Rumah Ramah Tamah

Mei 30, 2013

Baca Juga

Menyusuri jalan di sekitar perumahan besar ini, saya agak ragu. “Apakah ini masih termasuk dalam kawasannya ya?” pikir saya. Tidak berlebihan jika saya berpikiran kami bakal kesasar. Pasalnya, jalanan yang kami lalui menuju kediaman salah seorang narasumber kami cukup membuat perasaan was-was. Meski jalanan sudah diaspal, namun disana-sini lubang-lubang kerusakan masih menganga. Apalagi tadi sore hujan baru saja mengguyur tempat ini.

“Benar jalanannya lewat sini?” Saya berusaha meyakinkan diri. Nyaris satu jam namun kami belum juga sampai di kediaman “target”.

“Iya. Kita jalan lurus saja,” jawab teman saya. Ia baru saja selesai menghubungi narasumber bersangkutan.

Oh ya, sudah seminggu rasanya saya dan salah seorang teman saya ditugaskan oleh salah satu majalah griya untuk proses peliputan. Terbilang majalah baru, sehingga kami harus memulai semuanya dari “nol”. Jika kami terbiasa meliput di area kampus, yang selalu berkaitan dengan mahasiswa dan birokrasi kampus, kini kami harus membuka pikiran lebih jauh. Cara meliput kami pun harus berbeda. Benar-benar wawasan kami harus diperluas. Ternyata, dunia kami tidak hanya sebatas di kampus. Masih ada banyak pengalaman di luar sana yang menanti untuk dicicipi sekaligus dinikmati. Sekali-kali keluar dari comfort zone adalah pilihan yang tepat. Sekalian bekal sebelum lulus kuliah. :)

Setelah bertanya dua-tiga kali pada orang-orang di sepanjang jalan, akhirnya kami tiba di suatu lokasi perumahan. Dilihat dari kondisinya, saya tidak percaya jika perumahan ini merupakan salah satu bagian dari pusat perumahan terbesar yang selama ini kami pantengi.

Rumah-rumah yang berjajar tidak begitu mewah. Lampu penerangan jalan tidak begitu jelas menunjukkannya. Hanya menunjukkan rumah-rumah kelas menengah. Akan tetapi, dari kendaraan yang diparkir di pekarangannya, saya bisa tahu, pemilik rumah-rumah disini tidak bisa dikatakan orang-orang kalangan bawah. 

Jangan salah, tiba disana, kami masih harus bertanya sana-sini. Termasuk bertanya kepada anak-anak yang tengah meramaikan masjid, mungkin baru habis mengaji. Kami kemudian dijemput oleh seorang anak laki-laki yang belakangan kami tahu dia adalah salah satu anak dari narasumber kami.

“Selamat malam, Pak, Bu!” sapa kami memasuki rumah keluarga itu. 

***

Sumber: googling

Di dunia ini, keluarga-keluarga seperti apa yang pernah kalian temui? Atau sederhananya lagi, keluarga seperti apa keluarga kalian? Dan keluarga saya?

Bagi saya, menjalani pengalaman sebagai seorang wartawan telah banyak membawa saya pada beragam karakter individu. Setiap individu itu unik. Tidak heran pula jika perwatakannya juga berbeda-beda. Di lingkungan kampus, saya sudah banyak menjumpai karakter dosen yang berbeda. Kalau mahasiswa, tidak begitu banyak sih. Hingga saat ini, saya lebih banyak menggali informasi lewat pejabat-pejabat kampus, meskipun tidak mengenalnya "seakrab" teman-teman seorganisasi saya. Ada dosen yang begitu ramah. Dosen yang suka menggertak. Dosen yang mesti dipuji dulu baru bisa diajukan wawancara. Dosen yang pendiam, membuat kita harus lebih agresif. Dosen yang persuasif, selalu mengajak kepada kebenaran. Dosen yang sangat mudah berbicara, sampai kita tidak tahu cara mengakhiri percakapan, dan mesti dibayar dengan banyak nasehat. Dosen yang sangat bersahabat, tapi menutup diri pada informasi-informasi tertentu. Dan…..ada banyak lagi. 

Kini, beranjak dari individu, saya menemui satu keluarga. Meskipun sebelumnya juga saya berkesempatan mewawancarai keluarga lainnya. Akan tetapi, untuk keluarga satu ini, bagi saya, terbilang unik dan berbeda. Keramahannya membawa saya dan teman saya pada suatu pembukaan pikiran yang lebih luas.

“Selamat malam, nak,” balas seorang laki-laki berusia 47 tahun. Sambil mempersilakan kami masuk, wajahnya sumringah selalu dihiasi senyuman. Kesan pertama: Ramah.

Setelah mengutarakan maksud kedatangan kami, dan sedikit bercerita proses perjalanan kami ke rumahnya, saya pun memulai salah satu proses wawancara yang telah menjadi pekerjaan rutin saya di lingkungan kampus. Menggali informasi. Menggali keunikan. Angle.

Meskipun di hadapan saya kini duduk dua orang yang merupakan suami istri dari keluarga ini, akan tetapi saya tidak merasa sedang dihakimi. Maksud saya, terkadang ketika kita mengunjungi rumah seseorang dan diperhadapkan pada kedua orang tuanya, berbicara dengannya, membuat kita agak kikuk. Dan yang satu ini, luar biasa ramahnya! Ckckck

Saya kemudian berpikir, ternyata keluarga sebahagia ini tidak hanya benar-benar ada di tivi-tivi ya?

Keluarga yang harmonis. Keluarga yang saling menguatkan. Saya biasanya mendengar keluarga semacam itu  dari salah seorang teman saya. Maklum, keluarganya mungkin bisa dikatakan cukup berada, dan ia dibesarkan dalam keluarga yang sangat menjunjung tinggi arti kedekatan. Malah, mendengar ceritanya, saya tak habis pikir orang tuanya yang sangat sosial kepada anak-anaknya. 

Keluarga itu, saya menemukannya di pelosok kota Makassar ini. Melihat kondisi rumahnya, kehidupan mereka lebih dari cukup. Si suami bekerja di dinas Pekerjaan Umum (PU) dan istrinya bekerja di salah satu Rumah Sakit Negeri di Makassar. Tidak jarang pula ia mengelola salah satu rumah sakit swasta lainnya. 

“Ya, tinggal disini sih kita mensyukurinya, meskipun di awal-awalnya kita tidak pernah menyangka. Bahkan istri saya sempat menangis waktu pertama kesini,” tuturnya sambil tak pernah lepas dari senyum lebarnya. Tawanya khas, dan terkadang melucu. Dari gerak-gerik keduanya, saya bisa menangkap kemesraan terpancar dari keduanya. Sesekali mereka saling melirik satu sama lain, meyakinkan.

Baik suami, maupun si istri, keduanya sangat terbuka dengan segala percakapan. Mereka nampak bersahabat di mata kami. terkesan, tidak ada sesuatu yang disembunyikan. Malah, percakapan malam itu selalu saja diderai oleh tawa, apakah kami yang melucu atau pernyataan mereka yang melucu. :D. Kesan kedua: sangat ramah.

Tanpa segan-segan, mereka pun menawari kami untuk mencicipi makanan yang ada di hadapan kami. “Silakan dulu dimakan kuenya, nak. Itu enak loh, buatan saya sendiri. Yang satunya, dari teman. Kebetulan dapat rezeki,” ujar si istri yang bekerja sebagai bidan. Yah, namanya juga mahasiswa, kami oke saja ketika ditawari makanan. Hahaha…

“Tidak usah malu-malu kalau disini,” imbuh sang suami. Dan, pada dasarnya, keramahan mereka membuat kami nyaman untuk terus mengobrol. 

Dari obrolan kami yang nyaris dua jam, senyum tak pernah lepas dari wajah suami-istri itu. Apalagi si suami yang di mata kami nampak sangat ramah. Membuat kami leluasa melontarkan beragam pertanyaann. Membuat kami betah berlama-lama, meskipun kami harus kembali secepatnya. 

Saking terbuka dan solidnya keluarga ini, si istri lepas saja menceritakan tentang anak perempuannya yang kini menjalani kuliah di salah satu sekolah kesehatan di Makassar. Usianya terpaut satu tahun di bawah saya. Anaknya cantik, sempat menyuguhi kami minuman dan hidangan kue ketika pertama kali kami tiba di dalam rumah. Ia bercerita banyak. Dari kehidupan anaknya, sampai masalah asmara dan curhat-curhatan anaknya. Haha..benar-benar keluarga yang menjunjung tinggi keterbukaan. Salut! Kesan berikutnya: Sangat, sangat ramah!

Unik, bagi saya, pertama kali menemukan keluarga yang seramah itu. Pemikiran mereka terbuka terhadap segala hal. Semacam kebebasan “memilih” yang diberikan pada kedua anaknya, namun tetap pada koridor yang diharapkan. Justru, anak-anaknya tidak memanfaatkan kebebasan yang diberikan orang tuanya itu. “Kami tidak pernah melarangnya sampai keluar malam, kok. Hanya saja, dia memang orangnya lebih suka di rumah. Jarang keluar-keluar rumah. Paling-paling keluar kalau bantu saya di rumah sakit,” bebernya dengan gerak-gerik yang bersahabat.

Menurut saya, meskipun mereka menetap disana dengan sedikit keterpaksaan, namun diselingi dengan tawa khas mereka, keramahan mereka, tentunya akan membuat suasana rumah cair. Bahkan, kondisi awal area kawasan mereka yang dulu dikenal “sangat-amat rawan kejahatan”, toh pada kenyataannya bisa mereka atasi. Kehidupan keluarga sangat bersahabat. Melingkupi rumah ini, saya menganggap mereka keluarga yang ramah. Keluarga yang bahagia...

Sekembalinya kami dari sana, saking ramahnya keluarga itu di benak kami, teman saya pun menukas, “Seandainya mertua saya seramah itu, seterbuka itu, sejauh apapun rumah saya tidak bakal jadi masalah. Pasti keluarga saya bakal menyenangkan,”

“Iya, karena anaknya juga cantik, kan?” sambung saya. Tawa menemani perjalanan pulang kami malam itu. 



--Imam Rahmanto--

You Might Also Like

0 comments