DC_01
Desember 28, 2012Baca Juga
Aku berpegangan agak kuat pada bahu kursi milikku. Aku melihat di sebelahku, Irfan bersikap agak tenang dari biasanya. Hanya pandangannya yang ia lemparkan keluar jendela. Sekilas dari sana, aku bisa ikut menyaksikan bangunan-bangunan lainnya yang baru saja kami lewati. Mengapa bukan aku yang berada di kursinya. Pikirku menggerutu dalam hati. Seandainya aku berada di posisinya, mungkin lukaku bisa sedikit terobati. Hanya saja, segala tipu daya-bujuk rayu-akal bulusku padanya tadi pagi tak kunjung meluluhkannya.
“Tidak mau,” ujarnya kekeuh sambil menunjukkan wajah kemenangannya. Aku terlalu sial mendapatkan nomor kursi tengah yang diapit oleh dua kursi lainnya. Irfan, di sebelah kananku, tepat di sisi jendela. Di sebelah kiriku, lelaki yang sama sekali aku tak mengenalnya. Sementara teman-teman yang lain memperoleh kursi yang tidak terpisah jauh satu sama lainnya.
Aku menghela napas sebentar. Aku berusaha mengatur napasku yang turun naik sejak tadi. Bukannya aku punya penyakit asma, namun perasaanku yang bercampur aduk meluap-luap dengan kegembiraan seperti ini sedikit memporsir degup jantungku. Mendapatkan kesempatan berpergian dengan mereka pun sudah cukup membuatku bersyukur. Aku baru mengenal mereka lebih dari tiga bulan yang lalu, dan akhirnya diberi kesempatan untuk mencicipi perjalanan sejauh ini. Perjalanan yang akan menjadi kisah pertamaku di ibukota tanah air nanti.
“Psst….Rama,” Irfan menggoyang bahuku.
“Kenakan sabuk pengamanmu,” lanjutnya lagi.
Aku baru ingat. Sejak tadi aku belum mengenakan sabuk pengaman yang terurai di kedua sisi kursiku. Aku memandang sekilas pada sabuk pengaman yang dikenakan Irfan. Berganti pada teman-temanku yang lainnya. Tak luput, aku juga mengamati orang di sebelahku. Ooo… begitu ya caranya. Aku berujar dalam hati. Karena ini adalah pengalaman pertama kalinya, aku masih belum begitu paham cara memasang sabuk pengaman ini.
Aku kemudian melingkarkan sabuk itu di kedua pahaku. Erat. Aku memastikannya cukup erat untuk menahanku dari sedikit goncangan, seperti yang dilakukan Irfan di sebelahku. Sementara Ajiz, di baris kursi lainnya, masih saja bermain dengan kamera DSLR Nikon miliknya. Ia tahu kapan waktunya berangkat. Aku mencoba tetap tenang di tempatku.
Dari kursiku, aku bisa merasakannya mulai bergetar. Kecepatannya bertambah. Semakin cepat. Beradu dengan gemuruh turbin di kedua sayapnya. Bangunan-bangunan di luar jendela tampak semakin menjauh ke belakang. Hanya saja, pandanganku sedikit terhalang oleh kepala Irfan yang berusaha memonopoli jendela. Kepalanya yang sebesar lubang jendela tak banyak memberiku ruang untuk melihat, apalagi dalam jarak satu kursi darinya.
“Hei, kasih kesempatan juga dong buat lihat pemandangannya,” gerutuku sendiri dalam hati. Ah, aku cukup gembira saat ini untuk bisa sekadar memakinya. Aku hanya menjitak kepalanya yang dibalas dengan gerutuan “aduh” darinya.
Aku bersiap. Sebentar lagi, aku akan pergi nun jauh disana. Jantungku berdegup tak beraturan. Pertanda bahagia tak menentu. Meskipun, seperti kataku, aku ingin menjauh untuk sementara waktu menenangkan pikiran yang masih terbayang-bayang kejadian semalam. Aduhai, urusan perasaan ini sungguh merepotkan dan menyesakkan hati. Bahagia sebentar saja, selalu meninggalkan jejak kekecewaan itu. Tentu, untuk sesuatu yang pertama kalinya, selalu menjadi hal-hal yang takkan terlupakan pada akhirnya.
* * *
bersambung...
--Imam Rahmanto--
0 comments