Gagal? Tidak!

Juli 10, 2013

Baca Juga

Ada usaha, ada jalan. Kalau sudah ada jalan, maka HARUS diusahakan!

Sore itu, saya melihat wajah teman-teman saya murung. Sebagian wajah terlipat. Sebagian lagi bertopang dagu. Ada senyum-senyum yang tidak pada tempatnya. Ada tawa yang mungkin sedikit dipaksakan demi mencari penghiburan semata. Saya tak memungkirinya, tabloid kami yang seharusnya dicetak sore itu, batal untuk “naik cetak”. Yah, hanya gara-gara kendala administrasi dan teknis.

Memang, terkadang setiap orang itu tidak mampu menutupi sesuatu yang sedang merutuki dirinya.

Beberapa kali akhirnya pimpinan kami mengusahakan alternatif lain untuk proses percetakan kami sore itu. Mulai dari lobi-lobi kepala percetakan, hingga mendatangkan senior kami yang memang bekerja di anak group Jawa Pos itu. Bahkan, wajah pimpinan kami pun tak jauh dari lipatan-lipatan kelam kesedihan. Wajahnya yang dari sana memang sudah sayu, semakin sayu. Ckck…

Seharusnya, hari itu, kami menerbitkan tabloid kampus edisi pengumuman SBMPTN alias Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri. Sudah menjadi rutinitas tahunan bagi kami yang berkecimpung di dunia jurnalistik kampus. Dari sana, kami bisa memperoleh keuntungan yang tidak bisa dikatakan sedikit. Dari sana pula, kami bisa mengangkat nama lembaga kami. Bersaing dengan media-media umum lainnya, yang tentunya baru bisa terbit keesokan paginya. Jikalau kami terbit jauh lebih awal, bahakan dibanding pengumuman via online, maka akan ada banyak orang yang mencari tabloid kami sebagai bahan referensi pengumuman hari itu. Ada banyak calon mahasiswa baru yang mencari-cari tabloid kami malam itu.

Kita hanya bisa merencanakan, Tuhan yang menentukan. Meskipun persiapan kami sebelumnya sudah matang, namun yang terjadi tentunya memberikan bukti baru, bahwa segalanya masih bisa terjadi. Tuhan selalu memberikan pelajaran lewat hal-hal yang tak terduga.

“Bagaimana persiapan tabloid?” tanya pimpinan kami beberapa hari sebelumnya.

“Siap 95 persen saya katakan,” jawab saya sambil cengar-cengir. Iya, dong!

Toh, apa yang saya katakan memang begitu adanya. Persiapan tiga hari untuk naskah-naskah berita yang dibutuhkan dan space-space kosong khusus iklan sudah mencukupi. Lagipula, saya percaya dengan kemampuan para reporter. Saya juga harus rela membatalkan agenda saya yang lainnya demi "keluarga kecil" saya yang satu ini. Entahlah, kelak saya menghadapi risikonya seperti apa.

Sore itu, ketika semua kepercayaan saya sudah terbayar lunas dengan mengagumkan, ketika proses layouting-nya telah selesai dalam waktu yang singkat, ketika tinggal menanti “naik cetak”, ternyata Tuhan menggariskan hal berbeda. Hingga menjelang tengah malam, kami masih belum bisa menerbitkan tabloid tepat waktunya.

Ada tawa-tawa penghiburan yang saya lihat dari wajah-wajah kelelahan mereka. Ada canda-canda saling menghibur. Sebagiannya lagi, masih belum bisa menutupi kekecewaannya.

“Ayo kita bakar saja percetakan disana,” canda salah seorang teman saya. Akh, ini yang namanya anarkis. Mengharapkan kegagalan serupa juga dialami oleh penerbitan kampus yang menjadi pesaing kami. Meskipun demikian, masih saja mengundang gelak tawa dari teman-teman saya.

Dan saya? Sudah terlalu banyak saya “memakan” masalah hari ini, dan hari kemarin. Masalah-masalah itu menyatu, berpilin, dan berputar di dalam kepala saya. Saling bertumbukan, dengan momentum yang saya sendiri tak mampu menghitungnya, memperkirakan cara menyelesaikannya.

Menambah-nambah kepala saya dengan kekecewaan “gagal cetak” malam itu hanya akan membuat wajah saya semakin “jelek”. Kalau dari sananya memang sudah jelek, ngapain juga semakin dibuat terlipat? semakin buruk. Dan, selalu, di setiap hal yang terjadi itu, ada hal-hal yang pantas untuk ditertawakan. Lagi-lagi saya suka melihat dunia dari sudut yang berbeda, meskipun saya sendiri menyadari, terkadang saya pun tidak mampu menahan segala sesuatunya sendiri.

Bukan Kegagalan


Tolong dong kameranya agak ke kiri dikit. Saya ada disana ndak kebagian dipotret, tertidur. 
Lebih baik TELAT daripada TIDAK sama sekali. Nah, akhirnya tabloid kesayangan kami terbit, tepat dini hari. Dengan wajah-wajah kelelahan, dan mata sudah nampak sayu, tak mampu lagi menahan kantuk sana-sini. Saya sendiri justru sempat tertidur (menyender meja) di saat teman-teman yang lain menyelesaikan proses diplo alias milah-milih lembar tabloidnya.

Namanya gagal itu bisa datang kapan saja. Bisa kepada siapa saja. Bisa dimana saja. Tergantung dari persepsi kita saja, bagaimana melihatnya dan belajar darinya.

Menurut cerita, seorang penemu bohlam lampu, Thomas alfa Edison, pun pernah mengalami kegagalan serupa. Ia baru berhasil menemukan bola lampu yang kita nikmati sekarang setelah percobaannya yang ke-100.

Suatu hari, ia diwawancarai oleh seorang wartawan,

“Bagaimana perasaan Anda setelah mengalami kegagalan 99 kali dalam menemukan bola lampu, dan baru menemukannya di percobaan ke-100?” tanya wartawan itu.

Alfa Edison hanya tersenyum mendengar pertanyaan itu. Ia sejenak menggeleng dan memberikan jawaban yang cukup membuat si wartawan terpana, “Saya bukannya gagal menemukan bola lampu. Melainkan saya telah berhasil menemukan 99 bahan yang tidak cocok untuk dijadikan sebagai bola lampu.”

Saya senang dengan cara berpikir Bapak Thomas kita. Ia melihat kegagalan sebagai BUKAN kegagalan. Ia memetik pelajaran dari sana. Memperlihatkan kita cara berpikir positif dari setiap kegagalan yang terjadi. Dari setiap kesalahan yang terjadi, selalu ada kesempatan untuk benar.

Dan saya apa yang telah kami alami malam itu bukanlah sebuah kegagalan. Kami gagal, tapi kami berhasil. Berhasil dalam taraf yang lebih baik. Saya justru menikmati rentetan-rentetan kejadian malam itu. Segala kejadian-kejadian lucu yang menimpa saya. Segala kejadian-kejadian melelahkan yang semakin membuat wajah saya terlihat buruk. :) Padahal saya orangnya ganteng 1%.

Seperti apa? Saya mencoba membalik cara pandang.

Tentu, kita tahu untuk tidak lagi berurusan telat dengan percetakan yang malam itu membuat kita “gagal panen”. Kita jadi tahu bagaimana “disiplin”nya percetakan tersebut. Kita pun belajar untuk tidak meremehkan waktu.

Saya senang dengan rentetan-rentetan kejadian itu. Unik. Ada banyak hal yang bisa diceritakan atau bahkan ditertawakan. Saya, yang malam itu dari percetakan “alternatif” tidak mengenakan sandal hanya gara-gara salah seorang teman saya (entah siapa) menggondol sandal tersebut. Ayo mengaku, siapa yang bawa-bawa sandal Connec-ku. Padahal, sandal itu pun sebenarnya bukan milik saya. Mau tidak mau, saya nyeker hingga ke acara makan-makan anak-anak redaksi di salah satu warung besar sana.

Pantas Dihargai

Adalah hal-hal yang pantas dihargai dari setiap semangat yang telah ditunjukkan oleh teman-teman redaksi. Saya kira, semangat itulah yang akan memperkuat kebersamaan kalian, kita, ataupun mereka. Seperti halnya ketika kalian masih bertahan hingga menjelang pagi hari demi bisa mendistribusikan (komersil) tabloid kita. Untuk melepas lelah, kalian rela bermalam di sekretariat (biro) kampus kita yang rawan “mistis”. Oh ya, saya dan salah seorang teman saya pun melepas penat di ruangan sebelahnya, mushallah PKM. Setelah teman saya ketakutan sendiri di kamar mandi dan minta untuk ditemani. Hahaha

“Hei…jaga dulu di depan pintu wei,” bujuk teman saya itu, lelaki.

“Aduh, ngapain? Pintunya kan bisa dikunci,”

“Bukan apanya. Saya cuma mau cuci kaki dulu,” dalihnya.

Halahh, paling-paling ia ketakutan setelah selama ini mendengar cerita seram mengenai gedung ini. Hahaha….

Alhasil, pagi hari ketika saya terbangun di pagi hari, sudah banyak teman-teman lainnya yang berjejer ikut terkapar di seisi ruangan Mushallah. Bak “mayat” korban Tsunami yang dijejerkan satu persatu menanti kedatangan keluarganya. Ckck..

Sejujurnya, saya pesimis menyaksikan tabloid kita terbit di pagi itu. Tentu saja, dengan nilai jual yang akan sangat rendah pagi itu (dikarenakan telat terbit dan harus bersaing dengan media-media umum yang mengeluarkan pengumuman serupa).

“Wah, ada banyak sekali koran saya yang laku,” ujar salah seorang senior saya yang menyambut pagi itu di kala mata saya masih berta-beratnya terbuka.

“Berapa yang terjual?” suara yang masih agak berat terbangun.

“19 eksemplar,” jawabnya. Wah, kesempatan yang bagus buat nyusul menjual pagi ini. Bisa laku banyak dong kalau begitu.

“Dijual berapaan, Kak?” kejar saya lagi.

“Dua ribu,” jawabnya singkat. Gubrakk!! Sangat jauh dari ekspektasi jual yang selama ini kita targetkan.

Ehem, itu bukan saya.... (Foto: Jane)
Tapi, tahukah? Melihat semangat teman-teman yang lain pagi itu di pinggir jalanan menjajakan korannya, dengan setianya menanti pelanggan, membuat semangat saya terbakar. Sejujurnya, harga yang dipatok pun masih tebilang menggiurkan. ^_^. Tak mau kalah dengan adik-adik saya, maka saya berpacu, bersaing dengan mereka.

Saya menyaksikan ada tawa renyah yang mengiringi perjalanan kami mendistribusikan koran pagi itu. Di balik kekecewaan yang menimpa, ada penghiburan yang menutupinya. Saya berpikir, untuk apa semakin memperburuk keadaan dengan menjalani keburukannya? Terpuruk, maka kita harus bangkit. Seberat apapun, mencoba untuk kuat adalah lebih baik.

Percayalah, apapun itu, pejalanannya akan lebih baik. Memang, tak ada yang mudah. Namun, bersama kesulitan itu selalu ada kemudahan. Bersama ujian yang diturunkan Tuhan, selalu ada “kunci jawaban” yang menyertainya. Maka tugas kitalah untuk menemukan “kunci jawaban” itu di sekitar kita, bukannya malah memintanya lagi pada Tuhan. ^_^V.

Nah, sungguh perjuangan yang melelahkan, bukan? Kepada kita yang berdini-dini hari telah bersusah payah menemani proses percetakan “alternatif” itu. Kepada kita yang rela mengorbankan tempat tidur yang empuk di kost masing-masing. Kepada kita yang selalu membagi candaannya demi melihat teman yang lain tersenyum dan terjaga. Kepada kita yang bolak-balik mengusahakan percetakan itu berhasil. Kepada pimpinan (kita) yang terseruk-seruk bermimpi di bangku ber-AC  kantor percetakan, tak bisa lagi dibangunkan. Kepada kita yang pagi hari buta bersaing mendapatkan pelanggan, khususnya pelanggan yang cantik-cantik. Kepada kita yang “sikut-sikutan” menurunkan harga tabloid menjelang tengah hari. Kepada kita yang rela mengubah warna kulit lebih “hangus” siang itu demi mendapatkan biaya tiket bioskop (mencoba mencari sedikit penghiburan). Kepada kalian yang telah mematahkan bangku panjang milik Pak Satpam. Kepada kita (sebagian) yang bertahan dari gempuran godaan “tak puasa” hari itu. Bahkan, kepada siapapun yang “meminjam” sandal pinjaman saya. Buat kita dan kalian, adalah perjuangan yang sungguh luar biasa!


Siang hari, menutupi wajah masing-masing dari "kobaran" sinar matahari. Meratapi korannya yang tak
laku-laku. 

Hari itu, kita telah belajar. Sesuatu yang berharga telah kita dapatkan, bukan semata-mata kegagalan, melainkan keberhasilan membentuk tim yang solid. Kita mampu menunjukkan, kekecewaan itu tak serta-merta membunuh. Justru kegagalan itu yang membuat kita bangkit. Tahu tidak, ternyata yang dinamakan keberhasilan itu bukan ketika kita tak pernah gagal. Melainkan ketika kita berhasil bangkit dari kegagalan. Dan kita, membuktikan hal itu! Sejatinya, kita telah berhasil. ^_^. Ganbatte!

Selamat bepuasa bagi yang menjalani puasa pertamanya hari ini!

NB: Saya menjalani puasa pertama kemarin, mengikuti aturan yang dikeluarkan Muhammadiyah. ^_^.





--Imam Rahmanto--

You Might Also Like

0 comments