Jakarta itu Disana
April 28, 2013Baca Juga
Menyaksikan tiga orang teman-teman saya meninggalkan redaksi siang ini, dengan balutan pakaian rapi dan tas-tas yang sesak dengan pakaian, membuat saya kembali teringat tentang perjalanan saya setahun silam.
Yah, ketiga orang teman yang merupakan adik-adik saya di lembaga pers ini, berangkat untuk satu tujuan; Jakarta. Seperti kami setahun lalu, dalam event serupa, mereka akan melangkahkan kaki bersama teman-teman pers kampus dari universitas lain berdiskusi bersama, atas kompetisi yang telah mereka ladeni. Malam ketika saya menulis tulisan ini, kalian sudah pasti telah menginjakkan kaki di kota Jakarta.
Nah, untuk kalian bertiga, Selamat datang di Jakarta! Di kota tempat kami menghimpun semangat-semangat untuk terus bermimpi, dan berkata, “Ini memang untuk yang pertama kalinya, tetapi bukan untuk yang terakhir kalinya.”
Di kota besar itulah saya untuk pertama kalinya meyakinkan diri untuk benar-benar percaya bahwa segala sesuatu itu mungkin terjadi. Saya merasa dihargai, dan setidaknya saya pun bisa membuktikan kepada kedua orang tua saya bahwa saya tidak hanya “ala kadarnya” di lembaga yang sejak awal menempa saya ini. Mungkin saja, dari sana pula timbul kepercayaan baru dari orang tua buat saya. Ada kenyataan yang membuat mereka percaya atas apa yang saya lakukan. ^_^.
Di kota itu, kami membandingkan tinggi-tinggi bangunan yang ada disini, Makassar dengan disana, Jakarta. Kalian tidak perlu takjub, ah telat, melihat bangunan-bangunan yang ada disini tidak bakalan bisa “ada apa-apanya” jika dibandingkan dengan bangunan-bangunan disana. Malah, gedung kampus kita yang sementara dalam pembangunan, masih kalah jauh dengan bangunan-bangunan sederhana disana.
“Apa ya ole-ole yang khas dari Jakarta?” Pernah, sekali saya menanyakannya pada salah seorang mahasiswa yang mengantarkan kami ke lokasi Journalist Days, Universitas Indonesia. Ia juga nampak kebingungan. Maka lepas saja ia berujar, “Apa ya? Mungkin ya macet seperti ini,” yang kemudian diiringi oleh tawa lepas kami. Kalian pasti sudah merasakannya.
Lumrah, ketika orang-orang yang telah lama tinggal disana akrab dengan kemacetan. Kebisingan. Karena di ibukota negara kita itu istilah “macet” menjadi bahasa sehari-hari bagi warganya. Oh ya, satu saran buat kalian ketika ada disana, jika ingin pergi ke suatu tempat disana, jangan sekali-kali menanyakan jarak. Tanyakan saja “berapa lama”nya. Untuk kalian ketahui, orang-orang disana amat jarang menanyakan kualitas jauh-dekat dengan “kilometer” melainkan berhitung lewat jam, menit, ataupun detik. Lagi, karena macet pula.
Jakarta, seakan-akan mengingatkan tentang perjalanan kami kesana. Bagaimana untuk pertama kalinya kami menjejakkan kaki di bandara Soekarno-Hatta. Bagaimana kami pertama kalinya merasakan hawa Tangerang, yang kala itu digelayuti mendung. Bagaimana kami dijemput panitia dengan Bus DAMRI dari Bandara, yang tentunya dengan uang kami sendiri. Padahal kami berharap ditanggung panitia. :p
Lantas, menyaksikan suasana pinggiran kota Jakarta di malam hari. Bagaimana kami untuk pertama kalinya mengendarai kereta api (komuter). Tenang saja, di UI ada jalurnya kok. Merasakan kantin yang cukup unik, berbeda dibandingkan kantin-kantin yang ada di kampus kita, prasmanan.
Lepas dari sana, saya teringat tentang perjalanan kami mencari kediaman salah seorang senior kita disana, yang memaksa kami untuk menggandeng tas-tas besar di tengah-tengah gerbong komuter dengan tujuan gedung MNC. Memaksa setiap mata penuh tanya memandang kami bertiga. Yah, kami pertama kali kesana, dan bertemu dengan salah seorang senior kita disana, yang pada akhirnya banyak membantu kami.
Di sebelah gedung itu, tepat di seberangnya, disanalah kami menyempatkan pula menginap, merasakan suasana-suasana hotel ala orang kota. :) Hahaha…meskipun kamarnya tidak begitu luas, tapi menyenangkan, kok. Dari sana pula, kami banyak menemukan tempat-tempat persinggahan yang akan menjadi tujuan kami di pusat kota. Ada Monas, yang kami memaksakan mengunjunginya dengan berjalan kaki. Dan ternyata…agak melelahkan. Berputar di jalan-jalan yang panjang, tanpa tahu jalan pintasnya. Tapi, sesampainya di depan pagar yang mengelilingi Monas dengan bangunannya yang menjulang tinggi, rasa lelah kami seakan-akan lepas tak terkira. Kami membaginya dengan tertawa, dan kalau bisa dan tak malu-malu berlari saja menerobos pagar itu. Oh ya, di seberangnya juga ada masjid Istiqlal. kalau ada waktu berkunjunglah kesana. :)
Salah satu tempat yang paling sering muncul di tivi-tivi juga sudah jadi “mangsa” kami. Usai berjalan-jalan di Thamrin City, salah satu pusat grosir pakaian dan batik di Jakarta, kami menghabiskan waktu malam itu di seputaran Bundaran HI. Ada banyak orang disana, bersantai ataupun berfoto. Tentu saja, kami pun berlaku demikian.
Hmm…lagi, saya menyarankan, coba-cobalah berkunjung ke Pasar Senen, pasar yang tak pernah kalian temukan disini. Tempat mahasiswa berburu buku-buku murah, meskipun kualitas KW. Saya jamin, kalian akan tercengang dengan harga-harga buku yang ditawarkan disana. Jangan sungkan menawar harga. Semakin pandai menawar harga, semakin mantap buku yang kalian temukan. Hehe..
Ah, melihat kalian yang mewarisi "kepergian" kami kesana, saya nampaknya merindukan untuk melakukan perjalanan seperti itu lagi. Kalian menambah deretan awak-awak redaksi yang menginjakkan kaki di ibukota Indonesia itu. Generasi Jakarta, saya menyebutnya. Hehehe... Mencoba hal-hal baru. Merasakan tempat-tempat baru. Bagaimanapun, kita masih muda, dan masih ada banyak tempat-tempat yang masih belum kita ketahui “seru”nya.
Nah, saat kalian sudah berada disana, silahkan merasakan keseruan-keseruan lainnya. Coba meninggalkan kesan yang cukup mendalam tentang keberadaan kalian disana. Mencoba hal-hal baru. Mengunjungi tempat-tempat baru. Atau menemukan teman-teman baru. Selalu ada hal yang patut untuk dikenang. Oh ya, ingat pula tentang tujuan utama kalian ada disana, di kampus kuning Indonesia. Semoga segala hal yang kalian dapatkan disana meresap menjadi pengalaman tak terlupakan, seperti halnya kami.
Selalu ada jalan bagi yang ingin terus berusaha… Just believe it!
Jangan lupa bawa ole-ole ya! Wajib!
Yah, ketiga orang teman yang merupakan adik-adik saya di lembaga pers ini, berangkat untuk satu tujuan; Jakarta. Seperti kami setahun lalu, dalam event serupa, mereka akan melangkahkan kaki bersama teman-teman pers kampus dari universitas lain berdiskusi bersama, atas kompetisi yang telah mereka ladeni. Malam ketika saya menulis tulisan ini, kalian sudah pasti telah menginjakkan kaki di kota Jakarta.
Nah, untuk kalian bertiga, Selamat datang di Jakarta! Di kota tempat kami menghimpun semangat-semangat untuk terus bermimpi, dan berkata, “Ini memang untuk yang pertama kalinya, tetapi bukan untuk yang terakhir kalinya.”
Di kota besar itulah saya untuk pertama kalinya meyakinkan diri untuk benar-benar percaya bahwa segala sesuatu itu mungkin terjadi. Saya merasa dihargai, dan setidaknya saya pun bisa membuktikan kepada kedua orang tua saya bahwa saya tidak hanya “ala kadarnya” di lembaga yang sejak awal menempa saya ini. Mungkin saja, dari sana pula timbul kepercayaan baru dari orang tua buat saya. Ada kenyataan yang membuat mereka percaya atas apa yang saya lakukan. ^_^.
Di kota itu, kami membandingkan tinggi-tinggi bangunan yang ada disini, Makassar dengan disana, Jakarta. Kalian tidak perlu takjub, ah telat, melihat bangunan-bangunan yang ada disini tidak bakalan bisa “ada apa-apanya” jika dibandingkan dengan bangunan-bangunan disana. Malah, gedung kampus kita yang sementara dalam pembangunan, masih kalah jauh dengan bangunan-bangunan sederhana disana.
“Apa ya ole-ole yang khas dari Jakarta?” Pernah, sekali saya menanyakannya pada salah seorang mahasiswa yang mengantarkan kami ke lokasi Journalist Days, Universitas Indonesia. Ia juga nampak kebingungan. Maka lepas saja ia berujar, “Apa ya? Mungkin ya macet seperti ini,” yang kemudian diiringi oleh tawa lepas kami. Kalian pasti sudah merasakannya.
Lumrah, ketika orang-orang yang telah lama tinggal disana akrab dengan kemacetan. Kebisingan. Karena di ibukota negara kita itu istilah “macet” menjadi bahasa sehari-hari bagi warganya. Oh ya, satu saran buat kalian ketika ada disana, jika ingin pergi ke suatu tempat disana, jangan sekali-kali menanyakan jarak. Tanyakan saja “berapa lama”nya. Untuk kalian ketahui, orang-orang disana amat jarang menanyakan kualitas jauh-dekat dengan “kilometer” melainkan berhitung lewat jam, menit, ataupun detik. Lagi, karena macet pula.
Jakarta, seakan-akan mengingatkan tentang perjalanan kami kesana. Bagaimana untuk pertama kalinya kami menjejakkan kaki di bandara Soekarno-Hatta. Bagaimana kami pertama kalinya merasakan hawa Tangerang, yang kala itu digelayuti mendung. Bagaimana kami dijemput panitia dengan Bus DAMRI dari Bandara, yang tentunya dengan uang kami sendiri. Padahal kami berharap ditanggung panitia. :p
Lantas, menyaksikan suasana pinggiran kota Jakarta di malam hari. Bagaimana kami untuk pertama kalinya mengendarai kereta api (komuter). Tenang saja, di UI ada jalurnya kok. Merasakan kantin yang cukup unik, berbeda dibandingkan kantin-kantin yang ada di kampus kita, prasmanan.
Lepas dari sana, saya teringat tentang perjalanan kami mencari kediaman salah seorang senior kita disana, yang memaksa kami untuk menggandeng tas-tas besar di tengah-tengah gerbong komuter dengan tujuan gedung MNC. Memaksa setiap mata penuh tanya memandang kami bertiga. Yah, kami pertama kali kesana, dan bertemu dengan salah seorang senior kita disana, yang pada akhirnya banyak membantu kami.
Hasil jepretan saya setahun lalu, sore-sore ke Monas. |
Di sebelah gedung itu, tepat di seberangnya, disanalah kami menyempatkan pula menginap, merasakan suasana-suasana hotel ala orang kota. :) Hahaha…meskipun kamarnya tidak begitu luas, tapi menyenangkan, kok. Dari sana pula, kami banyak menemukan tempat-tempat persinggahan yang akan menjadi tujuan kami di pusat kota. Ada Monas, yang kami memaksakan mengunjunginya dengan berjalan kaki. Dan ternyata…agak melelahkan. Berputar di jalan-jalan yang panjang, tanpa tahu jalan pintasnya. Tapi, sesampainya di depan pagar yang mengelilingi Monas dengan bangunannya yang menjulang tinggi, rasa lelah kami seakan-akan lepas tak terkira. Kami membaginya dengan tertawa, dan kalau bisa dan tak malu-malu berlari saja menerobos pagar itu. Oh ya, di seberangnya juga ada masjid Istiqlal. kalau ada waktu berkunjunglah kesana. :)
Salah satu tempat yang paling sering muncul di tivi-tivi juga sudah jadi “mangsa” kami. Usai berjalan-jalan di Thamrin City, salah satu pusat grosir pakaian dan batik di Jakarta, kami menghabiskan waktu malam itu di seputaran Bundaran HI. Ada banyak orang disana, bersantai ataupun berfoto. Tentu saja, kami pun berlaku demikian.
Hmm…lagi, saya menyarankan, coba-cobalah berkunjung ke Pasar Senen, pasar yang tak pernah kalian temukan disini. Tempat mahasiswa berburu buku-buku murah, meskipun kualitas KW. Saya jamin, kalian akan tercengang dengan harga-harga buku yang ditawarkan disana. Jangan sungkan menawar harga. Semakin pandai menawar harga, semakin mantap buku yang kalian temukan. Hehe..
Ah, melihat kalian yang mewarisi "kepergian" kami kesana, saya nampaknya merindukan untuk melakukan perjalanan seperti itu lagi. Kalian menambah deretan awak-awak redaksi yang menginjakkan kaki di ibukota Indonesia itu. Generasi Jakarta, saya menyebutnya. Hehehe... Mencoba hal-hal baru. Merasakan tempat-tempat baru. Bagaimanapun, kita masih muda, dan masih ada banyak tempat-tempat yang masih belum kita ketahui “seru”nya.
Nah, saat kalian sudah berada disana, silahkan merasakan keseruan-keseruan lainnya. Coba meninggalkan kesan yang cukup mendalam tentang keberadaan kalian disana. Mencoba hal-hal baru. Mengunjungi tempat-tempat baru. Atau menemukan teman-teman baru. Selalu ada hal yang patut untuk dikenang. Oh ya, ingat pula tentang tujuan utama kalian ada disana, di kampus kuning Indonesia. Semoga segala hal yang kalian dapatkan disana meresap menjadi pengalaman tak terlupakan, seperti halnya kami.
Selalu ada jalan bagi yang ingin terus berusaha… Just believe it!
Jangan lupa bawa ole-ole ya! Wajib!
--Imam Rahmanto--
0 comments