Buku Amal(iah)
Juli 14, 2013Baca Juga
(google.com) |
Mereka mengingatkan saya di waktu kecil dulu, seusia mereka. Tidak jauh berbeda, tugas mengisi Amaliah Ramadhan menjadi motivasi saya dan teman-teman lainnya untuk rajin ke Masjid menjalankan Shalat Tarwih. Buku yang jumlah halamannya tidak seberapa itu menjadi tolok ukur, menurut guru saya waktu itu, perolehan nilai Agama kami. Tentu saja, kami tidak boleh lepas dari mendengarkan ceramah sedikit pun.
Jika beruntung, dengan sukarela si penceramah biasanya akan menyebutkan judul ceramahnya kepada kami dari atas mimbarnya. Akan tetapi, jika penceramahnya sama sekali tidak peduli dengan keberadaan kami, para anak kecil yang berbekal buku Amaliah Ramadhan, maka kami harus menerka-nerka sendiri judul ceramahnya.
“Hei, judul ceramah tadi apa ya?” sekali-kali seorang teman akan bertanya, karena tidak fokus pada isi ceramah atau memang tidak berminat mendengarkannya. Hm…terkadang pula teman-teman saya lebih suka cari perhatian dengan jamaah perempuan sebaya yang berada di belakang kami. tak peduli jika ceramah sementara berlangsung.
“Yang ceramah tadi siapa?” Orang dewasa di sekitar kami bisa menjadi “tumbal” seandainya kami tidak tahu nama dai yang sedang berceramah.
Sebagai bukti telah mengikuti Shalat tarwih dan rangkaiannya, maka kami diwajibkan untuk mendapatkan tanda tangan si penceramah. Jadilah kami berlomba-lomba, kasak-kusuk menanti-nanti waktu Shalat Witir selesai. Segera, mengerumuni penceramah yang (semoga) wajahnya masih bisa kami ingat. Dulu, biasanya saya mengakali tanda tangan itu dengan tanda tangan sekaligus oleh pengelola masjid. Sebanyak 5-10 ceramah dikosongkan tanda tangannya, digantikan dengan satu jenis tanda tangan penjaga masjid di lain kesempatan. #Cerdik!
Lazimnya, ternyata kebiasaan di setiap daerah itu nyaris sama. Beberapa teman saya pun mengaku pernah mengalami hal serupa, terkait buku Amaliah Ramadhan. Mereka nyaris mempunyai pengalaman “mencari tanda tangan” yang sama dengan saya.
Tidak hanya itu. Masih lekat dalam ingatan saya, buku Amaliah Ramadhan milik saya punya penggambaran “amal” yang lebih banyak dibanding buku sekarang. Sebut saja salah satunya, selain mengisi ceramah Subuh dan ceramah Tarwih, ada pula check hafalan surah-surah pendeknya. Di lembar lainnya lagi, tersedia tabel untuk mengisi amalan-amalan selama bulan puasa. Lembar terakhir, seingat saya, rumah keluarga/ sanak saudara siapa saja yang dikunjungi dalam rangka halal bi halal usai Lebaran?
Anak kecil, anak sekolah, memang identik dengan buku itu. Saya pun jika disuruh mengingat-ingat tentang Ramadhan masa kecil saya, sebagian besar tentu akan terbawa pada pengalaman mengisi buku “sakral” itu. Buku itu layaknya diary bulan Ramadhan bagi anak sekolah. Padahal, sedikitnya, hal-hal semacam itu akan mengajarkan sikap tidak ikhlas pada anak-anak. Pergi ke masjid hanya untuk mengisi buku semacam itu. Ckck…
Jamaah masih belum habis mengosongkan masjid. Satu per satu tampak berkerumun (juga) menanti giliran keluar lewat pintu yang hanya bisa dilalui satu-dua orang. Orang yang lebih tua memilih untuk bersabar sedikit lebih lama. Saya, masih jauh di belakang. Sembari duduk-duduk menanti kerumunan di depan itu habis, masih terus menyaksikan anak-anak yang bergantian menyodorkan bukunya untuk ditandatangani oleh dai yang sejatinya tidak terlalu mereka kenal.
“Tadi, judul ceramahnya apa, Pak Ustadz?” Ternyata masih saja ada anak-anak yang bertanya tentang ceramah yang dibawakan dai tadi.
--Imam Rahmanto--
Post#02 dari BloggingRamadhan
0 comments