Memory Freezing

Agustus 05, 2013

Baca Juga

(sumber: googling)
Selalu, ada hati yang akan mengais-ngais masa lalunya. Ini persoalan hati, maka selalu saja memperturutkan “rasa”.

Hm…saya menemukannya lagi malam ini. Seseorang yang juga tak mampu lepas dari “bayang-bayang” masa lalunya. Begitu katanya.

“Keistimewaan bayang-bayang adalah dia bisa hadir kapan saja. Bahkan di saat kita sudah sangat  tidak menginginkannya,” katanya memperkukuh alasan untuk me-laminating masa lalu di kepalanya.

Haha….saya memang tidak mungkin memaksakan diri untuk menjadi orang bijak baginya. Sejatinya, saya bukan orang bijak. Saya masih banyak belajar. Bahkan lewat pengalaman orang lain. Apalagi, saya pun tidak punya wewenang apa-apa untuk sekadar menghapus ingatan-ingatan yang sudah terlanjur dilekatkan di saraf-saraf kepalanya. Karena pada dasarnya, melupakan itu memang teramat sulit.

Saya juga memiliki seorang teman (perempuan) yang juga masih berkutat dengan ingatan-ingatan masa lalunya. Mirip. Ia hingga kini masih saja “berharap” tentang orang itu. Orang yang menjadi keinginan terdalamnya. Orang yang sama sekali tak pernah tahu tentang dirinya, atau bahkan sekadar akrab pun tidak. Akan tetapi, ia rela bersusah-payah menyimpan “harapan” di kepalanya tentang orang itu.

Kisahnya, ya hanya gara-gara ketika ia dulu pertama kali bertemu dengan orang itu. Yaa…mirip-miriplah jatuh cinta pada pandangan pertama. ^_^. Dan hingga kini ia menyimpan “harapan” terpendamnya itu.

“Saya mulai belajar melupakan, sekadar kenangan saja. saya sadar, hal konyol mengharapkan lebih orang lain yang belum tentu mengharapkan kita,” dalihnya.

Yah, namanya perempuan memang agak sulit jika dipaksa untuk berpikir secara rasional saja. mereka cenderung lebih banyak menggunakan intuisi atau perasaan dalam menimbang-nimbang sesuatu. Oleh karena itu, proses melupakan tentang “hati” itu bakal terasa sulit. Melankolis sih mereka.

Oh ya, saya pun sebenarnya punya kilas tentang melupakan itu. Awalnya, memang agak sulit melupakan orang lain yang sudah terlanjur kita lekatkan di kepala kita, apalagi kalau kita melekatkannya dengan perekat berlabel “rasa”. Teramat sulit. Selalu saja ada alasan-alasan “membenarkan” bagi kita untuk mengingatnya.

Menghapus seseorang dari memory bukanlah perkara mudah. Bahkan cenderung mission impossible. Akan tetapi, pernahkah kita berpikir, kenapa orang-orang tertentu (yang tidak begitu ada kaitannya dengan “hati” kita) begitu mudah dilupakan? Kita tak pernah ingin melupakan mereka, namun waktu yang menghapusnya perlahan. Semisal teman yang lama tak pernah bersua.

“Mmm…siapa ya?” tak jarang saya melupakan nama teman-teman SMP maupun SMA saya. Meskipun sejatinya saya mengenal baik wajah mereka. Lucunya, jikalaupun saya bertemu dengan teman-teman lama yang mengenal saya, lantas menyapa saya. Untuk alasan kesopanan, saya membalas menyapa mereka tanpa menanyakan nama mereka. Padahal saya lupa nama mereka.

Sementara orang-orang yang berusaha keras kita lupakan, justru semakin “keras” pula hadir di pikiran kita. Hmm….malah saya cenderung berpikir bahwa “lupa” adalah “ingatan” itu sendiri. Kita melupakan sesuatu sebenarnya berusaha menggali-gali ingatan itu untuk dibuang. Ini menurut saya loh…

Ketika kali pertamanya saya harus melupakan orang lain, karena ia sendiri memutuskan tidak ingin menjadi bagian terpenting dalam hidup saya adalah hal sulit. Sejujurnya, saya tidak pernah bisa melupakannya. Apalagi ketika saya harus bertemu dengannya, nyaris setiap hari. Kalau sudah begitu, bagaimana caranya bisa lupa?

Beruntung, kami memang tidak pernah saling memaksa. Segalanya berjalan sesuai dengan kehidupan “normal” sebelumnya. Saya tidak bisa melupakannya, tapi saya memutuskan untuk terus berjalan. Keep moving forward. Apapun yang terjadi, berusaha memendamnya lama-lama hanya akan membuat saya tidak bisa melihat hal-hal baru lainnya. Dunia kan tak selebar daun kelor. :)

Terkadang, kita tidak menyadari ada pintu-pintu lain yang terbuka karena terlalu lama meratapi dan menyesali pintu yang tertutup di depan kita.

Untuk itu, saya terus berjalan. Berpikir bahwa di tengah perjalanan nanti saya akan menemukan hal-hal baru. Pengalaman-pengalaman baru. Orang-orang baru. Mungkin saja, Tuhan memang sudah membuat semuanya terencana dalam skenario-Nya. Karena saya percaya, tidak ada yang namanya kebetulan di dunia ini. Sebagaimana saya percaya bahwa keajaiban itu nyata.

“Katanya nanti baru bisa terobati kalau tempat yang hilang ada yang mengisi. Sekarang kan belum ada jadi pantaslah,” ujarnya lagi.

Sebenarnya, bagi saya, bukan persoalan ada yang mengisi baru bisa terobati. Selama kita masih belum bisa mengosongkan hati itu, maka tidak akan ada yang mengisi. Logikanya seperti ini, “gelas yang terisi penuh tidak akan diisi lagi dengan air sebelum gelasnya dikosongkan dulu.” Jadi, menurut saya, jalan dulu, sembari “belajar” melupakan, dan akhirnya “isi”nya akan datang dengan sendirinya.

“Bagi orang2 yang penuh rasa sabar, apa-apa yang dia biarkan pergi, segala sesuatu yang dia lepaskan, ikhlas, tulus, maka akan datang pengganti yang lebih baginya. Selalu begitu. Tidak akan keliru.”  --Tere Liye--

Kalau kita mampu belajar ikhlas, lantas bersyukur, maka Tuhan akan memberikan pengganti yang lebih baik. Just believe it!

***

Burung-burung kecil di atas saya melompat dari satu dahan ke dahan lain. Ya, pagi ini, saya menemani mereka menikmati hembusan udara pagi yang kata teman saya, noisy morning, berhubung sudah jam delapan lewat. Tapi, buat saya, kesejukannya masih terasa kok. Ada pohon-pohon rindang yang selalu membagi kesejukannya. :)


--Imam Rahmanto--

You Might Also Like

0 comments