Mengabdi itu Menolong
Juli 04, 2013Baca Juga
Menjalani kesibukan di dua tempat yang berbeda namun di satu waktu yang sama memang benar-benar menguras tenaga dan pikiran. Baru saja kemarin siang saya kembali ke Makassar bersama seorang teman (untuk urusan jurnalistik) dari lokasi KKN, pagi ini saya harus kembali lagi ke lokasi KKN untuk mengikuti salah satu program kerja yang dicanangkan oleh teman-teman KKN, seminar program kerja.
Yah, mau bagaimana lagi? Saya tak enak hati jikalau mangkir keseringan dari beberapa kegiatan yang dijalani teman-teman di lokasi KKN. Setidaknya, saya pun seyogyanya menjalani proses pengabdian kepada masyarakat itu selama beberapa hari sambil menyeimbangkannya dengan tugas-tugas jurnalistik saya yang mepet deadline.
Apa yang saya temui pagi ini, sedikitnya membawa saya pada sedikit kesadaran tentang keluarga. Yah, keluarga…dan esensi pengabdian kepada masyarakat itu sendiri...
Seorang ibu setengah baya yang sedang memangku anaknya sementara dikerumuni oleh staf-staf kantor kelurahan. Dari raut wajahnya, tampak jelas kesedihan dan kesulitan sedang melilitnya. Matanya berkaca-kaca dan tak sanggup menahan air matanya, ketika saya mengajaknya berkomunikasi dalam bahasa yang sama sembari menceritakan kesulitan yang sedang dialaminya.
Perempuan kelahiran 1988 ini merupakan penduduk asli Enrekang, tepatnya Kecamatan Alla yang juga merupakan daerah domisili keluarga saya disana. Tentu saja, bahasa yang digunakan serupa, yakni bahasa Duri, sehingga saya bisa berkomunikasi dengannya secara leluasa.
“Anak saya sakit, sudah tiga bulan. Kata dokter, hasil gambarnya (rontgen), ususnya terlipat. Dirujuk ke Rumah Sakit di Makassar, tapi harus dioperasi. Tapi kami tidak punya biaya, juga rumah sakit minta kartu keluarga,” terangnya tak beraturan. Ia terisak menjelaskannya dalam bahasa daerah yang tentu saja saya pahami.
Ada iba di setiap raut wajah yang saya saksikan di kantor kelurahan pagi itu. Perempuan yang sebenarnya mengontrak rumah di seputaran Kalibone, Pangkep itu telah diusir dari rumahnya karena tidak mampu membayar biaya kontrakan yang menunggak hampir tiga bulan. Pekerjaannya sebagai buruh cuci tidak mampu menutupi biaya tersebut, terlbih biaya pengobatan anaknya yang harus menjalani operasi.
Parahnya lagi, suaminya yang seharusnya menjadi tempat berlindung baginya, meninggalkannya sendirian di rumah bersama anak semata wayangnya, entah kemana, nyaris tiga bulan. “Suami saya bekerja sebagai supir truk, dan sampai kini ia tak pernah kembali lagi ke rumah,” tuturnya berkaca-kaca. Padahal, suaminya itulah yang telah memboyongnya ke daerah Pangkep ini setelah dipaksa menikah orang tuanya selepas SD. Ia dan suaminya berasal dari kabupaten yang sama.
Sebenarnya, tujuannya ke kantor kelurahan adalah untuk mengurus kartu keluarga sebagai bekal untuk pengobatan anaknya di rumah sakit. Akan tetapi, Bu Lurah tidak meluluskan keinginannya itu. Bukan tanpa alasan, karena menurut Bu Lurah ada prosedur-prosedur yang mesti dipenuhi dan dilalui oleh ibu yang bersangkutan. Akan tetapi, tak ada rotan akar pun jadi, ibu dan anaknya itu mendapatkan bantuan dari Bu Lurah untuk bisa digunakan pulang ke kampung halamannya. Hal yang tepat, mengingat ia masih memiliki keluarga dan sanak saudara disana yang bisa untuk membantunya. Terlebih, ia pun sebenarnya memiliki kartu keluarga beserta Jamkesmas-nya di kampung halaman.
Kisah memilukan ibu itu mungkin berakhir di Pangkep siang itu ketika kami (saya dan ketiga orang teman perempuan saya) mengantarkannya untuk mencari kendaraan pulang ke Enrekang. Ada pilu yang tertinggal selagi menyimak “terima kasih” dari ibu dan anaknya itu di atas mobil yang akan mengantarkannya ke tujuan.
Akan tetapi, bagi saya, apa yang saya alami pagi itu membawa saya pada beberapa kilasan yang mengingatkan saya pada keluarga. Hm…keluarga.
“Sedekat-dekatnya teman dekat, lebih dekat keluarga sebagai teman,”
Terlintas dalam pikiran saya, bagaimana seandainya hal yang menimpa ibu tadi berlaku pula pada keluarga saya kelak, tanpa sanak saudara yang bisa membantu, ataupun menemani hanya untuk sekadar menenangkan. Dan lagi, entah hal-hal itu melintas secara bergantian…
Dan lagi, ibu itu memiliki hubungan kedekatan dengan saya, dikarenakan berasal dari kecamatan yang sama dengan domisili keluarga saya disana. Menyaksikannya terlantar di Pangkep, cukup membuat saya mengurut dada. Akh, hal-hal semacam itu saja bisa membuat salah seorang teman saya menitikkan air matanya.
Terlepas dari semua itu, kami sebagai mahasiswa KKN sedikitnya menemukan esensi mengabdi kepada masyarakat kala itu. Karena pada dasarnya, mahasiswa yang menjalani KKN tidak hanya sebatas; mengecat pagar, memasang batas desa, membersihkan wilayah, ataupun mengangkat-angkat barang. Kami menemukan bahwa sebenarnya-benarnya mengabdi kepada masyarakat adalah dengan membantu masyarakat yang benar-benar kesulitan,. Tidak hanya menghabiskan waktu menggugurkan program kerja dan bersantai di pondokan….
Yah, mau bagaimana lagi? Saya tak enak hati jikalau mangkir keseringan dari beberapa kegiatan yang dijalani teman-teman di lokasi KKN. Setidaknya, saya pun seyogyanya menjalani proses pengabdian kepada masyarakat itu selama beberapa hari sambil menyeimbangkannya dengan tugas-tugas jurnalistik saya yang mepet deadline.
Apa yang saya temui pagi ini, sedikitnya membawa saya pada sedikit kesadaran tentang keluarga. Yah, keluarga…dan esensi pengabdian kepada masyarakat itu sendiri...
***
Seorang ibu setengah baya yang sedang memangku anaknya sementara dikerumuni oleh staf-staf kantor kelurahan. Dari raut wajahnya, tampak jelas kesedihan dan kesulitan sedang melilitnya. Matanya berkaca-kaca dan tak sanggup menahan air matanya, ketika saya mengajaknya berkomunikasi dalam bahasa yang sama sembari menceritakan kesulitan yang sedang dialaminya.
Perempuan kelahiran 1988 ini merupakan penduduk asli Enrekang, tepatnya Kecamatan Alla yang juga merupakan daerah domisili keluarga saya disana. Tentu saja, bahasa yang digunakan serupa, yakni bahasa Duri, sehingga saya bisa berkomunikasi dengannya secara leluasa.
“Anak saya sakit, sudah tiga bulan. Kata dokter, hasil gambarnya (rontgen), ususnya terlipat. Dirujuk ke Rumah Sakit di Makassar, tapi harus dioperasi. Tapi kami tidak punya biaya, juga rumah sakit minta kartu keluarga,” terangnya tak beraturan. Ia terisak menjelaskannya dalam bahasa daerah yang tentu saja saya pahami.
Ada iba di setiap raut wajah yang saya saksikan di kantor kelurahan pagi itu. Perempuan yang sebenarnya mengontrak rumah di seputaran Kalibone, Pangkep itu telah diusir dari rumahnya karena tidak mampu membayar biaya kontrakan yang menunggak hampir tiga bulan. Pekerjaannya sebagai buruh cuci tidak mampu menutupi biaya tersebut, terlbih biaya pengobatan anaknya yang harus menjalani operasi.
Parahnya lagi, suaminya yang seharusnya menjadi tempat berlindung baginya, meninggalkannya sendirian di rumah bersama anak semata wayangnya, entah kemana, nyaris tiga bulan. “Suami saya bekerja sebagai supir truk, dan sampai kini ia tak pernah kembali lagi ke rumah,” tuturnya berkaca-kaca. Padahal, suaminya itulah yang telah memboyongnya ke daerah Pangkep ini setelah dipaksa menikah orang tuanya selepas SD. Ia dan suaminya berasal dari kabupaten yang sama.
Sebenarnya, tujuannya ke kantor kelurahan adalah untuk mengurus kartu keluarga sebagai bekal untuk pengobatan anaknya di rumah sakit. Akan tetapi, Bu Lurah tidak meluluskan keinginannya itu. Bukan tanpa alasan, karena menurut Bu Lurah ada prosedur-prosedur yang mesti dipenuhi dan dilalui oleh ibu yang bersangkutan. Akan tetapi, tak ada rotan akar pun jadi, ibu dan anaknya itu mendapatkan bantuan dari Bu Lurah untuk bisa digunakan pulang ke kampung halamannya. Hal yang tepat, mengingat ia masih memiliki keluarga dan sanak saudara disana yang bisa untuk membantunya. Terlebih, ia pun sebenarnya memiliki kartu keluarga beserta Jamkesmas-nya di kampung halaman.
***
Kisah memilukan ibu itu mungkin berakhir di Pangkep siang itu ketika kami (saya dan ketiga orang teman perempuan saya) mengantarkannya untuk mencari kendaraan pulang ke Enrekang. Ada pilu yang tertinggal selagi menyimak “terima kasih” dari ibu dan anaknya itu di atas mobil yang akan mengantarkannya ke tujuan.
Akan tetapi, bagi saya, apa yang saya alami pagi itu membawa saya pada beberapa kilasan yang mengingatkan saya pada keluarga. Hm…keluarga.
“Sedekat-dekatnya teman dekat, lebih dekat keluarga sebagai teman,”
Terlintas dalam pikiran saya, bagaimana seandainya hal yang menimpa ibu tadi berlaku pula pada keluarga saya kelak, tanpa sanak saudara yang bisa membantu, ataupun menemani hanya untuk sekadar menenangkan. Dan lagi, entah hal-hal itu melintas secara bergantian…
Dan lagi, ibu itu memiliki hubungan kedekatan dengan saya, dikarenakan berasal dari kecamatan yang sama dengan domisili keluarga saya disana. Menyaksikannya terlantar di Pangkep, cukup membuat saya mengurut dada. Akh, hal-hal semacam itu saja bisa membuat salah seorang teman saya menitikkan air matanya.
Terlepas dari semua itu, kami sebagai mahasiswa KKN sedikitnya menemukan esensi mengabdi kepada masyarakat kala itu. Karena pada dasarnya, mahasiswa yang menjalani KKN tidak hanya sebatas; mengecat pagar, memasang batas desa, membersihkan wilayah, ataupun mengangkat-angkat barang. Kami menemukan bahwa sebenarnya-benarnya mengabdi kepada masyarakat adalah dengan membantu masyarakat yang benar-benar kesulitan,. Tidak hanya menghabiskan waktu menggugurkan program kerja dan bersantai di pondokan….
--Imam Rahmanto--
4 comments
Waw, pengalaman yang kuar biasa. Sampai merinding, aku bacanya.
BalasHapusPasti ada banyak pelajaran ya, kalau berada di tempat baru. Semangat KKN ya, Imamita :D *semua teman di kelasku dapat tambahan nama "....ita."
@Dian Kurniati: Imamita?? darimana asalnya tuh??
BalasHapusImam+Ita=Imamita. *dimarahi orang matematika #plak
BalasHapusSemua anak di kelasku dipanggil gitu, sejak stand up comedy itu. Misalnya Jaza jadi Jazita, Aldi jadi Aldita, dan Jeko jadi Jekita :D . Keren kaan.. :D
@Dian: Keren darimananya?? Nama laki kok jadi perempuan?? -_-"
BalasHapus