di baik batu”. Pun, teman-teman perempuan kami kerap kali dijadikan bulan-bulanan "omelan". Ckckck…saya miris melihatnya.
Nah, cukup sekian keluhan saya selama menjalani masa pengabdian di tanah “rantau”. Kini, saya dan teman-teman lainnya sementara menikmati masa liburan menjelang Idul Fitri. Mungkin, lebih dari seminggu kemudian kami baru akan kembali ke lokasi pengabdian kami. Semoga dengan niat dan hati bersih pula. Kami cukup memaafkan… :)
Terlepas dari keluhan-keluhan, kripik, eh kritik tersebut, saya pun sebenarnya banyak belajar disana. Tidak hanya saya sih. Termasuk teman-teman yang lain. Dari sana, kami belajar bagaimana mencampur cat yang benar. Bagaimana menggerakkan kuas dengan benar. Bagaimana memanjat-manjat tembok dengan benar. Bagaimana memadukan warna cat yang baik.
Untuk teman-teman perempuan, mereka banyak belajar cara memasak. Cara mengolah makanan. Cara mencuci pakaian. Bagaimana membuat sambal yang maknyuss. Bagaimana cara efektif untuk bangun sahur. Alhasil, kami memang dibelajarkan di tengah-tengah kerasnya kehidupan kami. Yah, meskipun sekali-kali kami diiming-imingi kesenangan lainnya, seperti karaoke-an mungkin. Hahaha….
Tentu saja, waktu sebulan yang kami habiskan “senasib-sepenanggungan” mampu merekatkan ikatan persaudaraan kami. Kami yang awalnya hanya bisa saling diam, akhirnya bisa saling cela. :) Sedari menatap diam-diam satu sama lain, hingga berbincang hal-hal karib lainnya. Kini, menikmati liburan di luar lokasi KKN, sendiri, akan menerbangkan kabar-kabar kilas satu sama lainnya. Dan, tentu saja akan ada hati yang diam-diam saling merindukan, lebih daripada yang lain…. ^_^.
--Imam Rahmanto--
0 comments