DC_02

Desember 29, 2012

Baca Juga

Pagi! Potongan waktu 24 jam selalu dimulai saat ini. Di waktu ketika ayam-ayam di luar sana berkokok dengan lantangnya. Di waktu ketika sebagian besar manusia masih tertidur dengan memeluk bantalnya. Ah ya, aku sendiri tak pernah tidur dengan bantal guling, apalagi jika harus memeluk bantal guling. Saat-saat ketika matahari masih mencari celah-celah untuk meloloskan sinarnya. Sedikit memberikan kehangatan pagi bagi mereka yang terjaga di awal waktu. Dan waktu ketika setiap manusia selalu berharap untuk kehidupannya yang lebih baik dari hari kemarin.

Pagi selalu saja sama. Sama seperti hari-hari sebelumnya. Udaranya selalu nampak sama. Sejuk dan menenangkan. Apa kalian pernah sekadar menyentuh atau merasakan udara itu? Hanya saja, udara-udara di kota besar seperti ini sudah banyak tercemar oleh asap-asap knalpot kendaraan. Laju pertumbuhan kendaraan bermotor nampaknya tidak berimbang dengan laju kelahiran penduduknya. Aku hanya beruntung ketika akhirnya bisa menemukan tempat tinggal cukup jauh dari keramaian jalan-jalan kota. Sedikit bersahabat dengan waktu pagi seperti sekarang. Sekadar memandangi lorong-lorong kecil yang bakal terendam banjir ketika musim penghujan tiba.

Sesekali, aku melihat mahasiswa-mahasiswa penghuni rumah kost lainnya melintas di depan pondokanku.

“Rama…” Salam ikut duduk di sampingku. Ia kemudian menyodorkan segelas teh hangat di depanku.

“Apa kau hari ini tidak ada kulliah?” lanjutnya lagi.

Aku menggeleng. Entah bagaimana caranya Salam memaknai hari-hari libur seperti ini. Kuliah di perguruan tinggi swasta nampaknya telah mengubah pola hari libur dalam jadwalnya. Aku hanya berharap, semoga pola pikirnya pun tidak ikut berubah.

Aku meraih segelas teh yang disodorkan Salam. Menyeruputnya perlahan. Masih panas benar. Asapnya yang masih mengepul semakin nampak jelas di tengah-tengah suhu dingin pagi ini.

“Kau sendiri? Aku kira hari ini bukan hari liburmu, kan?”

“Memang. Tapi hari ini jadwal kuliahku diundur beberapa jam. Seperti biasa, dosennya ada kepentingan dan menelantarkan kami pagi ini. Kuliah jam sepuluh malah kuliah sore hari,” Salam menekankan intonasinya pada kata “kepentingan”. Wajar, hampir seperdua dosen di kampusnya seringkali melakukan hal serupa. Ia hanya tak habis pikir, mengapa mahasiswa-mahasiswa seperti dirinya yang selalu menjadi korban.
Seperti biasa, aku tentunya hanya bisa menjawab dengan jawaban yang nyaris sama pula.

“Ya, dosen-dosen kalian kan sebagian besar dosen-dosen terbang. Malah, setengahnya mungkin berasal dari kampus kami,” Aku melirik ke samping. Sedikit penasaran dengan reaksinya. Ia hanya pasrah dengan pernyataanku.

Pada kenyataannya, ia tidak mungkin menampik kebenarannya. Sudah sekian lama ia “terdampar” di kampus swasta itu. Meski pembayarannya tidak kalah murah dengan kuliah di perguruan tinggi negeri manapun, tapi bukan keinginannya pula untuk bisa melanjutkan studi disana.

“Setidaknya aku bisa kuliah,” Aku mendengar ucapannya itu lebih dari setahun yang lalu. Agak pasrah. Akan tetapi, keinginannya untuk kuliah itulah yang kemudian membuatnya rela bertahan cukup lama. Cukup lama untuk bisa menumbuhkan rasa kepemilikannya pada kampusnya itu.

Aku mengenalnya sejak lama. Jauh ketika kami hadir di sekolah yang sama, kelas yang berbeda. Akrab dengannya di waktu yang lalu. Menghabiskan waktu sebulan lamanya di sebuah asrama yang menyediakan beasiswa untuk kami, anak-anak berprestasi namun kurang mampu. Saat-saat ketika kami menanti waktu kelulusan di perguruan tinggi yang sama. Dan kenyataannya, kami masing-masing kuliah di kampus yang bukan menjadi destinasi awal kami.

Berulang-ulang aku menyeruput segelas teh yang ada di tanganku. Panasnya sudah berkurang sejak tadi. Aku melihat Salam sejak beberapa menit yang lalu mulai sibuk memenceti tombol hapenya.

Aku melihat seorang mahasiswi melintas di depan lorong kami. Tangannya menenteng tas plastik besar. Mungkin bahan-bahan untuk membuat sarapan pagi, pikirku. Aku membiarkannya. Tidak menyapa atau semacamnya. Toh, tidak semua orang di kompleks lorong ini aku mengenalinya. Terlalu rumit bagiku untuk mendikte satu persatu pendatang-pendatang itu di dalam otakku.

Sebuah pesan singkat kemudian menyela aktivitas “nge-teh”ku pagi ini.

“jangan lupa, hari ini rapat redaksi. Dimohon untuk tidak telat.” Ah ya, rutiitasku kemudian selalu berlaku untuk hari libur ini…


bersambung...

--Imam Rahmanto--

You Might Also Like

0 comments