Keajaiban Kecil dan Waktu (2)

April 18, 2013

Baca Juga

Jam 13.25
“Akh, gara-gara sms tadi, saya malah ketiduran,” gerutu saya dalam hati ketika tiba-tiba terbangun sejam kemudian. Awalnya saya hanya ingin merebahkan diri, sekadar meregangkan otot-otot bahu. Bersantai sejenak, karena ternyata saya memiliki tambahan waktu.

“Kak, kuliah jam 1 dibatalkan, diganti besok,” begitu isi sms yang mengisyaratkan tambahan waktu bagi saya untuk mempersiapkan segala keperluan Microteaching. Padahal, baru sebatas RPP saja yang telah selesai saya selesaikan. Yang lainnya? Masih dalam tahap pemikiran. Luar biasa!

Nah, seperti ini yang dinamakan berkejar-kejaran dengan waktu. Apalagi tidur tadi mengurangi jatah waktu saya. Huh. Dalam waktu singkat, saya harus memikirkan segala hal yang saya butuhkan. Bahkan sambil tetap bergerak, saya harus berpikir tentang skenario presentasi saya. Super!

Jam 13.45-an
Toko Agung di Makassar yang berjarak sekira 15 menit perjalanan tetap ramai seperti biasanya. Bergegas tanpa basa-basi saya harus mencari barang yang saya butuhkan. Saya memperoleh sedikit inspirasi dadakan untuk membuat “hadiah” bagi salah satu kelompok dalam metode pembelajaran saya.

Sebenarnya, saya telah lama memikirkan (bahkan dalam shalat sekalipun), “penghargaan” seperti apa yang harus saya berikan dalam fase pengajaran  yang akan saya tampilkan. Saya tidak ingin hal-hal biasa yang telah banyak dilakukan oleh teman-teman saya. Ada yang menghadiahkan makanan. Ada pula yang menghadiahkan semacam atribut penilaian (bintang atau semacam penanda poin).

Lama saya memutar otak.

“Iya ya?” otak saya tiba-tiba menunjukkan fungsinya ketika memandangi pergelangan tangan saya yang dililit oleh gelang. Cling!!

Jam 14.10-an
Ide itu ingin saya terapkan sesegera mungkin. Saya tidak sabar ingin menunjukkan surprise kepada teman-teman kelas saya. Tapi…..waktu saya hampir habis… Bagaimana tidak, dua jam lagi saya harus presentasi namun segala kesiapan saya masih nihil. Argh! Mau tidak mau saya pun harus meminta sedikit bantuan.

“Tolong ya, sebelum jam 4 harus selesai. Nih video tutorialnya. Gampang kok,” pinta saya. Beruntung, salah seorang teman redaksi saya bersedia untuk dimintai tolong, sementara saya harus menyelesaikan kesiapan lainnya. Saya memintanya untuk merealisasikan ide yang mendadak mencuat di tengah jalur kepepet saya itu.

“Hei, punya flashdisk ndak?” Teman saya menggeleng. Aduh!

Saya sendiri masih harus membuat slide power point materi saya sekaligus lembar kerja/ soal untuk diaplikasikan. Maka “back to warnet” kembali menjadi solusi saya. Googlelogi adalah satu-satunya ilmu yang mempelajari segala jenis ilmu lain di dunia ini. Ckckck

Jam 14.25
“Tapi, tidak boleh lebih dari 30 menit!” cam saya dalam hati berusaha mensugesti diri sendiri. “tidak boleh buka facebook, blogger, email, twitter, soundcloud, dan jejaring lainnya!” lanjut saya berulang-ulang. Tahu tidak, jarak redaksi dan warnet menghabiskan waktu sekira lebih dari 5 menit. Mau bagaimana lagi, jika diakumulasikan, nyaris sejam waktu saya terbuang hanya untuk kesana-kemari.

Nyatanya, tetap melebihi waktu yang ditentukan. Tapi, untuk kali ini (dan baru kali ini) saya sukses connect tanpa menyentuh-nyentuh segala jejaring sosial mereka apapun. Pokoknya, pikiran saya memang sudah terfokus untuk menyelesaikan “tantangan pribadi” itu. Lagi-lagi, saya harus memproklamirkan, saya tidak ingin lagi mengulang kesalahan-kesalahan masa lalu. Saya hanya mencoba untuk menjadi lebih baik.

Jam 15.15-an
Mengecek segala kesiapan saya, salah satunya hasil kerja “bantu” teman saya. Akan tetapi, segalanya tak selalu sesuai dengan rencana. Akh, teman saya sedikit keliru tentang membuat “benda” itu.

“Aduh, ini kok salah? Bukannya seperti ini. Untuk yang ini, lipatannya kayaknya berbeda dengan bagian yang satunya,” gerutu saya. Maunya sih marah, tapi bukan hak saya juga sebenarnya untuk marah. Saya yang meminta bantuannya, masa juga saya harus marah-marah padanya? Lagipula, wajar ketika dia tidak tahu cara membuatnya. Ini pertama kalinya loh. Ya ampun…

“Oh, saya kira sama caranya, Kak,” jawabnya seraya tersenyum kikuk.

Saya menghela napas.

Jam 15.40-an
Daridapa mengomel, saya memilih untuk membantunya sekaligus sedikit mengajarkan dan menunjukkan letak kesalahan pembuatannya. Padahal dalam benak saya, “Waktu saya semakin menipis dan habis,”

Dalam keterbatasan waktu itulah kemudian mencuatkan putus asa. Apakah bisa saya menyelesaikan semuanya. Saya butuh waktu sedikit lebih banyak lagi untuk menyelesaikan slide powerpoint milik saya. Saya butuh waktu sedikit lebih banyak lagi untuk menyusun lembar soal maupun lembar kerja yang akan saya bagikan. Saya butuh waktu sedikit lebih lama untuk belajar menskenriokan semuanya di kepala saya. Meskipun, sejatinya saya tidak begitu berniat untuk menjadi seorang guru, namun penampilan saya harus lebih baik dari teman-teman lain. Apapun itu, menyelesaikan sesuatu dengan sebaik-baiknya adalah sebaik-baiknya proses belajar.

Menjelang batas itu…beberapa menit lagi…
“Sudahlah, saya kayaknya tidak bisa melanjutkannya untuk hari ini,” Saya berkata lirih seakan-akan berbicara pada diri sendiri. Teman saya, yang sedang sibuk-sibuknya memperbaiki “bantuan”nya, tetap menyelesaikan pekerjaannya. Saya tahu, ia berusaha memenuhi janjinya pada saya. Namun, saya khawatir  tidak bisa melanjutkannya hari ini. Kepepet waktu. Saya juga mungkin mengecewakannya atas bantuannya pada saya.

“Biarlah. Untuk kali ini saya menyerah saja. Waktu saya terbatas. Tidak mungkin lagi menyelesaikannya tepat waktu,” sesal saya.

Saya menghentikan segala keburu-buruan hari ini, dan membatalkannya. Sebuah pesan singkat saya kirimkan ke salah seorang teman sekelas saya, yang menginformasikan tentang “ketidaksiapan” saya. Jikalaupun dosen yang bersangkutan mencari, saya sudah pasrah untuk absen. Padahal pertemuan sebelumnya saya juga mangkir dari presentasi itu. Toh, segala kemampuan dan usaha telah saya kerahkan. Hasilnya? Tinggal menunggu waktu saja…

Setelah “waktu” beberapa menit berlalu…
Akan tetapi, keajaiban kecil itu selalu ada. Dimanapun kita berada. Usaha dan kemauan keras selalu merefleksikan dan menghasilkan keajaiban itu. Percayalah. Saya membuktikannya, dan selalu membuktikannya. Dunia selalu bekerja di luar nalar kita.

Sebuah pesan singkat masuk di handphone saya. Tulisan yang setiap hurufnya di-capslock.

Ndak masuk ji juga, Kak,”

Hah? Yang benar saja? Nyaris saja saya melonjak kegirangan, ketika pikiran saya memutuskan untuk tetap tenang. Untuk memastikannya, saya menghubungi langsung teman saya. Dan nyatanya, apa yang disampaikannya benar-benar membuat saya melompat-lompat di antara teman-teman saya disini. It’s a miracle for me!

Tambahan waktu
Semacam rezeki yang selalu tak diduga-duga kedatangannya, keajaiban juga seperti itu. Keduanya bukanlah hal kebetulan, melainkan benar-benar dihasilkan dari kerja keras. Ada yang bilang, keajaiban adalah hasil dari kerja keras. Itu benar.

Saya merasakannya hari ini. Usaha saya atas sesuatu nyatanya membuahkan hasil. Padahal, dalam keputusasaan itu, saya sempat berpikir,

“Sudahlah, apapun hasilnya, meskipun saya membatalkannya. Toh, saya sudah berusaha. Yang dibutuhkan adalah prosesnya. Saya telah banyak belajar dari proses “hidup” yang saya lalui hari ini,” Saya berusaha menghibur diri.

Saya belajar, betapa pentingnya “waktu”. Saya baru menyadarinya ketika kita kehilangannya. Selalu begitu.

Saya belajar, usaha keras itu tidaklah selalu sia-sia. Tuhan selalu menyiapkan segala hal yang lebih baik bagi kita yang telah bekerja keras. Berusaha yang “bukan sekadar mau”. Berusaha yang benar-benar mengerahkan segala batas kemampuan dan nalar kita, hingga akhirnya yang akan memicu keajaiban kecil itu muncul. Just believe it!

Waktu yang kita miliki pun sebenarnya sudah banyak dan cukup. Hanya, kita saja yang terbiasa membuang-buangnya untuk hal-hal yang percuma, dan cenderung menyalahkan orang (hal) lain atau bahkan diri sendiri. Tak heran potongan waktu 24 jam itu semakin sempit buat kita.

Bukan sebuah kebetulan belaka ketika Tuhan berusaha membukakan jalan bagi saya untuk tujuan akhir itu. Dua mata kuliah yang dihilangkan tak pelak memberikan tambahan waktu bagi saya. Tanpa saya duga. Mungkin saja, Tuhan menguji, apakah dengan tambahan waktu itu, saya benar-benar akan memanfaatkannya. Jika tidak, mungkin juga hasil akhirnya akan berbeda seperti tadi. I dunno. Selalu ada jalan untuk usaha keras kita.

Keajaiban kecil, bagi saya, cukup berarti banyak. Hal-hal biasa yang menjadikan saya selalu mengusahakan keajaiban-keajaiban lainnya sembari menanti keajaiban yang lebih besar lagi. Sedikit demi sedikit, mengumpulkannya untuk menjadi besar. Perlahan, belajar untuk menjadi pribadi yang lebih baik. Mencoba sedikit bersyukur atas kemudahan yang telah dibukakan Tuhan bakal membuat kita semakin banyak ketiban rezeki kan? Nah, lantas, mengapa tidak saya menganggapnya sebagai suatu keajaiban kecil dari Tuhan untuk hari ini?

(google.com)


--Imam Rahmanto--

You Might Also Like

0 comments