Bunda = Semangat

Maret 24, 2013

Baca Juga

(ilustrasi-Imam)
Hai, Bunda! Bunda yang selalu sibuk dengan pekerjaan-pekerjaan sekolahnya. Bunda yang selalu sibuk mengurus anak-anaknya. Bunda yang selalu sibuk mengurus “adik-adik” saya. Bunda yang selalu sibuk mengurus ibu-ibu lain. Bunda yang selalu tak punya waktu untuk mencapai impiannya. Tapi… Bunda yang selalu membagi motivasi dan impiannya untuk saya (dan kami), murid tercinta.

Apa kabar disana, Bunda? Apa kabar dengan kesibukan-kesibukannya?

Sedikit saja, Bunda tak pernah bisa istirahat barang sejenak. Terbiasa begadang di masa mahasiswa dulu, mungkin sedikit menjadi modal bagi Bunda untuk seperti sekarang ini. Bunda pernah bilang kan, “Bunda sebenarnya tidak ingin lagi sibuk-sibuk seperti ini. Tapi, ya mau bagaimana lagi? Kalau orang sudah mempercayai kita, dengan memberikan amanah, tugas kita untuk tidak mengecewakannya, kan?” Saya selalu mengingat pesan itu.

Ya, amanah. Saya pernah mendengar, tidak ada sesuatu yang lebih berat atau sangat berat di dunia ini ketimbang memikul amanah. Maka wajar ketika sebagian besar orang diberikan amanah bakal mengeluh setengah mati.

“Mengeluh tak akan pernah menyelesaikan pekerjaan,” ujar Bunda lagi suatu waktu. Dan saya banyak belajar hal itu dari Bunda. ^_^.

Bunda, ada banyak hal yang ingin saya ceritakan ketika kita bertemu lagi. Seperti setiap kepulangan, saya selalu menyempatkan diri untuk mampir ke rumah Bunda. Bercengkerama. Bercerita segala hal. Ya, segala hal. Hingga saya terkadang lupa diri mengobrol sampai larut malam. Hanya sms dari bapak yang kemudian menyuruh pulang untuk mengakhiri perbincangan malam itu.

Beberapa kali ketika kemarin saya sempat mendapatkan musibah, saya terpikirkan kembali oleh kata-kata Bunda. Meski hanya dikirimkan lewat sms, tapi sedikit bisa melegakan hati. Bahkan, tahukah Bunda, saya sempat dibuat menitikkan air mata.

“Musibah itu tak memilih org yg akan ditimpax. So...jangan kecil hati dan terpuruk dgn keadaan tsb. Tak selamax kan, keberuntungan itu ada pd kita. Ada waktu kita jg akan diajar u/ kecewa.. Tak apalah tuh! Tawakal..tawakal..tawakal, yuk!”

“Bunda yakin, kepercayaan itu tak akan luntur hax krn kita dpt musibah. Yg penting kita tetap menjaga amanah mrk dgn benar. Bunda bisa kok jd pendengar yg baik, walau bunda yakin bukan org spt bunda yg ingin dijadikan tmp berbagi. Ayo..buka diri dan buka hati. Agar org dpt mengenal siapa nanda. Yg pasti, tetaplah shalat. Krn dgn shalat kita dapat bersabar.,”

Yah, apa yang dikatakan Bunda kala itu memang cukup melegakan untukku. Ada banyak semangat lainnya yang pantas ditularkan. Bahkan, Imam Rahmanto yang sekarang adalah hasil tempaan motivasi yang selama ini diajarkan oleh Bunda. Bagaimana menjadi orang yang tak pernah menyerah. Bagaimana menjadi orang yang selalu percaya. Bagaimana menjadi orang yang selalu konsisten. Bagaimana cara belajar mengelola hati.

“Sebenarnya kalau Bunda masih muda dan diberi kesempatan, sebenarnya ada banyak impian dan ide-ide kreatif yang ada di kepala Bunda. Hanya saja, yang tersisa sekarang, penyesalan-penyesalan karena tidak melakukannya dari sekarang,”

Saya percaya dengan banyak impian-impiannya Bunda. Bunda pernah bercerita tentang masa-masa mudanya yang tomboy. Menjalani kuliah dengan aktivitas organisasi yang nyaris sama denganku. Jurnalis muda.  Meliput kesana-kemari. Bedanya, dulu teknologi masih belum secanggih zaman sekarang.

Akan tetapi, impian Bunda menjadi penulis terhenti. Mungkin Bunda pun perlahan harus merelakannya. Belajar untuk ikhlas.

“Orang tua menginginkan Bunda jadi guru,”

Bagaimanapun kisah kelam Bunda menjadi mahasiswa, orang tua Bunda selalu memberikan kasih sayang yang besar.  Mereka peduli. Mereka percaya. Dan mereka tentunya banyak mengajarkan tentang hidup pada Bunda. Darimana saya bisa tahu? Lah, Bunda sendiri yang menceritakannya. Biasa….kalau kita sudah ngobrol, apalagi di dapur rumah Bunda, segalanya mengalir begitu saja.

Apa Bunda masih ingat ketika pertama kalinya saya nembak seorang perempuan di kampus? Dan pertama kalinya juga saya merasakan sakit hati. Ternyata benar-benar sakit ya? Malam itu juga, saya kemudian menjadikan Bunda sebagai ladang curhat. Akh, memalukan sebenarnya. Anak didikmu yang selama ini tak pernah mampu mengungkapkan perasaannya, tak pernah bercerita tentang perempuan, tetiba berubah melankolis malam itu. Lewat telepon, saya mengumbar semuanya.

Di seberang sana, Bunda tertawa meledek. Sedikit mengolok-olok tentang perasaan saya. Sembari tetap menguatkan dengan kata-kata bijak. Di sisi telepon lain, saya hanya bisa manyun dan membenarkan semua perkataan Bunda.

“Bunda yakin, selalu ada banyak tempat untuk belajar. Kamu belajar sakit hati, ya dari sini. Katanya, Tuhan selalu mempertemukan kita dengan orang-orang yang salah terlebih dahulu sebelum mempertemukan dengan orang-orang yang tepat,”

Saya tahu, Bunda di seberang sana selalu tersenyum tulus untuk murid-muridnya.

Nah, sekarang saya belajar dari tiap kesalahan, Bunda. Sekecil apapun itu, saya juga ingin menjadi seperti Bunda. Orang yang bisa menularkan semangat lewat ucapan, dukungan, atau bahkan hanya melalui tatapannya. Orang yang selalu menyibukkan diri dengan hal-hal berguna demi kepentingan orang lain. Orang yang tak pernah menghardik atau marah pada hal-hal sepele. Orang yang senang bercanda. Sadar atau tidak, semua yang ada pada Bunda sedikit demi sedikit menjadi contoh. Bahkan kesenangan saya pada dunia jurnalistik sedikit merefleksikan kehidupan masa muda Bunda dahulu, sedikit dari impian Bunda yang tertunda.

Sungguh, ada banyak hal yang selama ini telah saya pelajari dari Bunda. Kebijakan-kebijakan yang seharusnya banyak saya gali dari keluarga, malah tersalurkan melalui Bunda. Mungkin, yang namanya kebetulan di dunia ini memang benar-benar tak ada. Tuhan memang menghadirkan Bunda sebagai tempat saya mendapatkan sedikit kasih sayang dan kehangatan yang tak banyak terlupakan.

Bunda, sepertinya saya harus mengakhiri surat yang kesekian kalinya ini. Ini sudah surat yang ke berapa ya, Bunda? Lain waktu, saya akan berkunjung lagi ke rumah Bunda. Bercerita banyak hal. Dan,…tentu saja, tentang hati… Hahaha…dasar anak muda… !

Ps: Lain waktu, saya juga akan sangat senang hati menerima surat (elektronik) dari Bunda. :)


Dari anak didikmu tersayang,

--Imam Rahmanto--


You Might Also Like

0 comments