Kalau Tak Pintar, ya Berani!

Juli 02, 2013

Baca Juga

Dari namanya saja sudah "unggulan", benar-benar menantang. :) (ImamR)

“Kalau tidak bisa menjadi orang pandai, maka jadilah orang berani”

Saya kembali terngiang-ngiang kalimat itu pagi kemarin. Salah satu kalimat bijak yang menjadi pegangan saya. Bukan tanpa alasan jika nampaknya saya harus mengaplikasikannya lagi. Pasalnya, sekolah yang akan menjadi target pengajaran kami alias PPL adalah tergolong sekolah unggulan di Kabupaten Pangkep.

Prestasi-prestasi yang dicapai SMAN 2 Pangkajene tidak bisa lagi dihitung jari. Tatkala memasuki gedung SMAN 2 Pangkajene, di sepanjang dinding sebelah kiri pintu masuk terpajang piala-piala yang menjadi ikon prestasi sekolah tersebut, baik akademik maupun non-akademik. Satu lemari tak cukup, maka dua-tiga lemari pun dibutuhkan untuk mengabadikannya Di dinding yang bersebelahan dengan lemari-lemari piala tersebut, terpampang list atau daftar prestasi yang pernah dicapai siswa-siswa di sekolah tersebut. Panjangnya? Nyaris menyentuh lantai ruangan.

Tentu saja, hal itu menjadi “momok” tersendiri bagi kami mahasiswa yang akan menjalankan program pengajaran kami disana.

“Ini yang mau diajar, kita atau mereka ya?” tanya saya dalam hati.

Terlebih ketika salah seorang guru yang menjadi pamong mata pelajaran saya bercerita panjang lebar tentang sekolah ini. “Saya cuma mewanti-wanti saja, anak-anak disini tergolong siswa-siswa yang cerdas. Bahkan untuk nilai Matematika saja ada yang memperoleh nilai sempurna, 100!” ucap guru pamong saya yang juga merupakan almamater kampus saya.

Wajar ketika guru yang telah mengabdi lama di sekolah itu mengatakan demikian. Setiap mata pelajaran yang di-olimpiade-kan, punya masing-masing ekskul-nya. Iklim akademik di sekolah tersebut juga sudah terbangun begitu apiknya. Setiap kelas dinamai tidak berdasar tingkat unggulan atau ranking.

“Tidak ada yang namanya kelas unggulan disini. Oleh karena itu, kita namai kelasnya dengan nama-nama ilmuwan,” tuturnys lagi.

Lingkungan sekolahnya benar-benar mendamaikan. (ImamR)
Semisal kelas X, yang biasanya saya temukan dengan penomoran X1, X2, X3, dan seterusnya, maka di SMAN 2 Pangkajene, saya mendapati beberapa kelas dengan nama kelas X. Einstein, kelas X.BJ. Habibie, dan seterusnya. Olehnya itu, masing-masing kelas memiliki tingkat kepandaian yang merata. Soal fasilitas? Oh, tidak perlu diragukan lagi!

Pencanangan sekolah ini sebagai sekolah Adiwiyata oleh kementerian sejak dua tahun yang lalu (kabarnya) memberikan akses fasilitas sekolah yang memadai. Ditambah lagi dengan prestasi-prestasi yang telah dicapai sekolah ini dalam rentang 4 tahun.

Satu hal lagi yang membuat teman saya kalang kabut untuk mengajar. Kabarnya, siswa sekolah tersebut adalah siswa-siswa yang kritis. Tiada hari tanpa bertanya. Selain didukung oleh suasana lingkungan yang berbasis alam, sekolah tersebut juga dilengkapi dengan kotak saran. Setiap harinya kotak saran berisi kritik maupun protes siswa-siswanya yang merasa tidak puas dengan pengajaran guru-gurunya. Luar biasa!

Mendengar segala yang diceritakan oleh guru-guru sekolah tersebut, saya menjadi “terbakar” untuk bisa segera berinteraksi dengan siswa-siswanya. Saya berpikir akan menyenangkan menghadapi siswa-siswa yang “keren” seperti mereka itu.

Kalau tidak bisa menjadi orang pandai, jadilah orang berani!

Sejatinya, saya tidak begitu tahu banyak tentang hal-hal apa saja yang akan saya ajarkan disana. Bidang saya, Matematika, tentu saja harus dilakukan pendalaman ulang. Ada banyak hal yang telah terlewatkan oleh saya. Akan tetapi, saya tertarik untuk membangun komunikasi dengan anak-anak Adiwiyata ini. Bahkan, jikalau bisa, berbagi ilmu jurnalistik juga akan menjadi jembatan buat saya mengakrabkan diri. Hm…sejujurnya, nampaknya saya lebih mumpuni di bidang jurnalistik dibandingkan bidang Matematika. ------pelencengan jurusan.

“Bukan persoalan pandai atau tidaknya kita sebagai seorang guru. Saya pun sebenarnya merasa siswa-siswa disini lebih pandai dari saya. Ada soal-soal tertentu malah yang tidak bisa saya kerjakan dan bisa mereka selesaikan dengan cara-cara yang tidak biasa,”

“Yang terpenting sebagai seorang guru itu adalah pengelolaan kelas. Bagaimana kita mampu menciptakan hubungan emosional yang baik dengan siswa, bersahabat, dan tidak selalu merasa lebih pandai. Kita sebagai guru, mendidik. Tapi sebagai masyarakat, tentu harus bersahabat dengan mereka,” ujar guru pamong saya lagi. Belakangan, saya baru tahu, ternyata beberapa guru di sekolah tersebut merupakan almamater kampus saya yang juga pernah menghabiskan masa mahasiswanya sebagai seorang anggota Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM). Dalam hal ini, guru pamong saya pernah menjalani masa mahasiswanya sebagai anggota UKM Olahraga.

Yah, sepandai-pandainya tupai melompat, pada akhirnya nanti akan jatuh juga, kan? Saya berpikir, menjadi seorang guru pun tidak perlu dibangun oleh “yang terpandai”. Justru keberanianlah yang dibutuhkan untuk bisa mendidik siswa. Ingat ya, mendidik. M-e-n-d-i-d-i-k.

Berbeda halnya ketika guru sebatas “orang paling pandai” saja.  Mereka lebih cenderung mengajar ketimbang mendidik. Padahal, tugas pokok siswa belajar di sekolah adalah menjadi manusia yang berguna. Sepandai-pandainya seorang manusia adalah mereka yang bermanfaat bagi orang lain.

Untuk menjadi pintar atau pandai, zaman sekarang, lingkungan telah menyediakan fasilitas yang memadai. Referensi belajar tersebar dimana-mana. Perpustakaan kota. Internet. Sekolah. Namun, untuk menjadi orang yang berani dan siap mental, tidak sebatas dibaca lewat referensi-referensi tersebut. Pengalaman tidak didapatkan melalui proses membaca tersebut, melainkan harus dijalani (atau dipraktikkan). Dan keberanian? Benar-benar harus belajar dari melawan ketakutan diri sendiri. ^_^.


--Imam Rahmanto--

You Might Also Like

0 comments