Mambo, Rambo, dan Pesantren
Juli 01, 2013Baca Juga
Sudah saya katakan, bukan? Saya senang berinteraksi dengan anak kecil, dan saya senang mengambil pelajaran dari mereka.
“Siapa namamu?” tanya saya pada seorang anak yang sedari tadi meminta kopi, atau lebih tepatnya dibelikan kopi. Rumah yang menjadi posko KKN kami juga merangkap sebagai mata pencaharaian bagi pemiliknya sebagai warung yang menyediakan kebutuhan sehari-hari. Pemiliknya hanya sepasang suami-istri yang dipanggil “Haji”. Keempat anaknya telah mandiri dengan kehidupannya masing-masing.
“Alif. Tapi teman-teman biasa memanggil saya dengan nama Mambo,” jawabnya.
Akh, satu lagi pelencengan nama. Orang tua sudah susah-susah memotongkan kambing di acara aqiqah, seenaknya saja kita ataupun orang lain mengganti “label”.
“Saya Fariz,” ucap seorang anak yang lainnya, yang baru bergabung dengan setelah saya lama mengobrol dengan Mambo. Sebenarnya, bukan mengobrol juga. Usianya paling muda diantara ketiga anak yang mengelilingi saya, masih duduk di kelas satu Sekolah Dasar. Lebih banyak diam pula. Tapi, sejak saya selonjoran di teras rumah “posko” kami, geraknya berpindah-pindah, dari satu paha, lengan, pundak, dan bagian tubuh yang lain. Agak bersikap manja, dan ingin diperhatikan. #tepok jidat.
“Lulu, Kak. Tapi nama lengkapnya Fadhlu Rahman,” ujar seorang anak laki-laki lainnya, yang belakangan saya ketahui adalah kakak Fariz, tapi masih junior dari Mambo. Saya ingat betul nama lengkapnya, berhubung dia sempat bertanya-tanya tentang arti namanya itu pada saya, yang sebenarnya tidak tahu banyak pelajaran bahasa Arab. Sementara Mambo? Akh, tak jelas siapa atau apa nama lengkapnya. Terlalu panjang bagi saya hanya untuk mengingatnya. Yang lekat dalam ingatan saya hanya jumlah huruf di namanya itu ada 22. Dua puluh dua huruf!
Berbeda dengan Fariz, atau bahkan Mambo, Lulu tergolong anak yang “baik-baik”. Ia kalem dan bersahaja. Entah rajin menabung atau tidak. Ia hanya duduk di samping saya mendengarkan segala hal yang saya kemukakan. Sesekali, ia bertanya dengan santun. Oh ya, dua kakak-beradik itu, belakangan saya ketahui juga merupakan anak dari lurah yang akan membimbing kami di lokasi KKN selama 3 bulan dari sekarang.
Datang lagi seorang anak gemuk yang sedang mengendarai sepedanya. Ia berhenti sebentar di depan kami, penasaran;
“Ini kakak lagi main sulap ya? Kok, teman-temanku antusias sekali dengannya. Yang satu ngomong, yang satu ngomong lagi. Ada makanan juga ya dibagikan? Moga-moga juga saya dapat BLSM,” baca saya lewat sorot mata penasarannya pada kami yang tengah duduk-duduk selonjoran di depan rumah. Maklum, saya hanya sendiri dan dikerubungi oleh tiga anak tadi.
“Kalau kau namanya siapa?” kejar saya dengan pertanyaan sesaat anak itu berhenti tepat di hadapan kami. Ah, ternyata tidak ada makanan. Pikirnya.
“Agung, Kak,” jawabnya pelan, masih saja penasaran dengan saya, sebagai orang asing. Jangan-jangan saya nanti diculik. Pikirnya lagi. Apa-apaan ini??
“Nah, dari namanya sudah menggambarkan bagaimana orangnya, bukan? Agung, yang artinya besar. Sama dengan orangnya, yang juga besar badannya, alias gendut,” sontak disambut tawa oleh teman-temannya. Ia hanya bisa tersenyum kecut mendengar ucapan saya.
Baru berselang beberapa menit dari acara “anjangsana”nya, berjarak tidak lebih dari 10 meter, ia menabarak sepeda motor yang terparkir sempurna di pinggir jalan. Laju sepedanya tidak kencang. Mungkin kurang konsentrasi (karena perhatiannya selalu teralih ke saya…cieee…), sepedanya yang meliuk-liuk di gang-gang perumahan itu tepat memecahkan lampu belakang motor ninja salah seorang warga di perumahan itu. Mau bagaimana lagi, warga itu tidak terima dan meminta ganti rugi kepada Agung, dengan mendatangi rumahnya. Yaelah, namanya anak-anak, ya dimaklumi sedikit kenapa?
Adalah Mambo, seorang anak yang menjelang usia 12 tahun (menurutnya, ia sekarang sudah naik kelas 6) telah mendapati dirinya pada fase kecanduan. Ia tidak sadar, kebiasaannya mengonsumsi langsung kopi bubuk, tanpa diseduh, hanya dinikmati bebas lewat bungkusannya, akan merusak kesehatannya. Saya tidak tahu persis, penyakit apa saja yang akan diidapnya jikalau ia meneruskan kebiasaan buruknya itu. Lebih parah lagi, ia mengaku pernah mengonsumsi "obat distro", yang setahu saya bisa membuat orang teler.
“Kamu, buat apa kopi?” Saya penasaran, masih siang-siang begini, ia sudah minta-minta dibelikan kopi. Saya melihat Haji, yang tadi di”rayu”nya, menggerutu sebal padanya. Nampaknya, setiap hari kerjaan Mambo ya memang meminta kopi itu.
“Saya mau begadang, Kak,” rajuknya. Lah? Ini, kan masih siang!
“Nanti malam saya mau nonton film Rambo 3,” ujarnya bersemangat. Bahkan, ia tak lupa menyebutkan nama stasiun televisi yang akan memutarkannya, lengkap dengan jadwal tayangnya.
Don’t judge the book by its cover!
Berbincang-bincang dengan Mambo memberikan saya banyak waktu untuk mendalaminya. Baik Fariz maupun Lulu, hanya sesekali menimpali perbincangan kami. Agak ribut dengan anak-anak yang tidak mau mengalah untuk diperhatikan omongannya.
“Cita-citamu apa?” saya berpikir, adalah hal menarik ketika kita berbicara tentang impian dan cita-cita dengan anak seperti mereka. Sedari kecil, sudah seharusnya mengajarkan apa yang seharusnya mereka perbuat dengan cita-citanya itu.
“Jadi penyanyi band, Kak,” jawabnya tanpa ragu. Menarik. Ia mengaku pandai memainkan alat musik ukulele, layaknya seorang Tegar yang booming dengan hits Akulah Yang Yang Dulu Bukanlah Yang Sekarang-nya.
Teramat jarang saya menemukan anak-anak seusia Mambo yang mampu menyebutkan cita-citanya selain menjadi dokter, suster, pilot, tentara, polisi, ataupun guru. Di benak setiap anak, nampaknya telah terpatri bahwa pekerjaan hanya sebatas itu saja. Apa orang tuanya tidak pernah memasukkan profesi wartawan dalam list itu ya?
Saya kagum dengan Mambo. Meskipun penampilan dan tingkahnya terkesan “anak berandalan”, ia sudah tahu mau jadi apa ia kelak. Berulang-ulang saya menjelaskan tentang cita-cita itu, memberikan gambaran, tetap saja ia bersikukuh dengan impiannya. Hanya, ketika saya tanyakan “kenapa”, ia tak mau (atau belum mampu) menjawabnya.
“Kak, di Makassar ada pesantren yang perempuan dan laki-lakinya tidak terpisah?” burunya lagi dengan pertanyaan.
“Saya mau sekali masuk Pesantren, Kak. Tapi, yang laki-laki dan perempuannya tidak dipisah. Biarmi dipisah asrama,”
Lagi, saya tersentak mendengar ucapan Mambo. Ada banyak hal kontradiktif yang berlaku pada diri anak ini. Anaknya yang ugal-ugalan bersepeda, cerewet, suka berteriak, sedikit “bebas” bergaul, terlihat jagoan, nyatanya bercita-cita pula menghabiskan masa pendidikannya di Pesantren.
“Saya mau pintar Bahasa Arab juga,” Akh, lagi, alasan yang polos.
Saya kemudian berpikir, jikalau kelak ia ingin menjadi penyanyi band, dan merangkap sebagai anak pesantren, mungkin ia bisa mencontoh Wali. ^_^.
“Saya paling tidak suka dengan pelajaran Matematika, Kak,” Nah loh? Jurusan saya Matematika, loh.
Memang, salah satu mata pelajaran itu cenderung menjadi momok bagi sebagian besar anak-anak. Saya tidak habis pikir, metode apa yang dikembangkan guru-guru di sekolah sehingga menganggap pelajaran itu sebagai “hantu”.
Di luar Matematika, ia banyak tahu. Tak sedikit ia menjelaskan tentang sejarah kemerdekaan Indonesia. Tentang para perumus proklamasi, yang saya sendiri telah melupakannya. Tentang kelahiran tokoh-tokoh bangsa itu, ia menceritakannya dengan cukup panjang lebar, khas anak-anak. Malah, ia memberikan saya pertanyaan tentang sejarah yang sama sekali saya tidak tahu jawabannya.
Akan tetapi, saya bukannya mau bercerita lagi tentang hal itu. Ada banyak hal “unik” dan kontradiktif yang dimiliki oleh seorang Mambo. Jikalau saya menceritakannya, lembaran Word tidak sanggup menanganinya. Tahu tidak, tulisan ini saja sudah mencapai tiga halaman, :) Sabar ya, Mambo…
Terlepas dari itu, saya telah membuat janji “laki-laki” dengan Mambo. Matematika yang dibencinya menjadi “celah” bagi saya untuk melepaskannya dari jeratan kecanduan kopi bubuk.
“Kenapa tidak suka Matematika?” tanya saya.
“Hitungannya banyak sekali, Kak. Seperti kalau misalnya 70 derajat Celcius dikalikan 60 derajat Celcius, hasilnya banyak sekali? Berapa coba, Kak?” jawabnya sambil menguji saya. Ahaa!!
“Kalau saya tahu, dan jawaban saya benar, mau taruhan ndak?”
“Kalau jawaban saya benar, kau harus berjanji, selama saya berada disini, hanya tiga bulan saja, kau tidak boleh makan kopi atau mengonsumsi obat-obat seperti itu. Tapi kalau jawaban saya salah, saya belikan kau kopi setiap hari. Bagaimana?”
Pernyataan saya disambutnya dengan anggukan tegas. Dia berpikir, Matematika serumit itu. Padahal di pikiran saya, Matematika lainnya lebih rumit dibanding perkalian seperti itu.
Bisa ditebak hasilnya! Setelah menunjukkan perkalian di kalkulator, ia tersenyum malu-malu seraya menyambut jabat tangan dari saya. Meskipun dengan sedikit penawaran (keringanan) kecil darinya, yang tetap saja saya tolak, ia bakal menunaikan janjinya itu. Sorot matanya jelas menunjukkan binar kejujuran. Pertanda ia akan menunaikan janjinya selama saya berada di lokasi KKN ini, Pangkep.
“Siapa namamu?” tanya saya pada seorang anak yang sedari tadi meminta kopi, atau lebih tepatnya dibelikan kopi. Rumah yang menjadi posko KKN kami juga merangkap sebagai mata pencaharaian bagi pemiliknya sebagai warung yang menyediakan kebutuhan sehari-hari. Pemiliknya hanya sepasang suami-istri yang dipanggil “Haji”. Keempat anaknya telah mandiri dengan kehidupannya masing-masing.
“Alif. Tapi teman-teman biasa memanggil saya dengan nama Mambo,” jawabnya.
Akh, satu lagi pelencengan nama. Orang tua sudah susah-susah memotongkan kambing di acara aqiqah, seenaknya saja kita ataupun orang lain mengganti “label”.
Ada Mambo di tengah. Dari kiri ke kanan; Nabil, Fariz, dan Suhal. (ImamR) |
“Lulu, Kak. Tapi nama lengkapnya Fadhlu Rahman,” ujar seorang anak laki-laki lainnya, yang belakangan saya ketahui adalah kakak Fariz, tapi masih junior dari Mambo. Saya ingat betul nama lengkapnya, berhubung dia sempat bertanya-tanya tentang arti namanya itu pada saya, yang sebenarnya tidak tahu banyak pelajaran bahasa Arab. Sementara Mambo? Akh, tak jelas siapa atau apa nama lengkapnya. Terlalu panjang bagi saya hanya untuk mengingatnya. Yang lekat dalam ingatan saya hanya jumlah huruf di namanya itu ada 22. Dua puluh dua huruf!
Berbeda dengan Fariz, atau bahkan Mambo, Lulu tergolong anak yang “baik-baik”. Ia kalem dan bersahaja. Entah rajin menabung atau tidak. Ia hanya duduk di samping saya mendengarkan segala hal yang saya kemukakan. Sesekali, ia bertanya dengan santun. Oh ya, dua kakak-beradik itu, belakangan saya ketahui juga merupakan anak dari lurah yang akan membimbing kami di lokasi KKN selama 3 bulan dari sekarang.
Datang lagi seorang anak gemuk yang sedang mengendarai sepedanya. Ia berhenti sebentar di depan kami, penasaran;
“Ini kakak lagi main sulap ya? Kok, teman-temanku antusias sekali dengannya. Yang satu ngomong, yang satu ngomong lagi. Ada makanan juga ya dibagikan? Moga-moga juga saya dapat BLSM,” baca saya lewat sorot mata penasarannya pada kami yang tengah duduk-duduk selonjoran di depan rumah. Maklum, saya hanya sendiri dan dikerubungi oleh tiga anak tadi.
“Kalau kau namanya siapa?” kejar saya dengan pertanyaan sesaat anak itu berhenti tepat di hadapan kami. Ah, ternyata tidak ada makanan. Pikirnya.
“Agung, Kak,” jawabnya pelan, masih saja penasaran dengan saya, sebagai orang asing. Jangan-jangan saya nanti diculik. Pikirnya lagi. Apa-apaan ini??
“Nah, dari namanya sudah menggambarkan bagaimana orangnya, bukan? Agung, yang artinya besar. Sama dengan orangnya, yang juga besar badannya, alias gendut,” sontak disambut tawa oleh teman-temannya. Ia hanya bisa tersenyum kecut mendengar ucapan saya.
Baru berselang beberapa menit dari acara “anjangsana”nya, berjarak tidak lebih dari 10 meter, ia menabarak sepeda motor yang terparkir sempurna di pinggir jalan. Laju sepedanya tidak kencang. Mungkin kurang konsentrasi (karena perhatiannya selalu teralih ke saya…cieee…), sepedanya yang meliuk-liuk di gang-gang perumahan itu tepat memecahkan lampu belakang motor ninja salah seorang warga di perumahan itu. Mau bagaimana lagi, warga itu tidak terima dan meminta ganti rugi kepada Agung, dengan mendatangi rumahnya. Yaelah, namanya anak-anak, ya dimaklumi sedikit kenapa?
***
Si jagoan "Rambo". (ImamR) |
“Kamu, buat apa kopi?” Saya penasaran, masih siang-siang begini, ia sudah minta-minta dibelikan kopi. Saya melihat Haji, yang tadi di”rayu”nya, menggerutu sebal padanya. Nampaknya, setiap hari kerjaan Mambo ya memang meminta kopi itu.
“Saya mau begadang, Kak,” rajuknya. Lah? Ini, kan masih siang!
“Nanti malam saya mau nonton film Rambo 3,” ujarnya bersemangat. Bahkan, ia tak lupa menyebutkan nama stasiun televisi yang akan memutarkannya, lengkap dengan jadwal tayangnya.
Don’t judge the book by its cover!
Berbincang-bincang dengan Mambo memberikan saya banyak waktu untuk mendalaminya. Baik Fariz maupun Lulu, hanya sesekali menimpali perbincangan kami. Agak ribut dengan anak-anak yang tidak mau mengalah untuk diperhatikan omongannya.
“Cita-citamu apa?” saya berpikir, adalah hal menarik ketika kita berbicara tentang impian dan cita-cita dengan anak seperti mereka. Sedari kecil, sudah seharusnya mengajarkan apa yang seharusnya mereka perbuat dengan cita-citanya itu.
“Jadi penyanyi band, Kak,” jawabnya tanpa ragu. Menarik. Ia mengaku pandai memainkan alat musik ukulele, layaknya seorang Tegar yang booming dengan hits Akulah Yang Yang Dulu Bukanlah Yang Sekarang-nya.
Teramat jarang saya menemukan anak-anak seusia Mambo yang mampu menyebutkan cita-citanya selain menjadi dokter, suster, pilot, tentara, polisi, ataupun guru. Di benak setiap anak, nampaknya telah terpatri bahwa pekerjaan hanya sebatas itu saja. Apa orang tuanya tidak pernah memasukkan profesi wartawan dalam list itu ya?
Saya kagum dengan Mambo. Meskipun penampilan dan tingkahnya terkesan “anak berandalan”, ia sudah tahu mau jadi apa ia kelak. Berulang-ulang saya menjelaskan tentang cita-cita itu, memberikan gambaran, tetap saja ia bersikukuh dengan impiannya. Hanya, ketika saya tanyakan “kenapa”, ia tak mau (atau belum mampu) menjawabnya.
“Kak, di Makassar ada pesantren yang perempuan dan laki-lakinya tidak terpisah?” burunya lagi dengan pertanyaan.
“Saya mau sekali masuk Pesantren, Kak. Tapi, yang laki-laki dan perempuannya tidak dipisah. Biarmi dipisah asrama,”
Lagi, saya tersentak mendengar ucapan Mambo. Ada banyak hal kontradiktif yang berlaku pada diri anak ini. Anaknya yang ugal-ugalan bersepeda, cerewet, suka berteriak, sedikit “bebas” bergaul, terlihat jagoan, nyatanya bercita-cita pula menghabiskan masa pendidikannya di Pesantren.
“Saya mau pintar Bahasa Arab juga,” Akh, lagi, alasan yang polos.
Saya kemudian berpikir, jikalau kelak ia ingin menjadi penyanyi band, dan merangkap sebagai anak pesantren, mungkin ia bisa mencontoh Wali. ^_^.
***
“Saya paling tidak suka dengan pelajaran Matematika, Kak,” Nah loh? Jurusan saya Matematika, loh.
Memang, salah satu mata pelajaran itu cenderung menjadi momok bagi sebagian besar anak-anak. Saya tidak habis pikir, metode apa yang dikembangkan guru-guru di sekolah sehingga menganggap pelajaran itu sebagai “hantu”.
Di luar Matematika, ia banyak tahu. Tak sedikit ia menjelaskan tentang sejarah kemerdekaan Indonesia. Tentang para perumus proklamasi, yang saya sendiri telah melupakannya. Tentang kelahiran tokoh-tokoh bangsa itu, ia menceritakannya dengan cukup panjang lebar, khas anak-anak. Malah, ia memberikan saya pertanyaan tentang sejarah yang sama sekali saya tidak tahu jawabannya.
Akan tetapi, saya bukannya mau bercerita lagi tentang hal itu. Ada banyak hal “unik” dan kontradiktif yang dimiliki oleh seorang Mambo. Jikalau saya menceritakannya, lembaran Word tidak sanggup menanganinya. Tahu tidak, tulisan ini saja sudah mencapai tiga halaman, :) Sabar ya, Mambo…
Terlepas dari itu, saya telah membuat janji “laki-laki” dengan Mambo. Matematika yang dibencinya menjadi “celah” bagi saya untuk melepaskannya dari jeratan kecanduan kopi bubuk.
“Kenapa tidak suka Matematika?” tanya saya.
“Hitungannya banyak sekali, Kak. Seperti kalau misalnya 70 derajat Celcius dikalikan 60 derajat Celcius, hasilnya banyak sekali? Berapa coba, Kak?” jawabnya sambil menguji saya. Ahaa!!
“Kalau saya tahu, dan jawaban saya benar, mau taruhan ndak?”
“Kalau jawaban saya benar, kau harus berjanji, selama saya berada disini, hanya tiga bulan saja, kau tidak boleh makan kopi atau mengonsumsi obat-obat seperti itu. Tapi kalau jawaban saya salah, saya belikan kau kopi setiap hari. Bagaimana?”
Pernyataan saya disambutnya dengan anggukan tegas. Dia berpikir, Matematika serumit itu. Padahal di pikiran saya, Matematika lainnya lebih rumit dibanding perkalian seperti itu.
Bisa ditebak hasilnya! Setelah menunjukkan perkalian di kalkulator, ia tersenyum malu-malu seraya menyambut jabat tangan dari saya. Meskipun dengan sedikit penawaran (keringanan) kecil darinya, yang tetap saja saya tolak, ia bakal menunaikan janjinya itu. Sorot matanya jelas menunjukkan binar kejujuran. Pertanda ia akan menunaikan janjinya selama saya berada di lokasi KKN ini, Pangkep.
--Imam Rahmanto--
0 comments