Setengah Harapan
Oktober 22, 2017Baca Juga
"Kirimkan fotomu, Mam," pesan salah seorang redaktur lewat chat di Whatsapp.
Heran saja, hampir tengah malam meminta foto. Katanya, foto profil di akun Whatsapp saya tak begitu jelas wajahnya. Dia butuh foto yang lebih jelas menampakkan wajah saya.
Hanya butuh beberapa detik saja untuk mengirimkan satu foto dari stok penyimpanan smartphone saya. Beruntung, beberapa hari yang lalu saya punya liputan dengan mengenakan seragam khas kantor. Kebetulan pula, saya dijepret dengan pakaian berwarna biru itu. Padahal, seumur-umur penempatan tugas di Enrekang, saya baru pertama kalinya mengenakannya. Saya tipe-tipe orang yang tak suka mengenakan seragam, apalagi sampai masuk kantor.
Foto itu untuk apa, saya tak begitu paham. Hingga akhirnya, di percakapan grup kantor menyebutkan nama saya. Kata mereka, naskah berita perjalanan mendaki Pegunungan Latimojong masuk jadi nominasi best five di Jawa Pos Group.
"Alhamdulillah, dua kategori sudah di tangan," kata redaktur saya. Mata saya lantas berbinar.
Media saya memang merupakan bagian dari raksasa media Jawa Pos Group. Bahkan, bisa dibilang media terbaik di Sulsel. Setiap triwulannya, para petinggi se-Indonesia mengadakan rapat evaluasi di pusat. Rapat itu juga menampilkan karya-karya terbaik dari semua media di bawah naungan grup.
"Deehh, kalau tahu begitu, saya kirimkan ki fotoku pas mendakinya, Kak. Hehe..." balas saya lagi, yang kemudian berujung pada kiriman foto berjaket hijau dengan senyum dipaksakan diantara kabut dan beban ransel di punggung.
Itu artinya, naskah liputan khusus yang dimuat dua halaman berhasil dengan mulus "menggoda" mereka yang membacanya. Bahagia rasanya membayangkan karya kita bisa kembali dihargai. Secara tak langsung, bahagia pula bisa membantu mereka yang berada di Dusun Karangan. Saya rindu dengan dusun itu.
Perjalanan berat selama mendaki seolah terbayarkan lunas. Rasa-rasanya, saya harus mengabarkannya kepada empat teman lainnya yang menemani ekspedisi. Kalau bukan karena mereka pula, saya tentu takkan menikmati perjalanan menguras keringat itu.
Dan lagipula, saya pernah meragukan hasilnya.
"Menuliskan hasilnya (eskpedisi ini) jadi semacam beban, karena kita sudah tahu ujung-ujungnya untuk diikutkan persaingan. Jadinya, seolah memperhitungkan banyak hal. Termasuk kan dananya juga sudah telanjur cair," curhat saya pada teman sesama jurnalis, jauh hari sebelum naik cetak.
Meski setengah bercanda, namun saya memang sempat menyangsikannya.
Beban semacam itu memang selalu terasa. Karena naskah (triwulan) sebelumnya juga sempat menyabet penghargaan serupa. Naskah feature terkait beras ketan khas Enrekang, Pulu Mandoti, sudah pernah nampil di rapat para petinggi media itu. Lantas, nama sedikit mulai dilabeli.
Esensinya sungguh berbeda. Saya menuliskan feature Pulu Mandoti itu tanpa beban. Saya juga tak pernah tahu kalau redaktur ternyata mengirimkannya ke penilaian Jawa Pos Group. Jadinya, tak ada perasaan "harus-jadi-yang-terbaik" dalam mengerjakan naskah. Tak ada perasaan was-was. Saya hanya menjalani apa adanya.
Pengerjaan naskah Ekspedisi Latimojong sungguh teramat berbeda. Sejak awal, saya sudah tahu jika naskahnya akan sampai ke tahap pengiriman, hingga penilaian pusat media kami. Bebannya jauh lebih kerasa. Karena jika tidak menyabet nominasi, tentu ada kekecewaan dari orang-orang kantor, yang sudah menaruh harapannya pada pundak saya.
Menanggung harapan itu seumpama memikul suatu beban. Salah sedikit, kita bisa mematahkan harapan itu. Tentu akan berimbas pada berbagai perasaan negatif dari orang yang "berharap" itu. Semisal kekecewaan, kemarahan, patah hati, atau yang paling parah, kehilangan kepercayaan.
Tak ada yang cukup kuat menerima perasaan semacam itu. Hidup untuk mencari kebahagiaan, bukan untuk memenuhinya dengan perasaan-perasaan tak menyenangkan.
Saya tak ingin dicap sebagai Pemberi Harapan Palsu (PHP). Apalagi saya tak pernah sekali pun menjanjikan hasilnya bakal memuaskan. Karena pada kenyataannya, masih banyak hal (dan keinginan) terpendam dalam perjalanan saya menakjubkan itu. Sejujurnya; saya belum puas menikmatinya.
Beruntunglah, hasil ekspedisi kemarin bisa menyalurkan kebahagiaan bagi orang-orang di media saya. Pun, bagi saya pribadi, semakin percaya dengan tulisan sendiri. Tak ada salahnya menulis dengan menjadi apa adanya. Tujuan saya menulis di tempat ini (blog) juga agar tak kehilangan jiwa saya.
Yah, sebenar-benarnya saya ada di "rumah" ini. Saya banyak belajar menuangkan pikiran bebas disini. Sebebas-bebas dan selepas-lepasnya.
"Ndak berniat mau buat buku begitu?" tanya teman, yang pernah membaca sedikit tulisan di "rumah" ini.
Sudah dan selalu (berharap).
Sebenarnya sempat terpikirkan untuk membuat buku dari kumpulan pelarian di "rumah" ini. Bahkan, puluhan lembar draft-nya sudah di-printout. Lengkap beserta judul buku di sampulnya. Sayang, proses revisi dan corat-coretnya berhenti di tengah jalan. Baru beberapa naskah awal saja yang sudah saya coreti ala skripsi. Jilidan naskah itu kini teronggok saja di kamar, dipandangi selintas, tanpa disentuh penulisnya. Kasihan...
Sampai hari ini, naskah itu masih menumpuk di salah satu sudut kamar. Barangkali, memang, menunggu penilaian yang sebaiknya bukan dari saya. Mungkin saja, memang sudah waktunya meyerahkan "ujian-revisi" naskah pada orang lain.
"Payung Hujan..."
"Itu judulnya?"
"Ya, isinya cuma tulisan atau catatan ndak jelas begitu," terang saya malu-malu.
"Judulnya saja saya kusuka. Unik,"
...
Sial! Saya dipaksa memikirkan keinginan itu kembali.
Heran saja, hampir tengah malam meminta foto. Katanya, foto profil di akun Whatsapp saya tak begitu jelas wajahnya. Dia butuh foto yang lebih jelas menampakkan wajah saya.
Hanya butuh beberapa detik saja untuk mengirimkan satu foto dari stok penyimpanan smartphone saya. Beruntung, beberapa hari yang lalu saya punya liputan dengan mengenakan seragam khas kantor. Kebetulan pula, saya dijepret dengan pakaian berwarna biru itu. Padahal, seumur-umur penempatan tugas di Enrekang, saya baru pertama kalinya mengenakannya. Saya tipe-tipe orang yang tak suka mengenakan seragam, apalagi sampai masuk kantor.
Foto itu untuk apa, saya tak begitu paham. Hingga akhirnya, di percakapan grup kantor menyebutkan nama saya. Kata mereka, naskah berita perjalanan mendaki Pegunungan Latimojong masuk jadi nominasi best five di Jawa Pos Group.
"Alhamdulillah, dua kategori sudah di tangan," kata redaktur saya. Mata saya lantas berbinar.
Media saya memang merupakan bagian dari raksasa media Jawa Pos Group. Bahkan, bisa dibilang media terbaik di Sulsel. Setiap triwulannya, para petinggi se-Indonesia mengadakan rapat evaluasi di pusat. Rapat itu juga menampilkan karya-karya terbaik dari semua media di bawah naungan grup.
"Deehh, kalau tahu begitu, saya kirimkan ki fotoku pas mendakinya, Kak. Hehe..." balas saya lagi, yang kemudian berujung pada kiriman foto berjaket hijau dengan senyum dipaksakan diantara kabut dan beban ransel di punggung.
Itu artinya, naskah liputan khusus yang dimuat dua halaman berhasil dengan mulus "menggoda" mereka yang membacanya. Bahagia rasanya membayangkan karya kita bisa kembali dihargai. Secara tak langsung, bahagia pula bisa membantu mereka yang berada di Dusun Karangan. Saya rindu dengan dusun itu.
Perjalanan berat selama mendaki seolah terbayarkan lunas. Rasa-rasanya, saya harus mengabarkannya kepada empat teman lainnya yang menemani ekspedisi. Kalau bukan karena mereka pula, saya tentu takkan menikmati perjalanan menguras keringat itu.
Dan lagipula, saya pernah meragukan hasilnya.
"Menuliskan hasilnya (eskpedisi ini) jadi semacam beban, karena kita sudah tahu ujung-ujungnya untuk diikutkan persaingan. Jadinya, seolah memperhitungkan banyak hal. Termasuk kan dananya juga sudah telanjur cair," curhat saya pada teman sesama jurnalis, jauh hari sebelum naik cetak.
Meski setengah bercanda, namun saya memang sempat menyangsikannya.
Beban semacam itu memang selalu terasa. Karena naskah (triwulan) sebelumnya juga sempat menyabet penghargaan serupa. Naskah feature terkait beras ketan khas Enrekang, Pulu Mandoti, sudah pernah nampil di rapat para petinggi media itu. Lantas, nama sedikit mulai dilabeli.
Esensinya sungguh berbeda. Saya menuliskan feature Pulu Mandoti itu tanpa beban. Saya juga tak pernah tahu kalau redaktur ternyata mengirimkannya ke penilaian Jawa Pos Group. Jadinya, tak ada perasaan "harus-jadi-yang-terbaik" dalam mengerjakan naskah. Tak ada perasaan was-was. Saya hanya menjalani apa adanya.
Pengerjaan naskah Ekspedisi Latimojong sungguh teramat berbeda. Sejak awal, saya sudah tahu jika naskahnya akan sampai ke tahap pengiriman, hingga penilaian pusat media kami. Bebannya jauh lebih kerasa. Karena jika tidak menyabet nominasi, tentu ada kekecewaan dari orang-orang kantor, yang sudah menaruh harapannya pada pundak saya.
Saya butuh frame untuk mengabadikan perjalanan ini. (Imam Rahmanto) |
***
Menanggung harapan itu seumpama memikul suatu beban. Salah sedikit, kita bisa mematahkan harapan itu. Tentu akan berimbas pada berbagai perasaan negatif dari orang yang "berharap" itu. Semisal kekecewaan, kemarahan, patah hati, atau yang paling parah, kehilangan kepercayaan.
Tak ada yang cukup kuat menerima perasaan semacam itu. Hidup untuk mencari kebahagiaan, bukan untuk memenuhinya dengan perasaan-perasaan tak menyenangkan.
Saya tak ingin dicap sebagai Pemberi Harapan Palsu (PHP). Apalagi saya tak pernah sekali pun menjanjikan hasilnya bakal memuaskan. Karena pada kenyataannya, masih banyak hal (dan keinginan) terpendam dalam perjalanan saya menakjubkan itu. Sejujurnya; saya belum puas menikmatinya.
Beruntunglah, hasil ekspedisi kemarin bisa menyalurkan kebahagiaan bagi orang-orang di media saya. Pun, bagi saya pribadi, semakin percaya dengan tulisan sendiri. Tak ada salahnya menulis dengan menjadi apa adanya. Tujuan saya menulis di tempat ini (blog) juga agar tak kehilangan jiwa saya.
Yah, sebenar-benarnya saya ada di "rumah" ini. Saya banyak belajar menuangkan pikiran bebas disini. Sebebas-bebas dan selepas-lepasnya.
"Ndak berniat mau buat buku begitu?" tanya teman, yang pernah membaca sedikit tulisan di "rumah" ini.
Sudah dan selalu (berharap).
Sebenarnya sempat terpikirkan untuk membuat buku dari kumpulan pelarian di "rumah" ini. Bahkan, puluhan lembar draft-nya sudah di-printout. Lengkap beserta judul buku di sampulnya. Sayang, proses revisi dan corat-coretnya berhenti di tengah jalan. Baru beberapa naskah awal saja yang sudah saya coreti ala skripsi. Jilidan naskah itu kini teronggok saja di kamar, dipandangi selintas, tanpa disentuh penulisnya. Kasihan...
Sampai hari ini, naskah itu masih menumpuk di salah satu sudut kamar. Barangkali, memang, menunggu penilaian yang sebaiknya bukan dari saya. Mungkin saja, memang sudah waktunya meyerahkan "ujian-revisi" naskah pada orang lain.
"Payung Hujan..."
"Itu judulnya?"
"Ya, isinya cuma tulisan atau catatan ndak jelas begitu," terang saya malu-malu.
"Judulnya saja saya kusuka. Unik,"
...
Sial! Saya dipaksa memikirkan keinginan itu kembali.
--Imam Rahmanto-
0 comments