Mari Menyebutnya Kelas Bebas!

Juli 29, 2013

Baca Juga

Saya menyebutnya Kelas Bebas. Kelas yang membebaskan siapa saja untuk berekspresi, menyampaikan kesenangannya. Mendorong mereka untuk “berbual” tentang impiannya. Membangun cita-cita klise yang selama ini dipegang oleh mereka.

Anak-anak bertanya, melepas kepergian kami, “Kak, kak, nanti sore belajar apa? Kita belajar kan?”

***

Untuk beberapa hari ini, atau mungkin beberapa minggu ke depan, saya akan lebih banyak menghabiskan waktu denga anak-anak. Ahaha…bukan masalah, saya ingin selalu merasa muda. Dan itu pasti! Saya suka senyum yang tertular. Saya suka tawa yang menjalar. ^_^.

Nah, di samping menjalankan beberapa program kerja sebagai mahasiswa yang mengabdi, saya juga amat berkeinginan bias meninggalkan kesan bagi masyarakat sekitar. Hingga saat ini, saya berpikir entah seperti apa. Paling tidak, masyarakat kelak berujar, “Kami merindukan mahasiswa yang KKN itu. Mereka benar-benar berguna dan mengubah kita.”. Yah, meskipun untuk saat ini hal tersebut masih sebatas angan-angan. Akan tetapi, bagi saya, hal itu adalah “ambisi”.

Tibalah ketika sedikit ide muncul di kepala saya. Sekilas, saya mengingat masa lampau di daerah domisili saya.  Saya ingin menerapkannya disini, di masjid yang kini menjadi kunjungan tetap kami. Kalau dulu saya bisa, kenapa juga mereka tidak?

“Bagaimana pula seandainya sejak sekarang ditanamkan pengalaman nyata di lingkungan mereka?” Dan saya benar-benar harus melakukannya! Just DO it! Dan jika tak mencobanya, tentu kita tidak akan tahu hasilnya.

Usai menawari anak-anak “bersemangat” itu tentang rencana yang tertanam dalam kepala saya, maka saya memberanikan diri sekadar meminta izin kepada pengurus masjid atau tetua masjid yang ada disana. Selalu saja ada keajaiban-keajaiban kecil yang menyertai usaha dan tekad kita.

Tabe’, Pak Haji. Apa boleh saya meminta izin untuk anak-anak itu mengumandangkan adzan di masjid ini?” usul saya sembari menunjuk anak-anak yang takut-takut sekaligus malu-malu menatap ke arah kami.

“Saya ingin memberikan mereka sedikit pengalaman untuk belajar dari sekarang, dan mungkin menerapkan ilmu mereka untuk kemashlahatan umat,” tambah saya berargumen, berusaha menarik simpati dari lelaki tua yang setahu saya seringkali menjadi imam di masjid ini.

“Hm…boleh, boleh. Sangat boleh, nak. Saya dulu juga mantan pendidik, nak. Jadi saya tahu bagaimana rasanya membelajarkan mereka,” jawaban yang tak pernah saya duga sebelumnya. Lelaki tua itu tersenyum. Ramah sekali.

Ia kemudian menunjukkan sedikit cara mengoperasikan alat disana. Maklum, saya belum kenal betul dengan seluk-beluk masjid itu.

Meskipun diwarnai tatapan-tatapan “aneh” dari jamaah yang bersiap shalat Dhuhur disana, saya merasa bangga kepada mereka. Mereka telah berani, seperti yang selalu saya tanamkan pada mereka,

“Kalau tidak bisa menjadi orang pandai, jadilah orang berani!”

Dan membuat saya tersenyum-senyum sendiri ketika mendengar salah seorang diantara mereka men-support teman lainnya yang akan mengumandangkan adzan, “Ndak apa-apa. Yang penting kau berani saja. Ini kan bisa jadi pengalamanmu juga.”  Akh, padahal itu seharusnya menjadi kata-kata penyemangat dari saya. Kenapa dia yang sekecil itu bisa menyemangati temannya yang lebih tua darinya?

Sambil menuntunnya, yang memang baru pertama kalinya diizinkan mengumandangkan azan di masjid kampungnya sendiri, ia sedikit gugup di depan mikrofon. Tak berselang lama, gugup itu hilang berganti suara azan yang menggema di penjuru masjid. Lantas, ia tersenyum sumringah dipandangi teman-temannya, dan mungkin orang-orang tua di sekitarnya.

“Lalu, Ashar nanti, siapa lagi?” tutur saya sebelum meninggalkan masjid siang itu, yang disambut oleh acungan tangan beramai-ramai anak yang (mungkin) baru saja mengikuti lomba azan kemarin siang.

***

Akh, saya nampaknya agak telat mendampingi anak-anak itu di waktu Ashar. Padahal, saya sudah menjanjikan untuk “meminta” giliran anak-anak lain di adzan selanjutnya dan datang lebih awal. Setidaknya, saya bisa sedikit mengarahkan mereka dan mungkin melindungi mereka dari tatapan-tatapan ‘aneh” dari orang-orang dewasa di sekitarnya.

Saya lantas dikagetkan oleh suara azan anak kecil, yang rasa-rasanya familiar, ketika baru saja saya hendak mengambil air wudhu.

“Allahu Akbar, Allahu Akbar!”

Ahaa!! Adakalanya langkah awal yang kita buat bisa menuntun langkah berantai lainnya. Saya menyadarinya, ketika ternyata anak-anak itu memenuhi “janji” mereka. Mereka serius ingin belajar. Semangat mereka untuk pengalaman mereka. Toh, orang-orang dewasa disana pada akhirnya memberikan keleluasaan bagi mereka untuk menimba ilmu lewat pengalaman kecil itu. Saya menghargainya. Semoga kami bisa menanamkan sedikit hal-hal baru lainnya untuk mereka.

***

Hm…hari Minggu, memang bukan waktu jam bimbingan belajar bagi kami, mahasiswa KKN disini. Akan tetapi, hari Minggu adalah hari libur. Termasuk pula hari dimana kami memang tak ada kerjaan lainnya lagi di waktu sore. “Lantas, kenapa tidak saya memanfaatkannya untuk mewadahi semangat belajar mereka?” pikir saya.

Saya merasa bersalah jikalau menjalankan “kerja nyata” di daerah pengabdian hanya sebatas menggugurkan kewajiban. Saya mahasiswa, kami mahasiswa, dan sudah menjadi esensi paling mendasar mengabdi kepada masyarakat. Misi utama: meninggalkan kesan yang baik bagi masyarakat di lokasi.

“Bebas! Kelas Bebas. Kalian bebas menanyakan apapun dan saya bebas mengajarkan apapun untuk kalian,”

Inilah kertas cita-cita kalian. Semoga beruntung. ^_^. (Foto: ImamR)

Karena belajar tidak hanya di sekolah. Tidak hanya menulis dan membaca. Tapi, lewat pengalaman pun kita bisa belajar. Sejatinya, ungkapan “experience is the best teacher” tidak akan pernah usang dimakan waktu.

Oleh karena itu, hari ini saya akan bertanya dan kalian menuliskannya, “Apa cita-cita kalian?”


--Imam Rahmanto--

You Might Also Like

0 comments