Alpukat dan Musimnya

Oktober 10, 2012

Baca Juga

Sumber: Google Search

Lama rasanya ketika saya begitu kesulitan mencari stok Jus Alpukat di beberapa kafe dan warung-warung makan. Kemanapun saya mencari, jawabannya selalu sama, "Tidak ada." saya sendiri heran, ada apa dengan si Alpukat ini. Mengapa semua kafe serempak mengatakan "tidak ada". Nah, sekarang semuanya bilang "ada".

Jujur, saya begitu kangen dengan minuman "buah sederhana" itu. Sederhana, karena selalu saja mengingatkan saya akan kesederhanaan hidup dulu di kampung. Ketika masih polos dan belum merasakan udara-udara modernisasi.

Dulu, ketika masih duduk di Sekolah Dasar, saya sering memanjat pohon Alpukat di samping rumah teman saya, Yance. Kebetulan rumahnya tepat berada di belakang sekolah saya. Maklum, ibunya adalah salah satu guru kami. Jika tiba masanya pohon itu berbuah, saya, dia dan beberapa orang teman saya beramai-ramai memetik buahnya.

Tanpa pikir panjang, saya biasanya memetik buah dengan memanjat pohonnya. Teman-teman yang lainnya di bawah pohon cukup menyoraki saja seraya mengarahkan buah-buah mana yang layak dipetik. "Di atasmu! Itu yang di ujung!" Sorakan yang selalu saja mengundang kegaduhan.

Buah-buah alpukat yang kami petik tidak semuanya dalam keadaan matang. Terkadang kami memetik buah alpukat yang kelihatannya sudah cukup besar. Semuanya dibaur jadi satu untuk kemudian dibagi-bagikan kepada teman-teman lainnya yang ikut menyoraki. Tentu saja, tidak lupa kami menyisakan lebih banyak untuk disimpan oleh Yance dan keluarganya. Lagipula pemilik pohon itu kan keluarganya. Hehe...

Saya biasanya akan memilih buah alpukat yang agak besar dibandingkan yang lainnya. Saya tidak peduli jika buahnya belum matang. Saya dan teman-teman lainnya punya metode tersendiri untuk mematangkannya. Kami biasa mematangkannya dengan cara menyimpannya selama beberapa hari di tempat-tempat gelap (lemari, laci, plastik, dsb). Jika permukaan kulitnya sudah berubah kecoklatan dan teksturnya menjadi agak lembek, itu pertanda buahnya sudah siap diolah.

Diolah menjadi minuman pun tidak seperti dengan jus-jus yang saya atau kalian kenal sekarang, yang dasar olahannya diblender. Saya senang mengolahnya sendiri. Mengeruk isinya dan dikumpulkan dalam gelas. Lalu saya akan mencampurkannya dengan beberapa sendok gula pasir sebelum saya menyeduhnya dengan air panas secukupnya. Jadilah jus alpukat buatan saya sendiri.

Kini, jika sempat, saya senang menikmati jus alpukat di siang hari. Cappuccino to night... Bukan karena harganya yang mahal atau olahannya yang berbeda. Melainkan karena menikmatinya selalu saja mengingatkan saya akan masa "panjat-memanjat" itu dan sorakan-sorakan di bawahnya.

Itu masa berbagi, masa berbahagia itu...


--Imam Rahmanto--

You Might Also Like

0 comments