Teru-teru Bozu dan Cappuccino
Januari 05, 2013Baca Juga
Dimana dirimu sekarang? Apa kau tak merindukanku? Aku merindukanmu. Seperti kotaku yang sekarang merindukan hangatnya mentari. Aku menunggumu, seperti lamanya hujan yang tak henti mengguyur kotaku. Aku ingin melihatmu, seperti rintik-rintik hujan yang selalu hadir di pelupuk mataku. Hujan di luar selalu mengingatkanku akan kenangan bersamamu dahulu. Kenangan itu membanjiri setiap memori otakku di kala berjalan di tengah-tengah hujan. Aku merindukanmu.
Aku memejamkan mataku. Mencoba merasakan percikan-percikan hujan yang mengenai wajahku. Aku membiarkannya. Pias. Hanya inilah satu-satunya caraku mengingat dirimu. Sebuah boneka putih tanpa lengan dan kaki dengan wajah tersenyum menggantung di bingkai jendela. Teru-teru bozu.
"Apa kau menyukainya?" katamu sambil memamerkan gigi-gigi putihmu. Sebuah boneka mungil sedang bergerak-gerak menggantung di atas tanganmu.
"Ini boneka hujan. Namanya Teru-teru bozu. Boneka tradisional dari Jepang yang bisa menangkal hujan," ujarmu sambil tetap memainkannya.
Aku masih menatapmu tak percaya. Tak habis pikir, boneka sekecil itu bisa menangkal hujan dari langit. Apakah langit terlalu takut dengan boneka yang tersenyum riang di bawah guyurannya?
"Trus, kamu percaya?" tanyaku berusaha meyakinkanmu.
Kau mengerutkan keningmu. Berpikir sejenak sambil memandangi lekat-lekat boneka dari kertas tisu itu. Aku ingin menertawai tingkah lucumu itu. Tapi aku suka melihatmu begitu. Berpikir sambil mengerutkan dahi. Kau nampak lebih dewasa dan mempesona. Satu dari sejuta hal yang bisa membuatku jatuh hati padamu. Mataku tak lepas memandangimu.
"Mm...aku sebenarnya tak percaya...."
"Tuh, kan! Lalu, buat apa juga kamu buat mainan anak kecil seperti itu? Ah, Tora, kalau teman-teman yang lain sampai tahu kamu suka main boneka begitu, mereka bisa menertawaimu," ujarku.
"Tapi, karena namanya mirip dengan namaku, Tora, Tere bozu, aku maksa percaya saja deh," lanjutmu lagi.
Kau tak mempedulikan ucapanku. Sifat keras kepalamu memang satu hal lagi yang membuatku terkesan padamu.
"Maaf, bukan aku ingin mempercayainya... Ini bukan tentang hujan, atau boneka ini sebagai penangkalnya," Kau melepaskan pandanganmu keluar jendela. Menggenggam erat-erat tali yang mengekang leher boneka itu. Boneka itu tetap tersenyum begitu polosnya.
Aku membiarkanmu untuk bercerita. Tanpa bertanya pun aku tahu kau akan mencurahkan semuanya.
"Jika hujan turun, sejak kecil, ibu selalu membuatkan boneka seperti ini untukku. Katanya, penangkal hujan. Biar besok hujan tak mengganggu waktu bermainku.
Semasa kecil, ibuku membuat bermacam-macam boneka mungilnya sendiri. Jikalau hujan tiba, di kampung halamannya dulu, orang-orang senang menggantung boneka-boneka teru-teru bozu di jendela maupun di cabang-cabang pohon. Anak-anak kecil senang sekali membuatnya. Mereka percaya bahwa boneka putih itu bisa menangkal datangnya hujan. Atau bahkan menghentikan hujan,"
Itulah pertama kalinya aku tahu siapa ibumu. Pantas saja, nama dan parasmu agak condong ke bangsa Jepang. Bangsa yang dulu pernah menyengsarakan bangsaku.
"Keluargaku adalah keluarga yang, mungkin bisa dikatakan keluarga harmonis... Tapi...entahlah, apakah itu hanya dalam mata polosku semasa kecil. Kebahagiaan itu kan relatif," Kau tertawa. Tawa yang penuh pesakitan.
"Kebahagiaan itu sirna. Ibu pergi, entah kemana dan entah karena apa. Ayah sendiri tak pernah mau menceritakannya padaku. Entah kenapa.
Hidup kami kemudian berubah semenjak kepergian ibu. Ayah tak lagi senang minum Cappuccino. Apa kau tahu Cappuccino?"
Aku mengangguk. Minuman itu juga kan yang suka kau minum?
"Ayah hanya ingin minum Cappuccino olahan ibu. Ayah merindukan ibu. Sangat merindukannya. Aku bisa tahu dari Cappuccino yang selalu kubuatkan untuk ayah. Meminumnya pun ayah tak pernah. Ia nyaris saja menangis jika melihatku menghidangkan minuman itu untuknya,"
Kau menghentikan ceritamu. Kau memutar-mutar teru-teru bozu di tanganmu. Tatapanmu pada boneka itu begitu kosong. Aku menggenggam erat tanganmu. Berusaha menguatkan.
"Kau tahu kenapa aku suka membuat boneka ini jika hujan deras tiba? Darinya, aku menunggu ibuku kembali. Sesimbol harapan yang selalu menggantung senyuman di batas hujan, meski diguyur hujan. Aku tak menginginkan boneka ini menghentikan hujan. Aku hanya ingin ibu tahu dimana anaknya sekarang, dengan menyaksikan teru-teru bozunya,"
Aku terhenyak. Kau ternyata memendam kerinduan yang mendalam. Dan aku tahu, cappuccino di depan kita ini ternyata caramu untuk selalu mengingatkan ibumu akan keluarganya. Keluarga yang dulu sering ia buatkan minuman hangat di tengah-tengah hujan. Aku pun bisa membayangkan kehangatan di tengah-tengah keluargamu. Namun sayangnya, kau tak seberuntung diriku.
Di tengah hujan ini, aku ingin meneriakkan namamu. Satu nama yang selalu kurindukan. Lihatlah, ada banyak teru-teru bozu yang menemani boneka hujan pemberianmu. Hanya ini sisa-sisa jejakmu yang masih kusimpan hingga kini.
"Apa? Kenapa begitu tiba-tiba?" Mataku terasa panas. Sedikit lagi air mata menetes membanjiri wajahku.
"Maafkan aku, Rani. Ayah memutuskan untuk mencari ibu ke Jepang. Ia benar-benar tak kuat lagi harus berpisah dengan ibu. Dan...aku juga ingin mencari ibu..."
"Tapi....tapi....bagaimana dengan kuliahmu?" Hanya satu dari sejuta alasa yang ingin kubuat-buat untuk tetap menahanmu disini. Bersamaku.
"Bagaimana dengan teman-temanmu?" Alasan kedua dari sejuta alasan.
"Bagaimana juga dengan....," Sambil menahannya dan lirih berujar, "Aku,"
Mataku terasa panas. Tak mampu lagi menahan sejuta tekanan air mata yang akan mengalir deras bersama hujan. Terisak di tengah-tengah pelukanmu. Hangat. Tapi, aku benci karena kau akan pergi setelah menenangkanku. Tanpa berkata apa-apa lagi, kau mengusap pipiku. Mengecup keningkuku. Dan pergi tanpa mengucapkan "Selamat tinggal." Namamu ingin kuteriakkan, namun hatiku terlalu sakit untuk bisa sekadar mengucapkan "Hati-hati" untukmu.
Kini, aku disini menantimu. Menanti berhentinya hujan, dan berharap kau datang menemuiku. Seperti ketika kau juga dulu mengharapkan ibumu datang padamu. Aku ingin kau melihat ada banyak boneka lainnya yang kubuatkan untukmu. Lihatlah, bergantung bebas di jendela kamarku. Tersenyum satu persatu kepadaku. Sedikit mengingatkanku pada senyummu. Oh ya, aku juga mulai menyukai minuman yang sering kau minum bersamaku...
Teru-teru bozu, di bawah rintikan hujan, kau bisa kan mendatangkan Tora untukku?
Ia menyeruput habis Cappuccinonya. Di tengah-tengah salju lebat, ibunya tahu betul cara menghangatkan keluarganya. Pantas saja ayah tak pernah mau meninggalkan ibu. Pikirnya. Ia termenung sebentar. Kembali berkutat pada secarik kertas di tangannya. Tulisan yang baru dibacanya benar-benar ingin menariknya kembali ke negeri khatulistiwa itu. Ia juga merindukannya.
Kertas di tangannya lalu dilipatnya. Disimpannya rapat-rapat. Baru saja, kemarin ia menemukan secarik kertas dari kumpulan barang-barang yang dikirimkan keluarganya dari Indonesia. Ia menemukannya tersemat di balik buku-bukunya yang telah ia tinggalkan setahun lalu...
"Teru-teru bozu, jaga dia dari hujan dan sampaikan padanya aku masih ada untuknya..."
--Imam Rahmanto--
(ini di depan redaksi, :) |
"Apa kau menyukainya?" katamu sambil memamerkan gigi-gigi putihmu. Sebuah boneka mungil sedang bergerak-gerak menggantung di atas tanganmu.
"Ini boneka hujan. Namanya Teru-teru bozu. Boneka tradisional dari Jepang yang bisa menangkal hujan," ujarmu sambil tetap memainkannya.
Aku masih menatapmu tak percaya. Tak habis pikir, boneka sekecil itu bisa menangkal hujan dari langit. Apakah langit terlalu takut dengan boneka yang tersenyum riang di bawah guyurannya?
"Trus, kamu percaya?" tanyaku berusaha meyakinkanmu.
Kau mengerutkan keningmu. Berpikir sejenak sambil memandangi lekat-lekat boneka dari kertas tisu itu. Aku ingin menertawai tingkah lucumu itu. Tapi aku suka melihatmu begitu. Berpikir sambil mengerutkan dahi. Kau nampak lebih dewasa dan mempesona. Satu dari sejuta hal yang bisa membuatku jatuh hati padamu. Mataku tak lepas memandangimu.
"Mm...aku sebenarnya tak percaya...."
"Tuh, kan! Lalu, buat apa juga kamu buat mainan anak kecil seperti itu? Ah, Tora, kalau teman-teman yang lain sampai tahu kamu suka main boneka begitu, mereka bisa menertawaimu," ujarku.
"Tapi, karena namanya mirip dengan namaku, Tora, Tere bozu, aku maksa percaya saja deh," lanjutmu lagi.
Kau tak mempedulikan ucapanku. Sifat keras kepalamu memang satu hal lagi yang membuatku terkesan padamu.
"Maaf, bukan aku ingin mempercayainya... Ini bukan tentang hujan, atau boneka ini sebagai penangkalnya," Kau melepaskan pandanganmu keluar jendela. Menggenggam erat-erat tali yang mengekang leher boneka itu. Boneka itu tetap tersenyum begitu polosnya.
Aku membiarkanmu untuk bercerita. Tanpa bertanya pun aku tahu kau akan mencurahkan semuanya.
"Jika hujan turun, sejak kecil, ibu selalu membuatkan boneka seperti ini untukku. Katanya, penangkal hujan. Biar besok hujan tak mengganggu waktu bermainku.
Semasa kecil, ibuku membuat bermacam-macam boneka mungilnya sendiri. Jikalau hujan tiba, di kampung halamannya dulu, orang-orang senang menggantung boneka-boneka teru-teru bozu di jendela maupun di cabang-cabang pohon. Anak-anak kecil senang sekali membuatnya. Mereka percaya bahwa boneka putih itu bisa menangkal datangnya hujan. Atau bahkan menghentikan hujan,"
Itulah pertama kalinya aku tahu siapa ibumu. Pantas saja, nama dan parasmu agak condong ke bangsa Jepang. Bangsa yang dulu pernah menyengsarakan bangsaku.
"Keluargaku adalah keluarga yang, mungkin bisa dikatakan keluarga harmonis... Tapi...entahlah, apakah itu hanya dalam mata polosku semasa kecil. Kebahagiaan itu kan relatif," Kau tertawa. Tawa yang penuh pesakitan.
"Kebahagiaan itu sirna. Ibu pergi, entah kemana dan entah karena apa. Ayah sendiri tak pernah mau menceritakannya padaku. Entah kenapa.
Hidup kami kemudian berubah semenjak kepergian ibu. Ayah tak lagi senang minum Cappuccino. Apa kau tahu Cappuccino?"
Aku mengangguk. Minuman itu juga kan yang suka kau minum?
"Ayah hanya ingin minum Cappuccino olahan ibu. Ayah merindukan ibu. Sangat merindukannya. Aku bisa tahu dari Cappuccino yang selalu kubuatkan untuk ayah. Meminumnya pun ayah tak pernah. Ia nyaris saja menangis jika melihatku menghidangkan minuman itu untuknya,"
Kau menghentikan ceritamu. Kau memutar-mutar teru-teru bozu di tanganmu. Tatapanmu pada boneka itu begitu kosong. Aku menggenggam erat tanganmu. Berusaha menguatkan.
"Kau tahu kenapa aku suka membuat boneka ini jika hujan deras tiba? Darinya, aku menunggu ibuku kembali. Sesimbol harapan yang selalu menggantung senyuman di batas hujan, meski diguyur hujan. Aku tak menginginkan boneka ini menghentikan hujan. Aku hanya ingin ibu tahu dimana anaknya sekarang, dengan menyaksikan teru-teru bozunya,"
Aku terhenyak. Kau ternyata memendam kerinduan yang mendalam. Dan aku tahu, cappuccino di depan kita ini ternyata caramu untuk selalu mengingatkan ibumu akan keluarganya. Keluarga yang dulu sering ia buatkan minuman hangat di tengah-tengah hujan. Aku pun bisa membayangkan kehangatan di tengah-tengah keluargamu. Namun sayangnya, kau tak seberuntung diriku.
Di tengah hujan ini, aku ingin meneriakkan namamu. Satu nama yang selalu kurindukan. Lihatlah, ada banyak teru-teru bozu yang menemani boneka hujan pemberianmu. Hanya ini sisa-sisa jejakmu yang masih kusimpan hingga kini.
"Apa? Kenapa begitu tiba-tiba?" Mataku terasa panas. Sedikit lagi air mata menetes membanjiri wajahku.
"Maafkan aku, Rani. Ayah memutuskan untuk mencari ibu ke Jepang. Ia benar-benar tak kuat lagi harus berpisah dengan ibu. Dan...aku juga ingin mencari ibu..."
"Tapi....tapi....bagaimana dengan kuliahmu?" Hanya satu dari sejuta alasa yang ingin kubuat-buat untuk tetap menahanmu disini. Bersamaku.
"Bagaimana dengan teman-temanmu?" Alasan kedua dari sejuta alasan.
"Bagaimana juga dengan....," Sambil menahannya dan lirih berujar, "Aku,"
Mataku terasa panas. Tak mampu lagi menahan sejuta tekanan air mata yang akan mengalir deras bersama hujan. Terisak di tengah-tengah pelukanmu. Hangat. Tapi, aku benci karena kau akan pergi setelah menenangkanku. Tanpa berkata apa-apa lagi, kau mengusap pipiku. Mengecup keningkuku. Dan pergi tanpa mengucapkan "Selamat tinggal." Namamu ingin kuteriakkan, namun hatiku terlalu sakit untuk bisa sekadar mengucapkan "Hati-hati" untukmu.
Kini, aku disini menantimu. Menanti berhentinya hujan, dan berharap kau datang menemuiku. Seperti ketika kau juga dulu mengharapkan ibumu datang padamu. Aku ingin kau melihat ada banyak boneka lainnya yang kubuatkan untukmu. Lihatlah, bergantung bebas di jendela kamarku. Tersenyum satu persatu kepadaku. Sedikit mengingatkanku pada senyummu. Oh ya, aku juga mulai menyukai minuman yang sering kau minum bersamaku...
Teru-teru bozu, di bawah rintikan hujan, kau bisa kan mendatangkan Tora untukku?
****
Ia menyeruput habis Cappuccinonya. Di tengah-tengah salju lebat, ibunya tahu betul cara menghangatkan keluarganya. Pantas saja ayah tak pernah mau meninggalkan ibu. Pikirnya. Ia termenung sebentar. Kembali berkutat pada secarik kertas di tangannya. Tulisan yang baru dibacanya benar-benar ingin menariknya kembali ke negeri khatulistiwa itu. Ia juga merindukannya.
Kertas di tangannya lalu dilipatnya. Disimpannya rapat-rapat. Baru saja, kemarin ia menemukan secarik kertas dari kumpulan barang-barang yang dikirimkan keluarganya dari Indonesia. Ia menemukannya tersemat di balik buku-bukunya yang telah ia tinggalkan setahun lalu...
"Teru-teru bozu, jaga dia dari hujan dan sampaikan padanya aku masih ada untuknya..."
Makassar, 5 Januari 2013
--Imam Rahmanto--
3 comments
Waw, aku suka cerita ini. sisi lain teru teru bozu, kalau mau mengundang hujan, posisinya harus dibalik. jadi, kepala di bagian bawah...
BalasHapus@Dian Kurniati: tengkyuuu....
BalasHapusKalau Dian yang dibalik, kira2 gimana ya??
#mikir
Kenapa pula, harus mikirin kalau aku dibalik. Pliss... Dikira tere tere bozu? -__-
BalasHapus