Nestapa

Oktober 02, 2018

Baca Juga

"Gila saja. Kalau kita kesana jadi relawan, nanti malah kita yang susah. Tidak ada pasokan air, makanan. Panas juga," saya mencuri dengar perbincangan tamu kafe.

Saya dan seorang teman sedang bersantai di kafe, sembari menyiapkan bahan untuk tugas liputan. Perbincangan mereka cukup jelas, karena meja kami saling membelakangi. Saya hanya melebarkan daun telinga untuk tahu apa saja pembicaraan mereka. Dan tentunya, tak jauh dari kabar-kabar tentang bencana gempa di Palu.

Jengah saja mendengar perkataan semacam itu. Bagi saya, ucapan adalah doa. Ucapan adalah dukungan yang seharusnya memberi kekuatan. Kalau memang tak mau membantu tenaga, ada baiknya tak usah terlalu banyak komentar.

Saya juga merasa muak dengan orang-orang yang masih memilih nyinyir di media sosial. Saling menyalahkan satu sama lain. Atau yang paling parah, membawa-bawa kejadian bencana ke ranah-ranah "azab dan dosa." Bahkan, urusan politik juga dibawa-bawa. Bullshit. Kalau memang tak bisa terjun langsung, mengulurkan tangan, atau menyumbangkan doa, tak perlulah terlalu angkuh memakai jari untuk mencerca. Ada baiknya kita saling mendoakan saja. Karena tak ada bayaran sepadan untuk menggantikan setiap nyawa di tengah bencana.

Dalam beberapa hari terakhir, kondisi itu memang cukup memilukan. Mayat-mayat bergelimpangan. Sementara yang masih hidup semakin beringas. Ada yang mencoba bertahan hidup dengan melakukan apa saja. Ada pula yang mencoba keluar dari daerah bencana itu, juga, dengan melakukan apa saja. Gempa susulan masih terus berkejaran selama beberapa hari ini.

Dalam kepala saya, tiba-tiba terbayang semua adegan film yang melibatkan zombie sebagai ceritanya. Kota mati. Karantina. Orang-orang yang bertahan dan nyaris saling bunuh. Orang-orang yang mencari bantuan. Mayat sudah jadi pemandangan biasa. Uang tak ada harganya.

Memantau setiap berita tentang bencana yang melanda Donggala - Palu itu selalu membuat dada sesak. Kita benar-benar diperlihatkan kuasa Tuhan. Gempa bumi yang merobohkan gedung-gedung menjulang. Semua nyaris rata dengan tanah. Tsunami yang menyapu rumah-rumah warga. Hingga kampung yang tenggelam karena terhisap lumpur karena gempa tektonik itu. Lantas, apa lagi yang bisa kita banggakan sebagai manusia?

Saya yakin, bencana di Sulawesi Tengah itu membawa kilasan masa lalu tentang Aceh. Bedanya, peringatan kali ini terasa begitu dekat.

Kondisi Perumnas Balaroa yang tenggelam. (Foto: Nurhadi/ Harian FAJAR)

***

Sorang teman di Makassar langsung menggotong ranselnya beberapa hari setelah bencana. Saya sedang berada di Makassar, saat dia mengetuk pintu kamar dan mengambil pakaian seperlunya. Ia hanya berujar singkat, "Mau ke Palu jadi relawan dulu," kala saya menanyakan alasannya menyambangi kamar yang sehari-hari kerap dikosongkan.

Beberapa jam berikutnya, ia meminta barangnya yang masih kelupaan via telepon. Saya mengantarkan matras camping di sela-sela ia menunggu angkutan bersama relawan lainnya di sebuah kantor organisasi nirlaba.

Ssementara itu, seorang tetangga kamar kosan juga mulai mematut-matut layar hapenya usai kami duduk berdua menyeruput kopi. Ia merestui saran saya untuk menjajal pengalaman sebagai relawan di tanah bencana. Apalagi, kondisi Palu dan sekitarnya butuh sangat banyak relawan untuk kembali tertawa.

"Pasti ada banyak pendaftaran untuk relawan kesana. Coba daftar saja. Apalagi kamu kan sedang tak ada kerjaan," usul saya, sembari menunjukkan beberapa organisasi dan komunitas yang membuka pendaftaran relawan.

Saya hanya mencoba "mewariskan" keinginan itu padanya. Di saat bencana besar, saya tak bisa berbuat apa-apa. Tugas saya sebagai pewarta harus menunggu instruksi dari kantor. Seandainya tugas sehari-hari saya ada di Makassar, saya cukup mengangkat tangan dan berkata, "Biarkan saya saja yang melaporkan dari sana."

Kaki saya benar-benar terkunci sekadar melangkah. Hanya doa dari dalam hari yang terus merapal untuk para korban bencana. Semoga Tuhan memudahkan tangan para relawan dan menerbitkan kembali senyum-senyum warga yang terdampak bencana.

***

Kita akan selalu merindukan perjalanan-perjalanan. Karena sejatinya, hidup kita membentuk sebuah perjalanan. Lahir menjadi pembuka menuju kematian yang selalu menanti dengan begitu sabarnya. Bukankah kematian adalah sedekat-dekatnya yang tak bisa ditolak manusia?





--Imam Rahmanto--

You Might Also Like

0 comments