Masakan Rumah
Maret 03, 2013Baca Juga
Seorang teman, pagi ini, masih pagi sekali – menjelang pukul tujuh – sudah membuat keributan di dapur redaksi kami. Suara-suara wajan beradu dengan spatula mengisi kesunyian pagi ini, usai beberapa teman yang lainnya meninggalkan redaksi, baru-baru saja. Mereka rencananya ingin berburu foto (atau entah malah berburu di”foto”), belajar mengenal dunia fotografi. Saya yang sejak semalam sudah berkutat dengan freelance saya, memilih untuk tidak ikut kali ini. “Saya harus fokus dulu,” batin saya.
Yah, teman saya itu, entah karena suasana sudah sepi atau karena dia berbahagia dapat kiriman, berinisiatif memasak sendiri di dapur redaksi kami. Saya baru kali ini melihatnya memasak sendiri di redaksi. Serius!
“Kamu mau masak?” tanya saya ketika melongok ke dapur.
Ia hanya meringis dan meng-iya-kan pertanyaan saya. “Saya kira tadi yang mau masak bukan kamu,” lanjut saya lagi.
Maklum, di redaksi kami sebenarnya ada koki terkenal seantero lembaga kami, meskipun dia seorang laki-laki merangkap sebagai seorang fotografer. Saya awalnya menyangka, teman saya yang beberapa menit lalu baru saja menenteng tas kresek berisi tomat beberapa butir ini hanya berbelanja menuruti pesanan sang koki. Lha, ternyata dia sendiri yang mau masak tah? Keren…
“Oke, tak bantuin deh. Kamu yang masak - yang enak loh - biar aku yang nyuci semua piringnya,” ujar saya. Pagi itu, pekerjaan saya untuk sementara berakhir. Saya butuh sedikit penyegaran pagi ini untuk memutus rasa kejenuhan saya dari semalaman berhadapan dengan laptop. Serius! Bahkan ketiduran pun wajah saya masih menghadap laptop. Daripada tak ada kerjaan, ya, cuci piring bisa jadi hburan sementara. Mumpung suasananya juga masih pagi dan sepi… It's morning!
Bagaimanapun juga, menurut saya, pada kenyataannya orang yang pandai memasak itu akan memiliki nilai tambah tersendiri. Tak peduli itu laki-laki atau perempuan, ada nilai tambah tersendiri yang akan membedakan orang tersebut dengan orang lain. Malah, saya sempat berangan-angan, mudah-mudahan istri saya nanti pandai memasak. Hehe... Setidaknya, jika dinilai dari caranya me-mandiri-kan kehidupannya.
Saya pernah pandai memasak, loh. Pernah mencoba beragam jenis masakan yang saya dapatkan resepnya dari ibu saya. Tapi… itu dulu ketika saya masih hangat-hangatnya menginjakkan kaki di kota Makassar. Saya menumpang di salah satu kost-an kakak teman saya, yang membuat saya harus menjadi orang yang bemanfaat dan tentu saja dibutuhkan, sebagai tukang masak.
Ketika masih duduk di bangku sekolah pun, saya sering menggantikan ibu untuk memasak di rumah. Dua hari pasar dalam seminggu; Selasa dan Jumat, memaksa saya untuk menuruti perintah ibu saya. Maklum, saya anak sulung dan adik saya, meskipun perempuan, masih imut-imutnya saat itu tidak bisa dipaksa untuk membantu ibu saya.
“Kalau nasinya masih ada, kamu tanak wae. Trus, kamu mbeteti iwak juga ya, goreng biasa wae. Eling loh ya, ingat,” pesan ibu saya setiap akan berangkat berjualan es teler di pasar. Jika bosan dengan ikan, saya menggoreng tempe atau tahu sendiri. Untuk olahan selanjutnya, akan dilanjutkan ibu saya sepulangnya dari pasar, sore hari.
Tapi, itu dulu. Lama, lama sekali…
Kini, saya hanya bisa mengolah beberapa “makanan instan”. Memang gampang, kan? Itu pun terjadi ketika saya baru benar-benar kelaparan. Selain dari itu, saya hanya menyentuh kompor ketika akan menyeduh air panas untuk cappuccino. ^_^. Untuk urusan makanan dan sejenisnya, baik di kost maupun di redaksi, saya lebih banyak menyantap makanan hasil olahan orang lain.
Saya nampaknya memendam kerinduan dengan masakan rumah saya. Hasil olahan ibu saya. Ibu selalu tahu masakan seperti apa yang menjadi favorit saya. Tak perlu bertanya, ibu selalu menghidangkan masakan khas-nya yang selalu menjadi favorit saya di rumah. Bahkan, jika saya menyempatkan diri untuk pulang ke kampung, dimana keluarga saya kini berdomisili, ibu akan memanjakan saya dengan makanan-makanan olahannya. Tak jarang ibu akan selalu bertanya, “Kamu mau makan apa?”
Akh, bagaimanapun enaknya masakan dari luar, masakan dari rumah selalu saja menjadi yang terlezat. Tidak ada yang mengalahkan masakan ibu, meskipun itu adalah makanan berkelas hotel berbintang lima. Bukan soal wujud rasanya yang nyaman di lidah, melainkan perasaan yang dapat disalurkan oleh masakan itulah yang selalu menjadikannya lezat…
Dan pagi ini, sembari menyaksikan dan mencicipi masakan olahan teman saya itu, kerinduan saya pada masakan ibu begitu jelas membuncah…
The last post of #7day7post
Yah, teman saya itu, entah karena suasana sudah sepi atau karena dia berbahagia dapat kiriman, berinisiatif memasak sendiri di dapur redaksi kami. Saya baru kali ini melihatnya memasak sendiri di redaksi. Serius!
“Kamu mau masak?” tanya saya ketika melongok ke dapur.
Ia hanya meringis dan meng-iya-kan pertanyaan saya. “Saya kira tadi yang mau masak bukan kamu,” lanjut saya lagi.
Maklum, di redaksi kami sebenarnya ada koki terkenal seantero lembaga kami, meskipun dia seorang laki-laki merangkap sebagai seorang fotografer. Saya awalnya menyangka, teman saya yang beberapa menit lalu baru saja menenteng tas kresek berisi tomat beberapa butir ini hanya berbelanja menuruti pesanan sang koki. Lha, ternyata dia sendiri yang mau masak tah? Keren…
“Oke, tak bantuin deh. Kamu yang masak - yang enak loh - biar aku yang nyuci semua piringnya,” ujar saya. Pagi itu, pekerjaan saya untuk sementara berakhir. Saya butuh sedikit penyegaran pagi ini untuk memutus rasa kejenuhan saya dari semalaman berhadapan dengan laptop. Serius! Bahkan ketiduran pun wajah saya masih menghadap laptop. Daripada tak ada kerjaan, ya, cuci piring bisa jadi hburan sementara. Mumpung suasananya juga masih pagi dan sepi… It's morning!
Bagaimanapun juga, menurut saya, pada kenyataannya orang yang pandai memasak itu akan memiliki nilai tambah tersendiri. Tak peduli itu laki-laki atau perempuan, ada nilai tambah tersendiri yang akan membedakan orang tersebut dengan orang lain. Malah, saya sempat berangan-angan, mudah-mudahan istri saya nanti pandai memasak. Hehe... Setidaknya, jika dinilai dari caranya me-mandiri-kan kehidupannya.
Saya pernah pandai memasak, loh. Pernah mencoba beragam jenis masakan yang saya dapatkan resepnya dari ibu saya. Tapi… itu dulu ketika saya masih hangat-hangatnya menginjakkan kaki di kota Makassar. Saya menumpang di salah satu kost-an kakak teman saya, yang membuat saya harus menjadi orang yang bemanfaat dan tentu saja dibutuhkan, sebagai tukang masak.
Ketika masih duduk di bangku sekolah pun, saya sering menggantikan ibu untuk memasak di rumah. Dua hari pasar dalam seminggu; Selasa dan Jumat, memaksa saya untuk menuruti perintah ibu saya. Maklum, saya anak sulung dan adik saya, meskipun perempuan, masih imut-imutnya saat itu tidak bisa dipaksa untuk membantu ibu saya.
“Kalau nasinya masih ada, kamu tanak wae. Trus, kamu mbeteti iwak juga ya, goreng biasa wae. Eling loh ya, ingat,” pesan ibu saya setiap akan berangkat berjualan es teler di pasar. Jika bosan dengan ikan, saya menggoreng tempe atau tahu sendiri. Untuk olahan selanjutnya, akan dilanjutkan ibu saya sepulangnya dari pasar, sore hari.
Tapi, itu dulu. Lama, lama sekali…
Kini, saya hanya bisa mengolah beberapa “makanan instan”. Memang gampang, kan? Itu pun terjadi ketika saya baru benar-benar kelaparan. Selain dari itu, saya hanya menyentuh kompor ketika akan menyeduh air panas untuk cappuccino. ^_^. Untuk urusan makanan dan sejenisnya, baik di kost maupun di redaksi, saya lebih banyak menyantap makanan hasil olahan orang lain.
Saya nampaknya memendam kerinduan dengan masakan rumah saya. Hasil olahan ibu saya. Ibu selalu tahu masakan seperti apa yang menjadi favorit saya. Tak perlu bertanya, ibu selalu menghidangkan masakan khas-nya yang selalu menjadi favorit saya di rumah. Bahkan, jika saya menyempatkan diri untuk pulang ke kampung, dimana keluarga saya kini berdomisili, ibu akan memanjakan saya dengan makanan-makanan olahannya. Tak jarang ibu akan selalu bertanya, “Kamu mau makan apa?”
Akh, bagaimanapun enaknya masakan dari luar, masakan dari rumah selalu saja menjadi yang terlezat. Tidak ada yang mengalahkan masakan ibu, meskipun itu adalah makanan berkelas hotel berbintang lima. Bukan soal wujud rasanya yang nyaman di lidah, melainkan perasaan yang dapat disalurkan oleh masakan itulah yang selalu menjadikannya lezat…
Dan pagi ini, sembari menyaksikan dan mencicipi masakan olahan teman saya itu, kerinduan saya pada masakan ibu begitu jelas membuncah…
--Imam Rahmanto--
The last post of #7day7post
0 comments