Menanjak (6)

Oktober 28, 2017

Baca Juga



Adrenalin baru dimulai. Siapa saja pasti setuju, jika tanjakan menuju Pos III merupakan jalur terberat yang harus dilalui para pendaki Latimojong. Ekspektasi saya pun berguguran setelah melintasi jalur tersebut.

Speechless. 

"Kenapa na tidak adami suaranya Imam?" gurau salah seorang teman.

"Iya, tadi dia mi yang paling banyak bicaranya," sambut yang lainnya.

Yah, selepas beristirahat, saya kehabisan tenaga. Lelucon saya sudah habis tertelan di kerongkongan. Bahkan, kata teman, wajah saya begitu pucat selama pendakian. Jalur tanjakan yang nyaris membentuk sudut 90 derajat itu betul-betul menguras tenaga. Bagi saya yang pertama kali mendaki pegunungan Latimojong, ini namanya super-extreme.

Pegangan kami hanya akar-akar pohon atau tali rotan yang sengaja diikatkan pada puncak pendakian. Entah siapa yang berinisiatif mengikatkan rotan yang dimaksudkan sebagai safety itu. Tanpa juluran rotan, barangkali kami harus merayap layaknya pendaki tebing. Bayangkan saja bagaimana sulitnya memanjat tanah berkerikil, licin, dan kerap terhambur dari genggaman.

Momen pertama, saya bisa menjadikan tanjakan Pos III itu sebagai tantangan. Tak jarang, saya akan membayangkannya sebagai permainan masa kecil kami di kampung halaman. Bagaimana kami berlari-larian di dalam kebun. Memanjat satu-dua pohon. Hingga mencari sulur terkuat agar bisa bergelantungan.

Sayangnya, bayangan masa kecil itu pudar seiring peluh yang terus mengucur dari pelipis. Wajah juga semakin memucat karena kehabisan tenaga. Tungkai saya, seolah dibebani batu diantara tulang dan persendiannya. Untuk melangkah pun, saya harus mengambil jeda. Melangkah beberapa menit. Berhenti beberapa detik. Melangkah lagi. Berhenti lagi. Begitu seterusnya. Tanpa sadar, saya ada di bagian paling belakang.

Hal yang sama juga terjadi pada teman lainnya. Tentu, masing-masing punya cara tersendiri untuk mengatasinya. Selain itu, gengsi juga mau melambaikan tangan ke kamera. Terpaksa, saya memutar musik dari gawai di saku jaket.

"Jangan dipaksakan kalau capek. Berhenti saja," saran Rahim, yang masih melangkah dengan santainya. Padahal bebannya juga bertambah, karena membawa tas Icha.

Sesekali pula kami harus mengemut cokelat. Katanya, makanan seperti itu bisa menambah kalori selama pendakian. Saran juga sih, jangan terlalu banyak minum air putih untuk mengatasi kelelahan.

Sepertinya, cuma saya dan Ohe yang terlihat paling menderita. Bagaimana tidak, tenaga kami juga sudah terkuras dari perjalanan sebelumnya menuju air terjun. Sepulangnya dari sana, kami hanya berhenti untuk packing di Pos II, lantaran teman-teman lain sudah siap berangkat.

"Kayaknya beban kita memang yang paling berat. Seolah-seolah, dua kali lipat perjalanan. Soalnya kan tadi dari air terjun," gerutu saya, yang hanya dibalas muka datar (kelelahan) oleh Ohe.

Saya akan selalu mengingat tanjakan-tanjakan itu. Kalau boleh dibilang lagu, jalur itu menggambarkan lagunya Peterpan - Di Atas Normal. Sebenar-benarnya, kaki di kepala, kepala di kaki. Untuk bisa mencapai puncak, kaki harus diangkat tinggi-tinggi. Sering kali lutut sampai menyentuh dagu. Napas jugaa sudah tersengal-sengal.

Meski begitu, kalau sudah bertekad, ya tetap saja semua bisa dilalui. Jalurnya memang terasa sangat menegangkan. Seram. Ngeri. Wass-was. Tetapi, yakinlah, tak ada kata berhenti kalau sudah telanjur mendaki. Selama kaki masih kuat dipakai melangkah, puncak pasti bisa tersentuh.

Satu-satunya yang bisa membuat kami terus melangkah barangkali keinginan untuk tiba di puncak tertinggi. Bagi yang sudah pernah merasakannya, barangkali sudah agak terasa ringan. Beda soal bagi kami yang benar-benar pertama kali "bertaruh". Lelahnya juga bakal terasa lebih sulit di awal-awal pengalaman itu.

***

Karena efek kelelahan, kami tak bisa memaksakan diri dalam mendaki. Pada akhirnya, kami disambut malam saat tiba di Pos V. Suasana sudah cukup gelap. Saya lupa persisnya, waktu menunjukkan pukul berapa. Beruntung, kemah kami sudah lebih dulu berdiri oleh teman-teman porter.

Kami juga harus segera berlindung di dalam kemah, sembari menyiapkan makan malam. Di luar sana, hujan sedang menggebu-gebu. Beberapa jam kemudian, badai terdengar begitu jelas menganggu waktu tidur. Saya sendiri beberapa kali harus terbangun karena suara badai.

Di tengah-tengah badai, kami masih sempat mendengarkan percakapan penghuni Pos V. Sebelum kami tiba, dua-tiga tenda memang sudah berdiri. Mereka juga merupakan para pendaki yang ingin mencapai Puncak Rante Mario. Sebelumnya, di Dusun Karangan, kami tahu kalau mereka adalah mahasiswa berasal dari Palopo.

Mereka yang sudah mulai segar. (Imam Rahmanto)

"Banyak kayaknya juga suara cewek tadi malam kudengar. Kayaknya ada dari Unhas juga datang malam-malanya," celetuk kami, saat pagi menjelang.

"Ada juga yang laki-laki, subuh-subuh kudengar mengaji," timpal yang lain. Saya pun sempat mendengarkannya.

Badai sudah mereda. Kami menyambut pagi dengan kondisi yang lebih segar. Meskipun, sejujurnya, bahu saya masih terasa sangat pegal. Beban tas punggung selama perjalanan mendaki masih terasa nempel.

Tim pendaki yang lain juga sudah lebih dulu menghilang dari Pos V. Mereka nampaknya memutuskan mendaki lebih pagi. Tenda dan seluruh perlengkapannya ditinggal di pos ini. Biasanya, para pendaki mengambil kesempatan semacam itu jika tak ingin bermalam di puncak. Berangkat pagi-pagi, langsung pulang setelah mengambil foto sebanyak-banyaknya di sekitar triangulasi Rante Mario.

Apalagi, ada sumber air bersih di Pos V. Hanya berjarak 10 menit berjalan kaki, melintasi batang-batang pohon. Para pendaki biasanya akan mandi atau mengambil kebutuhan minum di sungai kecil itu.

Saya sempat mencoba mandi di sungai kecil itu. Sayangnya, tak tahan untuk berlama-lama merendam seluruh badan. Putra asli Karangan seperti Samrin justru lebih kebal terhadap dinginnya air di ketinggian lebih 2000 mdpl itu.

Suhunya barangkali bisa saja mencapai 10 derajat celcius. Kulit serasa ditusuk-tusuk jarum saat menyentuh permukaan air. Sementara Samrin dengan santainya menenggelamkan dirinya untuk membersihkan busa shampo di kepalanya.

Harus tetap ceria di hadapan alam liar. (Imam Rahmanto/ timer)

Kami hanya menghabiskan beberapa jam di pos V. Sembari menyiapkan sarapan, momen berkemah di Pos V memang tak bisa dilewatkan. Maka meluncurlah beberapa jepretan dari kamera masing-masing. Wajar, itu sebagai "pelampiasan" karena dalam perjalanan kemarin kami sangat kelelahan sampai tidak kepikiran untuk mengeluarkan kamera.

Suasana di Pos V memang sangat kondusif untuk menjadi tempat berkemah. Luasnya sangat memadai dengan pohon-pohon besar di sekelilingnya. Jika beruntung, tupai-tupai kecil akan menjumpai pagi-pagi. Mereka biasanya tertarik dengan makanan atau cemilan para pendaki.

Kami sempat bermain-main dengan beberapa tupai kecil yang melintas. Berupaya mengambil momen kala tupai itu memanjat dari pohon yang satu ke pohon lainnya.

Kalau dijepret pakai lensa tele, pasti lebih menggemaskan. (Imam Rahmanto) 

***

Sesuai rencana awal, kami akan mendirikan tenda di pos puncak Rante Mario. Oleh karena itu, setelah sarapan, kami bergegas packing dan membongkar tenda. Padahal "strategi" semacam itu tak biasa dilakukan oleh para pendaki.

"Mudah-mudahan dapat ji milky way nanti malam. Bagus juga kalau kita dapat sunset nanti sore," kata Ohe.

Sebenarnya, kami memang punya banyak "misi" dalam pendakian kali ini. Ceritanya agak panjang karena dimulai dari kebutuhan naskah berita saya. Meski begitu, cerita ekspedisi ini sekaligus akan ditutup pada langkah kaki selanjutnya.

....

[bersambung]



--Imam Rahmanto--

Part 7 (end): Klik Disini

You Might Also Like

0 comments