Itu Baru Namanya Semangat!
Juli 27, 2013Baca Juga
Saya tersenyum sendiri melihat tingkah polah mereka.
Melihat semangat anak-anak kecil itu, menyulut sedikit perasaan kekanak-kanakan saya. Bukankah saya pernah bilang, kedewasaan sejatinya tidak memusnahkan kekanak-kanakan. Saya senang berinteraksi dengan mereka. Sedikit obrolan ngalor-ngidul bersama mereka membawa saya beberapa tahun ke belakang. Saat-saat dimana mungkin saya masih bandel-bandelnya. Sebenarnya sih tidak bandel juga. Saya tergolong anak paling "baik-baik" loh selama sekolah dasar. Hanya...sedikit bersemangat.
"Kak, Kak, saya punya cerita," beralih, sembari menanti waktu berbuka, beberapa anak bergantian mengutarakan cerita dan minatnya. Lamat-lamat, namanya Reza, mungkin.
Saya memberikan isyarat untuknya bercerita. Di sela-sela cerita, tawa berderai. Masing-masing anak menertawakan cerita yang lain. Cerita yang berbeda, nuansa yang berbeda.
"Saya, Kak. Saya punya pertanyaan, Kak," potong anak-anak lainnya lagi yang ikut berkerumun diantara kami.
"Iya?" tentu saja, menghadapi anak-anak harus dengan lukisan senyum, sejenak melupakan segala beban pikiran.
"Apa bahasa Cina-nya 'Sendok Besar'?" sebuah pertanyaan iseng meluncur dari mulutnya. Tentu saja, jawaban yang akan membuat tawa kami tulus bergulir.
"Sikopang(*)," jawabnya lagi lengkap dengan aksen China-nya. hahaha....
"Namun harus tetap mengikuti irama anak, sejauh apakah mereka mau diajak melompat, secepat apakah mereka mau diajak berlari," ---Indonesia Mengajar, the book--
Mengajarkan pelajaran tertentu buat mereka, tidak lantas membuat passion saya berubah. Saya suka anak-anak. Saya suka mengajarkannya. Tapi, belum pasti saya akan menjalani kehidupan kelak sebagai seorang guru. Saya masih memilih dengan passion yang saya jalani sekarang. Saya masih seorang yang suka beraktivitas di luar, berintraksi dengan alam dan orang sekitar. "Apa kabar impian disana?"
Hanya saja, mengikuti kehidupan polos anak-anak itu, saya harus terus belajar. Saya memang mengajarkan sesuatu yang saya pahami di sekolah kepada mereka. Mereka sukarela atau dipaksa akan bertanya tentang pelajaran-pelajarannya di sekolah. Namun sejatinya merekalah yang bergantian mengajarkan saya tentang hidup. Percaya atau tidak, secara tidak sadar, anak-anak lebih banyak mengajarkan kita tentang menghadapi sebuah masalah, rumit maupun sederhana. Olehnya itu, berinteraksi dengan mereka berarti memberikan saya bekal untuk menghadapi setiap aral yang saya lalui di kehidupan kelak.
"...sejelek apapun nilai Matematika mereka, murid-murid saya akan tetap menjadi anak yang spesial. Mengapa? Karena merekalah yang akan mengajarkan arti ketabahan, kesabaran, dan keikhlasan." ---Indonesia Mengajar, the book--
Haha....lagi-lagi saya menemukan "proses awet muda" dalam tawa mereka. Tawa yang tertularkan secara berantai. Sedikit mengabaikan persoalan-persoalan klise diantara kedewasaan hidup.
Anak-anak. Salah satu program kerja yang akan kami langsungkan di tempat pengabdian ini adalah Bimbingan Belajar alias Bimbel. Kemarin, adalah hari kedua pelaksanaannya, meskipun nyaris tertunda karena bertepatan dengan seremoni pembukaan salah satu program kerja kami yang lainnya.
Akan tetapi, semangat anak-anak yang hadir di masjid kala itu membangkitkan semangat teman-teman lainnya untuk mengajar, setidaknya barang sedikit saja. Tidak sampai satu jam.
"Kak, Kak, hari ini belajar Bahasa Inggris kan? Saya ambilkan papan tulisnya nah?" tanya salah seorang siswa yang sempat menjadi "jatah" saya sehari sebelumnya. Antusiasnya sedikit "menyentak" kesadaran saya yang sempat "sengaja-melupakan" program tiga hari per minggu itu. Melihatnya, saya tidak tega mengecewakannya.
Hanya saja, melihat waktu yang bergeser tidak lama lagi, urung saya melakukannya. Sedikit menggoyahkan ketidaktegaan saya. Akan tetapi, lagi-lagi, saya menyaksikan dari kejauhan, salah seorang teman kami sedang tekun-tekunnya menjadi pengajar bagi anak-anak yang lain. Hm...saya melihat semangatnya, dan entah kenapa saya merasa tersentil. Tuh kan, dia saja bisa, dan betapa menghargai semangat anak-anak untuk belajar.
Oleh karena itu, daripada menunggu waktu lama, saya mengajak anak-anak itu untuk turut bergabung "memeriahkan" acara belajar itu. Tidak peduli mereka semua berbeda kelas dan tingkatan. Belajar ya belajar. Untuk hari itu, saya cukup melihat semangat itu. Sesuatu yang lebih penting bagi mereka. Dimana ada kemauan disitu harus dijalani.
Yah, sembari mewadahi semangat mereka, menemukan tempat yang tepat untuk mengekspresikannya, saya turut bergabung dalam acara "dunia ceria" itu. Maklum, kakak pengajar yang membawakannya mampu mencairkan suasana dengan gaya khas "anak kecil"nya.
Meskipun tidak sampai sejam kegiatan belajar itu berlangsung, namun di tiap raut wajah anak-anak sore itu saya menyaksikan ada kepuasan atas tersalurkannya semangat mereka. Sedetik, dua detik, kilasan-kilasan itu menghadapkan saya pada wajah-wajah sumringah. Antusias. Teriak sana-sini. Ramai. Bersemangat. Semangat untuk terus belajar. Semangat untuk menemukan kakak-kakak baru.
Meskipun tidak sampai sejam kegiatan belajar itu berlangsung, namun di tiap raut wajah anak-anak sore itu saya menyaksikan ada kepuasan atas tersalurkannya semangat mereka. Sedetik, dua detik, kilasan-kilasan itu menghadapkan saya pada wajah-wajah sumringah. Antusias. Teriak sana-sini. Ramai. Bersemangat. Semangat untuk terus belajar. Semangat untuk menemukan kakak-kakak baru.
Melihat semangat anak-anak kecil itu, menyulut sedikit perasaan kekanak-kanakan saya. Bukankah saya pernah bilang, kedewasaan sejatinya tidak memusnahkan kekanak-kanakan. Saya senang berinteraksi dengan mereka. Sedikit obrolan ngalor-ngidul bersama mereka membawa saya beberapa tahun ke belakang. Saat-saat dimana mungkin saya masih bandel-bandelnya. Sebenarnya sih tidak bandel juga. Saya tergolong anak paling "baik-baik" loh selama sekolah dasar. Hanya...sedikit bersemangat.
"Kak, Kak, saya punya cerita," beralih, sembari menanti waktu berbuka, beberapa anak bergantian mengutarakan cerita dan minatnya. Lamat-lamat, namanya Reza, mungkin.
Saya memberikan isyarat untuknya bercerita. Di sela-sela cerita, tawa berderai. Masing-masing anak menertawakan cerita yang lain. Cerita yang berbeda, nuansa yang berbeda.
"Saya, Kak. Saya punya pertanyaan, Kak," potong anak-anak lainnya lagi yang ikut berkerumun diantara kami.
"Iya?" tentu saja, menghadapi anak-anak harus dengan lukisan senyum, sejenak melupakan segala beban pikiran.
"Apa bahasa Cina-nya 'Sendok Besar'?" sebuah pertanyaan iseng meluncur dari mulutnya. Tentu saja, jawaban yang akan membuat tawa kami tulus bergulir.
"Sikopang(*)," jawabnya lagi lengkap dengan aksen China-nya. hahaha....
***
"Namun harus tetap mengikuti irama anak, sejauh apakah mereka mau diajak melompat, secepat apakah mereka mau diajak berlari," ---Indonesia Mengajar, the book--
Mengajarkan pelajaran tertentu buat mereka, tidak lantas membuat passion saya berubah. Saya suka anak-anak. Saya suka mengajarkannya. Tapi, belum pasti saya akan menjalani kehidupan kelak sebagai seorang guru. Saya masih memilih dengan passion yang saya jalani sekarang. Saya masih seorang yang suka beraktivitas di luar, berintraksi dengan alam dan orang sekitar. "Apa kabar impian disana?"
Hanya saja, mengikuti kehidupan polos anak-anak itu, saya harus terus belajar. Saya memang mengajarkan sesuatu yang saya pahami di sekolah kepada mereka. Mereka sukarela atau dipaksa akan bertanya tentang pelajaran-pelajarannya di sekolah. Namun sejatinya merekalah yang bergantian mengajarkan saya tentang hidup. Percaya atau tidak, secara tidak sadar, anak-anak lebih banyak mengajarkan kita tentang menghadapi sebuah masalah, rumit maupun sederhana. Olehnya itu, berinteraksi dengan mereka berarti memberikan saya bekal untuk menghadapi setiap aral yang saya lalui di kehidupan kelak.
"...sejelek apapun nilai Matematika mereka, murid-murid saya akan tetap menjadi anak yang spesial. Mengapa? Karena merekalah yang akan mengajarkan arti ketabahan, kesabaran, dan keikhlasan." ---Indonesia Mengajar, the book--
--Imam Rahmanto--
0 comments