Sepanjang Jalan Jeneponto-Bantaeng
September 29, 2012Baca Juga
Saya suka melakukan perjalanan. Apalagi ke tempat-tempat baru. Selama ada biaya sih… :P. Nah, kesempatan itu datang di hari Sabtu kemarin, meskipun cuma berlangsung sehari. Ok, sedikit cerita refresh dari saya.
Sebuah tugas dari kampus sekaligus dari lembaga jurnalistik kampus (tempat saya bergelut sekarang) diamanahkan kepada saya. Dan lagi, sebenarnya bukan hanya saya saja, melainkan beberapa teman yang lain juga diserahi tugas serupa namun dengan daerah yang berbeda-beda.
Beda Kota, Beda Ciri Khas
Bebekal pengalaman yang masih minim, saya melakukan perjalanan dari Makassar sore itu. Saya mesti mengajak salah seorang teman saya yang merupakan orang asli di daerah tersebut sebagai expedition guide. Jika tidak, nyaris saja saya menjadi “si buta dari Gowa-Makassar".
Selalu saja ada hal-hal yang menyenangkan ketika saya menikmati sesuatu yang baru. Pengalaman itu hal yang berharga, kan?
Melintasi Kabupaten Takalar, saya banyak menemukan warung-warung singgah di pinggir jalan yang menjajakan jagung rebus. Memilih salah satunya adalah hal yang cukup sulit. Terkadang, saya ingin mampir di warung A, namun berpikir, “Di depan mungkin ada yang lebih bagus.” Akan tetapi, jika terlalu jauh melintas, saya ragu, “Jangan-jangan di depan sana sudah tidak ada lagi yang berjualan.”
Hahaha….persoalan seperti itu selalu terjadi “dilema” ketika menemukan banyak warung singgah di tengah perjalanan. Dan tiap warung-warung singgah di wilayah Sulawesi Selatan selalu menjajakan makanan-makanan yang berbeda, tergantung dari ciri khas daerah tersebut. Kemudian saya berpikir, mungkin saja salah satu komoditi andalan Takalar adalah jagung dan semangka. -_-
Berbeda halnya dengan Jeneponto. Sebenarnya saya sudah pernah sekali menginjakkan kaki di bumi “Turatea” (sebutan kota Jeneponto yang berarti "orang atas", red) ini ketika menjalankan agenda triwulan dari lembaga jurnalistik kampus saya. Akan tetapi, kala itu saya melakukan perjalanan bersama teman-teman pewarta kampus lainnya dengan menumpang bus kampus. Saya masih ingat, tempat yang menjadi tujuan kami adalah Birtaria Kassi, salah satu objek wisata pantai di Jeneponto.
Ketika melakukan perjalanan kemarin, saya baru sadar, ternyata Jeneponto memiliki jalan yang sangat panjang. Birtaria Kassi itu sendiri baru seperempat perjalanannya. Saya pun akhirnya merasakan “bagaimana jauh dan panjangnya” perjalanan disana. Padahal, teman saya sebelumnya sudah mewanti-wanti, “Jalanan disini (Jeneponto, red) masih lebih panjang dibandingkan perjalanan kita di Gowa-Takalar.” Alhasil, saya hanya bisa pasrah dengan pengharapan saya atas jalanan Jeneponto yang tak ada habis-habisnya.
Garam tidak hanya dihasilkan di Madura saja. Di Sulawesi Selatan pun ternyata terdapat daerah yang menghasilkan garam. Saya menyaksikannya ketika melintasi jalanan-jalanan sepanjang Jeneponto. Banyak lahan-lahan yang dimanfaatkan untuk mengendapkan air laut menjadi garam. Bahkan di warung-warung singgahnya, dijajakan pula garam-garam dalam berbagai ukuran berat yang sudah dibungkus rapi. Maklum, untuk persoalan garam, Jeneponto termasuk daerah yang berada di pesisir laut.
Saya juga mendapati makanan yang dinamakan “Lammang” di warung-warung singgahnya. “Lammang” merupakan makanan yang cukup unik, meskipun makanan serupa sudah pernah saya santap ketika mendaki gunung bersama teman-teman saya dahulu. Makanan dari ketan yang diisi pada batang bambu tersebut dimasak dengan cara dibakar langsung di atas api. Menurut keterangan dari teman saya, makanan seperti itu akan banyak ditemukan ketika musim Lebaran tiba, tidak hanya dijajakan di pinggir jalan seperti ini.
Oh ya, sebenarnya Coto Kuda-lah yang merupakan makanan khas di Jeneponto. Biasanya, berbicara Jeneponto, selalu dikaitkan dengan Coto Kuda-nya. Meskipun saya tidak sempat merasakannya – karena kekenyangan hehe.. - , menurut teman saya, rasanya sangat berbeda dengan Coto Makassar. Apalagi bahan dasar olahannya adalah daging kuda. Dan lagi, jika ada salah seorang warga menghelat acara-acara pernikahan, maka sajian wajibnya adalah Coto Kuda. Wuihh..yang ini baru benar-benar khas.
Beruntung, jalanan “super panjang” di Jeneponto sudah mulai diadakan perbaikan. Tinggal sedikit yang masih berupa jalanan berkerikil dan berdebu.
Perjalanan yang diperkirakan selama 2,5 jam ternyata meleset. Berhubung saya masih awam mengenai jalanan tersebut, maka waktu tempuh saya adalah sekitar 3,5 jam. Dan saya baru tiba di Bantaeng sejam berikutnya, tepat ketika jam menunjukkan pukul 8.
Bantaeng? Waduh, saya tidak sampai jauh memasuki wilayahnya. Karena lokasi “pantau” saya hanya sampai di permulaannya, dan saya sudah harus menjalankan tugas saya. Namun, Bantaeng juga termasuk salah satu wilayah yang berada di pinggir laut dengan penataan kota cukup baik dan bebas dari sampah. “Disini rencananya akan dikembangkan menjadi perkotaan,” tutur teman saya. (*)
Dan memang, pengalaman baru itu sungguh menyenangkan.
Sebuah tugas dari kampus sekaligus dari lembaga jurnalistik kampus (tempat saya bergelut sekarang) diamanahkan kepada saya. Dan lagi, sebenarnya bukan hanya saya saja, melainkan beberapa teman yang lain juga diserahi tugas serupa namun dengan daerah yang berbeda-beda.
Beda Kota, Beda Ciri Khas
Bebekal pengalaman yang masih minim, saya melakukan perjalanan dari Makassar sore itu. Saya mesti mengajak salah seorang teman saya yang merupakan orang asli di daerah tersebut sebagai expedition guide. Jika tidak, nyaris saja saya menjadi “si buta dari Gowa-Makassar".
Selalu saja ada hal-hal yang menyenangkan ketika saya menikmati sesuatu yang baru. Pengalaman itu hal yang berharga, kan?
Melintasi Kabupaten Takalar, saya banyak menemukan warung-warung singgah di pinggir jalan yang menjajakan jagung rebus. Memilih salah satunya adalah hal yang cukup sulit. Terkadang, saya ingin mampir di warung A, namun berpikir, “Di depan mungkin ada yang lebih bagus.” Akan tetapi, jika terlalu jauh melintas, saya ragu, “Jangan-jangan di depan sana sudah tidak ada lagi yang berjualan.”
Hahaha….persoalan seperti itu selalu terjadi “dilema” ketika menemukan banyak warung singgah di tengah perjalanan. Dan tiap warung-warung singgah di wilayah Sulawesi Selatan selalu menjajakan makanan-makanan yang berbeda, tergantung dari ciri khas daerah tersebut. Kemudian saya berpikir, mungkin saja salah satu komoditi andalan Takalar adalah jagung dan semangka. -_-
Berbeda halnya dengan Jeneponto. Sebenarnya saya sudah pernah sekali menginjakkan kaki di bumi “Turatea” (sebutan kota Jeneponto yang berarti "orang atas", red) ini ketika menjalankan agenda triwulan dari lembaga jurnalistik kampus saya. Akan tetapi, kala itu saya melakukan perjalanan bersama teman-teman pewarta kampus lainnya dengan menumpang bus kampus. Saya masih ingat, tempat yang menjadi tujuan kami adalah Birtaria Kassi, salah satu objek wisata pantai di Jeneponto.
Ketika melakukan perjalanan kemarin, saya baru sadar, ternyata Jeneponto memiliki jalan yang sangat panjang. Birtaria Kassi itu sendiri baru seperempat perjalanannya. Saya pun akhirnya merasakan “bagaimana jauh dan panjangnya” perjalanan disana. Padahal, teman saya sebelumnya sudah mewanti-wanti, “Jalanan disini (Jeneponto, red) masih lebih panjang dibandingkan perjalanan kita di Gowa-Takalar.” Alhasil, saya hanya bisa pasrah dengan pengharapan saya atas jalanan Jeneponto yang tak ada habis-habisnya.
Ladang-ladang garam yang terhampar sepanjang jalan. (Sumber: id. wikipedia) |
Garam tidak hanya dihasilkan di Madura saja. Di Sulawesi Selatan pun ternyata terdapat daerah yang menghasilkan garam. Saya menyaksikannya ketika melintasi jalanan-jalanan sepanjang Jeneponto. Banyak lahan-lahan yang dimanfaatkan untuk mengendapkan air laut menjadi garam. Bahkan di warung-warung singgahnya, dijajakan pula garam-garam dalam berbagai ukuran berat yang sudah dibungkus rapi. Maklum, untuk persoalan garam, Jeneponto termasuk daerah yang berada di pesisir laut.
Saya juga mendapati makanan yang dinamakan “Lammang” di warung-warung singgahnya. “Lammang” merupakan makanan yang cukup unik, meskipun makanan serupa sudah pernah saya santap ketika mendaki gunung bersama teman-teman saya dahulu. Makanan dari ketan yang diisi pada batang bambu tersebut dimasak dengan cara dibakar langsung di atas api. Menurut keterangan dari teman saya, makanan seperti itu akan banyak ditemukan ketika musim Lebaran tiba, tidak hanya dijajakan di pinggir jalan seperti ini.
Sekilas, penampakan Coto Kuda. (Sumber: southcelebes.wordpress.com) |
Beruntung, jalanan “super panjang” di Jeneponto sudah mulai diadakan perbaikan. Tinggal sedikit yang masih berupa jalanan berkerikil dan berdebu.
Perjalanan yang diperkirakan selama 2,5 jam ternyata meleset. Berhubung saya masih awam mengenai jalanan tersebut, maka waktu tempuh saya adalah sekitar 3,5 jam. Dan saya baru tiba di Bantaeng sejam berikutnya, tepat ketika jam menunjukkan pukul 8.
Bantaeng? Waduh, saya tidak sampai jauh memasuki wilayahnya. Karena lokasi “pantau” saya hanya sampai di permulaannya, dan saya sudah harus menjalankan tugas saya. Namun, Bantaeng juga termasuk salah satu wilayah yang berada di pinggir laut dengan penataan kota cukup baik dan bebas dari sampah. “Disini rencananya akan dikembangkan menjadi perkotaan,” tutur teman saya. (*)
Dan memang, pengalaman baru itu sungguh menyenangkan.
--Imam Rahmanto--
*Ps: menyesal juga tidak menyempatkan buat motret bagian-bagiannya. Modal kamera hape sih...
0 comments