Perpustakaan, Saya Menyukainya
Juli 16, 2013Baca Juga
Perpustakaan desa. (Foto: ImamR) |
Untuk mengisi waktu luang di daerah KKN pun saya menyempatkan membawa buku bacaan. Buku pinjaman dari perpustakaan redaksi. Yah, sembari menanti pelaksanaan program-program kerja “pengabdian” itu, membaca bisa menjadi alternatif pilihan untuk mengisi waktu luang.
Beruntung, saya menemukannya lagi disini. Tanpa saya sadari sebelumnya, di kantor kelurahan tempat kami biasa bertugas, saya menemukan perpustakaan desa.Perpustakaan yang tidak begitu besar. Perpustakaan yang juga hanya berisi buku-buku terbitan lama, rentang 2-3 tahun silam. Akan tetapi, sebagian besar buku-bukunya masih terbilang baru. Kelihatan dari sampul dan isinya yang menunjukkan bahwa buku-buku itu jarang dibuka apalagi dibaca.
“Ini memang perpustakaan desa. Jadi siapa saja sebenarnya boleh masuk kesini,” tutur salah seorang pegawai kantor kelurahan yang sempat menyambut saya di pagi yang gerimis itu. Ya, masih pagi, ketika saya seorang diri “berjaga” di kantor kelurahan.
“Kalau butuh bantuan, atau yang perlu diperbantukan, saya siap membantu, Bu. Karena itulah tugas saya disini,” sambar saya melihat wajahnya yang sempat bertanya-tanya melihat mahasiswa berjas orange nongkrong di depan kantornya. “Ngapain juga ini anak KKN duduk sendirian di depan kantor?” begitu mungkin pikirnya.
Kedatangan saya mungkin sedikit membunuh rasa sepi si Bu Pegawai tadi, yang belakangan saya tahu juga berasal dari daerah domisili yang sama dengan saya, Enrekang. Sembari menanti pegawai yang lain datang di tengah-tengah hujan, kami berbincang cukup lama. Ngalor-ngidul. Tentang si Ibu yang punya nenek di Enrekang. Tentang ayahnya yang lama tinggal di Pangkep. Tentang hujan. Tentang banjir. Tentang Bu Lurah. Dan tentang perpustakaan.
“Jadi, saya boleh baca buku-buku di dalamnya ya, Bu?” tanya saya lagi.
“Tentu saja. Kemarin juga beberapa temannya kan sempat minjam,”
Usai sedikit membantu ngangkat-ngangkat beras Bulog untuk warga, saya menikmati beberapa bacaan yang terselip di lemari perpustakaan desa itu.
Buku-buku yang dipajang di perpustakaan desa itu mengingatkan saya dengan buku-buku semasa sekolah dasar dulu. Mirip. Buku-buku yang memang disediakan oleh pemerintah. Tentu saja, tampilannya jauh berbeda dengan buku-buku yang dikomersilkan. Buku-buku ini tidaklah dari penerbit-penerbit kenamaan. Buku-buku yang kertasnya juga sebagian besar massih HVS murni. Nyaris membawa saya menjelajah masa kecil saya dulu.
Tentu saja, perpustakaan itu juga jauh berbeda (skala luas dan keragaman buku) dari perpustakaan yang sering saya kunjungi di Makassar. Apalagi ini hanya sebagai medium penambah informasi bagi masyarakat desa, meskipun kenyataannya sangat jarang dimanfaatkan oleh penduduk desa. Saya bahkan menemukan beberapa buku di bawah lemari rusak gara-gara terkena banjir.
Beberapa buku yang saya ubek-ubek. (Foto: ImamR) |
Kata guru SD saya, Buku adalah Jendela Dunia. Buku adalah Gudang Ilmu. Untuk membukanya, kuncinya adalah dengan membaca. Selain itu, membaca adalah hal mutlak yang harus dipenuhi jika ingin menjadi penulis yang baik. Penulis yang baik dalah pembaca yang baik!
"Dengan membaca, kau akan mengenal dunia. Dengan menulis, maka dunia akan mengenalmu."
Hm..lagi, lewat perpustakaan itu, saya bisa mengenal dunia. Ternyata Tuhan masih sayang saya, dengan menunjukkan adanya buku-buku itu buat saya. ^_^.
--Imam Rahmanto--
Post#03 dari BloggingRamadhan
0 comments