Semua Harus Sekolah (Kerja)!

Mei 28, 2013

Baca Juga

Saya membaca salah satu iklan dari perguruan tinggi ternama di selembar surat kabar. Salah satu perguruan tinggi yang menawarkan jaminan pekerjaan bagi lulusan-lulusannya. Menggiurkan. Kalau saja saya punya banyak uang, saya tak segan-segan untuk mendaftarkan diri di sana (dulu). Toh, saya sudah dijamin ndak bakal jadi “pengangguran”.

*** 

Semua orang, di zaman yang sudah serba “menengah ke atas” ini sedikitnya sudah pernah mengenyam pendidikan. Tak peduli kaum-kaum marginal maupun kalangan-kalangan eksekutif. Serendah-rendahnya pendidikan di zaman sekarang adalah tingkat sekolah dasar, bahkan bagi anak-anak jalanan di luar sana turut merasakannya.

Foto: Rizki Army Pratama
Apalagi dengan dicanangkannya wajib belajar 9 tahun oleh pemerintah kita. Maka tak ada lagi alasan untuk menolak dana-dana BOS yang mengucur di setiap sekolah. Entah merata atau tidak. Biaya masuk gratis. Buku-buku gratis. Tak ada pungutan bagi orang tua murid. Guru-guru pun bisa bernapas lega dengan peningkatan kesejahteraannya.

Sejak kecil, anak-anak selalu bertanya; “Untuk apa kita sekolah?” Yah, pertanyaan sederhana namun butuh waktu bertahun-tahun untuk memahami hasilnya. Saya pun demikian.

“Supaya kamu pintar,” jawab orang tua selalu. Dan terpatri lah di dalam benak kita bahwa kita sekolah agar menjadi orang pandai. Semakin beranjak, kita menambahkannya, menjadi orang pandai yang berguna bagi bangsa.

Akan tetapi, realitasnya, setinggi-tingginya sekolah yang dilalui oleh seseorang, ujung-ujungnya juga akan bermuara pada satu hal; KERJA. Sebagian besar orang di luar sana seakan tersentak kesadarannya bahwa mengenyam pendidikan itu menjadi dasar untuk memperoleh pekerjaan. Tidak lagi pada tataran “menjadi pintar” semata, melainkan "bagaimana bertahan hidup lewat menjadi pintar” itu dalam persaingan dunia kerja.

Saya sebenarnya termasuk orang yang tidak langsung 100 persen percaya bahwa sekolah itu untuk mendapatkan pekerjaan. Terkdang, batin saya ingin membantahnya. “Pokoknya, kita sekolah ya memang untuk memperoleh ilmu seluas-luasnya,” bantah saya. Akan tetapi, semakin saya menjalani pendidikan itu sendiri, saya semakin tersadarkan, urusan pekerjaan juga menjadi urusan pendidikan di Indonesia. Idealnya, kita sekolah untuk dapat kerja. Bagi prestasi terbaik (seharusnya) dapat pekerjaan terbaik.

“Sudah seharusnya, sedari awal, kamu sudah menentukan jurusan yang kamu minati,” saya teringat dengan pesan guru-guru saya di SMA dulu. Maklum, saya baru lulus kala itu dan masih bingung menentukan jurusan yang bagus untuk saya. Sebagai salah seorang murid yang dianggap berprestasi, maka saya disarankan untuk ikut seleksi “bebas tes” masuk jurusan Kedokteran. Hm…kadangkala, prestise suatu jurusan memang menggiurkan.

“Kalau jadi dokter, gajinya besar loh. Apalagi gengsinya, wuihh!! Dan lagi, proyeksi ke depannya untuk dokter sangatlah jelas,” saran salah seorang teman saya. Komentarnya tidak jauh berbeda dnegan guru-guru sekolah saya.

“Jadi guru, untuk beberapa ke tahun depan, proyeksinya sudah jelas. Apalagi dengan digulirkannya sertifikasi guru. Maka kesejahteraan guru sudah bisa dipastikan bakal bertambah dengan tunjangan-tunjangan pekerjaannya sebagai pendidik,”

Dari apa yang saya dengarkan ketika ingin menjatuhkan pilihan, semua komentar terkait sebenarnya memiliki kesamaan. Semuanya bermuara pada PEKERJAAN. Yah, bagaimanapun, tidak bisa dipungkiri kehidupan kita bakal melalui proses “bekerja” itu. Dan entah, apakah memang seharusnya dilalui lewat pendidikan atau semestinya sejak awal sudah disasarkan langsung pada pekerjaan yang bersangkutan, tanpa sekolah.

Saya menganggap, pendidikan yang sekarang kita jalani hanya sebagai formalitas belaka, pelengkap. Apa yang kita pelajari hanya berkisar pada teori-teori semata, tentunya bekal untuk kedewasaan kita. Bekal untuk rasionalitas kita. Akan tetapi, bekal utama kita untuk hidup sebenarnya tidak semata-mata pada teori-teori yang diajarkan di sekolah itu. Bukankah, experience is the best teacher, pengalaman adalah guru yang terbaik? Dengan begitu, pada dasarnya, ilmu apapun bisa diperoleh melalui pengalaman kita meskipun tanpa dididik secara formal.

(sumber: google.com)
Sadarkah kita, guru sejatinya adalah orang-orang yang mengajarkan kita apa saja. Jadi, tidak hanya mereka yang berdiri di depan kelas mengajarkan kita secara formal dan dilengkapi dengan sertifikat pendidik yang dianggap sebagai guru. Bahkan, anak kecil tempat kita belajar “cara berhitung” dengan jari bisa menjadi guru kita juga. Lagi-lagi guru tak pernah memandang usia. Dan? Sekolah secara formal memang selalu dikait-kaitkan dengan segala kemungkinan kita mencari kerja. Sementara dalam hidup yang sebenarnya kita jalani, itulah sejatinya sekolah. Sekolah kehidupan dengan guru-gurunya yang bisa mengajarkan kita cara hidup, cara berteman, cara menyelesaikan masalah, dan cara menyayangi orang lain.

Bekerja, berarti kita juga menjalani pendidikan hidup. Tanpanya, bagaimana kita hidup? Hehe…orang juga butuh makan, bukan?

“Ketika memasuki dunia kerja, kalian tidak akan pernah kok ditanya-tanya tentang IPK berapa. Yang dibutuhkan adalah seberapa besar keterampilan atau kemampuan yang kalian miliki. Urusan ijazah adalah yang kesekian,”

Saya sendiri baru menemukan passion pekerjaan yang saya minati ketika menjalani pendidikan di kampus saya sekarang. Jika beruntung, mengikuti arus, saya seharusnya bakal berakhir menjadi seorang pendidik atau guru di suatu sekolah entah dimana. Seharusnya pula saya menjadi orang yang “lurus-lurus” berprestasi seperti masa-masa sekolah saya dulu.  Akan tetapi, saya malah menemukan jalur yang berbeda di kehidupan saya sekarang. Saya mulai tahu, saya ingin jadi apa, untuk apa, dan dengan apa.

Pada dasarnya, pendidikan itu penting. Sangat penting malah. Mungkin saja, melalui pendidikan-pendidikan formal yang dijalani bakal mengarahkan kita pada hakikat belajar yang sesungguhnya. Pendidikan formal, mengarahkan kita pada pendidikan kehidupan, salah satunya bekerja. Belajar seumur hidup. Guru tak terbatas. Kelas tak berbayar. ^_^.

Suka atau tidak. Kita akan berujung pada pendidikan hidup itu. Tugas kita lah untuk memilih, ikut arus atau melawannya. Kata orang bijak, hanya sampah yang hanyut terbawa arus sungai, ujung-ujungnya akan bermuara di laut. Ikan yang tangguh, berusaha melawan arus air agar tidak ikut hanyut terbawa derasnya.

Sedari kini, sedikit saja, ayo mulai membayangkan passion seperti apa yang kita inginkan. "Sebelum lulus kuliah, saya bakal (ingin) jadi apa ya?"

***

“Memangnya jurusannya kamu bisa jadi wartawan?” tanya ayah saya suatu ketika. Kami duduk-duduk berdua di depan teras rumah sambil memandangi orang-orang yang lalu-lalang tak lepas menyapa kami.

“Bisa kok. Malah, kebanyakan wartawan senior saya bukan berasal dari jurusan jurnalistik,” jawab saya meyakinkan. Bagaimanapun, saya tahu, ayah saya tidak begitu sreg dengan keinginan saya. Kekhawatirannya, simpang siur yang selama ini didengarnya, disaksikannya pula lewat televisi seakan-akan telah memoles “tak baik” pekerjaan itu. Tapi, dasar ayah saya, ia selalu menginginkan yang terbaik bagi anak-anaknya, meskipun keinginannya tidak sejalan dengan kemauan anak-anaknya.

Lha wong kamu sendiri kan yang bakalan merasakannya. Awas le kalau nyusahin,” ujarnya selalu berusaha meyakinkan dirinya tentang pilihan-pilihan yang saya bulatkan.


--Imam Rahmanto--

You Might Also Like

0 comments