Titipan Hujan
Desember 01, 2016Baca Juga
Makassar sedang diguyur hujan. Gas terus menderu agar saya bisa sampai ke kantor. Tak perlu tepat waktu. Saya masih punya banyak waktu bersantai diantara adzan maghrib karena naskah sudah rampung. Lagipula tak ada panggilan darurat dari redaktur.
Ah, hujan? Entah keberapa kalinya saya harus berkendara di tengah hujan. Menikmatinya diantara temaram lampu kota. Di balik telinga saya yang selalu digantungi earphone.
"Tidak punya mantel?" pertanyaan yang juga kesekian kalinya.
Sejak motor saya lahir diantara kesibukan mengejar berita, saya tak pernah punya waktu melengkapinya dengan mantel hujan. Kalau hujan telanjur jatuh tak terkendali, saya cukup menepikan motor. Melindungi kepala di bawah atap warung yang menjorok ke jalanan.
Beruntung, air hujan juga tak pernah berkorelasi dengan penyakit-penyakit kambuhan saya. Kekuatan saya, barangkali, ada pada doa mamak dan tingkah-kebanyakan-polah-hiperaktif saya. Namun sialnya, di kala teman-teman berjatuhan di musim penghujan, saya tetap berdiri sebagai penunjang kekurangan pekerjaan mereka. Menambahi beban di kepala.
Jika sudah begitu, saya agak kesal dengan beberapa waktu yang hilang. Tak ada lagi kesempatan mengelabui waktu.
Air hujan juga masih menjadi penyempurna playlist lagu indie saya. Dan nyatanya, basuhan hujan ikut memutar kembali ingatan saya, beberapa hari lalu...
"Hei, hujan loh?" ujar saya agak cemas. Tak enak hati melihat teman saya, Aan, memaksakan diri mengantarkan ke bandara internasional Adi Sucipto. Saya sudah terlalu banyak merepotkannya di kota ini.
"Tak apalah. Daripada kau ketinggalan pesawat," balasnya diantara deraian hujan.
Saya sebenarnya menawarkan diri untuk memboncengnya. Hanya saja, ia kekeuh membawa motornya sendiri. Katanya, tak elok jika harus masuk pesawat dalam keadaan kuyup. Meski sempat berteduh, kami melanjutkan perjalanan menembus hujan.
Entah bagaimana cara saya harus berterima kasih. Saya jadi terenyuh dengan kebaikan orang-orang di sekitar saya. Seberapa riuhnya saya hadir di kota tempat mereka menjalani pendidikan magister, saya selalu punya tempat untuk merepotkan hari-hari mereka.
"Saya kenal wartawan yang pernah tugas di pengadilan itu. Duh, siapa namanya ya? Saya kok agak lupa..." ujar Pak Barmudin, lelaki yang menjadi penutup perjalanan sejarah saya di Yogyakarta. Ia mencoba mengingat-ingat nama wartawan media saya di zaman 90-an yang bertugas di salah satu kantornya.
Saya nyaris pulang ke Makassar dengan tangan hampa. Pasalnya, seluruh penelusuran di Jogja tak memberikan petunjuk terkait keturunan terakhir pejuang Makassar - disebut Prajuri Daeng - di zaman Kerajaan Mataram itu. Pun, usaha saya bolak-balik keraton tak membuahkan hasil dimana ia tinggal. Saya hanya menjumpai namanya dari penuturan beberapa orang (narasumber) yang bergantian saya sambangi.
Nyatanya, lelaki tua pensiunan hakim itu begitu hangat menyambut saya. Di depan pintu, ia sudah kadung antusias melihat gantungan ID pers yang menunjukkan asal saya. Kehangatan itu seolah menjadi penutup yang cukup manis bagi segala perjuangan saya menjelajah kota Jogja selama empat hari.
"Yah, dulu saya pernah di Makassar jadi hakim. Meskipun lahir dan sekolah disana, saya kuliahnya di Jogja," kisah lelaki yang kini menjadi salah satu petinggi pasukan di keraton Jogja itu. Namanya saja sudah bergelar Kanjeng Raden Tumenggung (KRT).
Lelaki berusia 73 tahun itu begitu akrab di atas meja makan. Meski sedikit sungkan, saya menjajal saja hidangan sate yang disajikan istrinya. Katanya, sang istri merupakan keturunan asli Jogja. Keduanya bertemu saat masa kuliah dulu, lantaran tempat tinggal sang istri tepat berada di sebelah dinding tembok keraton.
"Lha kok, tidak dimakan gado-gadonya tah?" ujar istrinya, melihat sepiring besar gado-gado masih lengkap dengan ulekan pecelnya.
"Inggih (iya, red), Bu. Aku sudah kenyang, kok," balas saya agak sungkan. Sepiring sate dan kupatnya sudah tak bersisa di hadapan saya.
Cerita yang bermula dari depan pintu, ruang tamu, meja makan, hingga ruang tamu itu sungguh melegakan. Saya tak pernah menyangka, kerinduannya dengan kampung halaman membuat Pak Barmudin begitu hangat menyambut saya. Ia yang paham banyak sejarah dan budaya Makassar - Jogja ikut membuka cakrawala berpikir saya. Bahkan, saya yang bukan asli Makassar, harus mengikuti alur sejarah yang menjadi penugasan kantor saya.
"Seandainya waktumu lebih banyak, saya akan ceritakan lebih banyak lagi. Ada banyak referensi juga yang mau saya tunjukkan," ujarnya lagi, masih antusias.
Ia sempat menanyai jadwal keberangkatan pesawat saya. Dengan sedikit menggeser waktunya lebih cepat, saya menjawabnya. Apalagi, redaktur juga sudah mewanti-wanti untuk menyetorkan naskahnya sebelum take off dari Jogja. Jika percakapan berlanjut lebih lama (dan sangat hangat), saya tentu tak punya banyak waktu mengejar deadline tersebut. Tak tahu lagi bagaimana cara mengakhiri obrolan tadi...
Langit juga sudah tak setenang biasanya. Di ujung sana, awan hitam sudah bergerombol menyuarakan isyarat rindunya pada bumi.
.: 8,5 jam sebelumnya
"Coba hubungi nomor ini......"
Saya menghentikan laju motor pinjaman dari Aan. Sebuah pesan singkat masuk di saat saya sedang memutar gas dan haluan kembali ke arah pusat kota. Saya menyangka tak ada lagi harapan di kota ini.
Tuhan masih berbaik hati. Dari ujung nomor telepon itu, seorang lelaki tua memberikan saya alamat rumahnya secara detail. Dari nada suaranya, ia bahkan cukup ramah jika seandainya harus menjemput pengembaraan saya di kota kediamannya.
"You sekarang ada dimana?" potongan suaranya yang mengingatkan saya pada para inetelek di masa penjajahan kompeni Belanda.
.: 9 jam sebelumnya...
Saya kebingungan mencari alamat rumah narasumber penutup ini. Jalan poros sepanjang Jogja - Wonosari telah saya lalui, sembari melirik kiri-kanan jalan. Kali aja ada nama-nama firma hukum yang mengindikasikan pekerjaan pensiunan hakim itu.
Lelaki bernama lengkap Barmudiningrat itu menjadi satu-satunya harapan saya untuk bernapas lega. Sebagai keturunan terakhir Daeng Naba di keraton, ia punya nilai historis yang cukup dalam. Diantara naskah lain yang telah saya tuangkan di kafe langganan setiap malam, ceritanya tentu punya sisi lain. Di samping itu, redaktur saya juga telah berpesan untuk menemukan nama lelaki yang didapatinya disebutkan dalam skripsi seorang mahasiswa asal Jogja.
Google Map memang telah berhasil mengarahkan saya ke jalan lintas kabupaten ini. Sayangnya, petunjuk saya di jalan poros ini tak begitu jelas. Tak ada nama desa yang bisa menjadi pedoman. Nama jalan ini hanya jadi acuan dari ujung telepon Pak Kusumanegara.
Saya kembali patah arang. Ingin rasanya menghubungi lagi Pak Kusumanegara untuk memperjelas nama desa tempat bermukimnya Pak Barmudin. Hanya saja, suaranya bernada enggan di sambungan telepon sebelumnya. Apalagi, ia sudah menyebutkan kesibukannya yang sementara menjalani rapat.
Alhasil, saya hanya bisa bertaruh dengan mengirimkan pesan singkat (sms) padanya. Dijawab atau tidak, hanya soal waktu. Lagi-lagi, karena ini hari terakhir saya di Jogja.
.: 10 jam sebelumnya...
"Maaf, Pak. Apa saya tidak bisa minta nomornya? Mungkin bisa saya hubungi saja untuk ditemui dimana gitu..."
Saya sebenarnya sudah dibuat jengkel dengan pegawai (entahlah bagaimana menyebutnya) Tepas Keprajuritan Keraton. Kepala Tepas, Kusumanegara teramat sulit untuk ditemui. Beberapa petunjuk memang mengarahkan saya padanya untuk mengulik tentang sejarah yang dibutuhkan. Akan tetapi, lelaki itu tak pernah berpapasan waktu dengan saya yang sudah bolak-balik menyambangi kantornya (di keraton) sampai empat kali.
Mungkin karena agak segan, pegawainya itu enggan membagikan nomor tersebut. Biasalah, di kultur Kejawaan, adab dan etika memang masih begitu tegas. Apalagi untuk lingkungan keraton yang memang tergolong istimewa daei akar sejarahnya.
Saya nyaris mengubur petunjuk terakhir itu. Tak mau lagi berurusan dengan salah satu petinggi keraton itu.
Akan tetapi, hari terakhir saya di Jogja bakal berakhir beberapa jam lagi. Tentu saja, saya masih butuh beberapa bahan untuk melengkapi naskah saya, yang terasa agak janggal dan menggantung. Jika saya menyerah sekarang, artinya penelusuran saya bakal sia-sia.
Saya memutuskan untuk duduk saja lebih lama di ruang tunggu kantor Tepas Keprajuritan itu. Hampir sejam lamanya memainkan gadget sembari mencari informasi di dunia maya.
Seorang pegawai perempuan mendekati saya. Ia menyerahkan potongan kertas kecil. "Coba saja hubungi beliau di nomor ini. Soalnya dia orangnya sibuk," lanjutnya.
Seperti mendapatkan oase di padang pasir, saya langsung saja menyambungkan telepon ke dua nomor miliknya itu. Langit masih nampak terang, secerah harapan saya.
Hujan masih terus berlarian di luar sana. Akhir tahun memang sedang berjabat erat dengan cuaca nan sendu. Genangan dan tempias jadi sahabat paling dekat diantara kebisingan kota. Air hujan hanya jadi penumpang bagi selokan beton yang berujung ke sungai.
Keramaian lain tercipta dari atas kafe ini. Argumen mahasiswa beradu dengan dentingan sendok dan piring di atas meja. Tentu, seruput minuman hangat tak bisa memecah suasananya. Akan tetapi, aromanya, sungguh, selalu menjaga saya tetap terjaga. Biasanya, jika sudah berhadapan dengan notebook begini, dua cappuccino tandas begitu saja.
Saya hanya bisa memandangi lalu-lalang kendaraan dari atas teras. Sesekali tempias hujan mengenai wajah. Tak begitu mengesalkan. Sepanjang mata saya menjelajah, ada banyak mahasiswa lainnya di meja yang berbeda. Mereka juga nampak sibuk menuntaskan tugas (atau bahkan rindu) yang tengah menumpuk.
Saya senang menyaksikan keriuhan mereka dari ujung kursi. Meski hanya berbekal satu buku catatan kecil, cappuccino hangat, notebook, dan seorang lelaki yang tak saya kenal di hadapan (yang juga sibuk dengan laptopnya). Barangkali, karena kafe ini sedang ramai, ia tak dapat tempat untuk menyelesaikan tugas kuliahnya. Kesibukan mereka mengingatkan banyak hal di masa kuliah dahulu. Sebagian hal, yang mungkin takkan pernah kembali lagi. Sedikit hal, yang selalu saya rindukan.
Bayangan itu pun sebenarnya adalah kelebatan deadline saya di Jogja, empat jam sebelum menyusun perjalanan ke bandara...
Ah, hujan? Entah keberapa kalinya saya harus berkendara di tengah hujan. Menikmatinya diantara temaram lampu kota. Di balik telinga saya yang selalu digantungi earphone.
"Tidak punya mantel?" pertanyaan yang juga kesekian kalinya.
Sejak motor saya lahir diantara kesibukan mengejar berita, saya tak pernah punya waktu melengkapinya dengan mantel hujan. Kalau hujan telanjur jatuh tak terkendali, saya cukup menepikan motor. Melindungi kepala di bawah atap warung yang menjorok ke jalanan.
Beruntung, air hujan juga tak pernah berkorelasi dengan penyakit-penyakit kambuhan saya. Kekuatan saya, barangkali, ada pada doa mamak dan tingkah-kebanyakan-polah-hiperaktif saya. Namun sialnya, di kala teman-teman berjatuhan di musim penghujan, saya tetap berdiri sebagai penunjang kekurangan pekerjaan mereka. Menambahi beban di kepala.
Jika sudah begitu, saya agak kesal dengan beberapa waktu yang hilang. Tak ada lagi kesempatan mengelabui waktu.
Air hujan juga masih menjadi penyempurna playlist lagu indie saya. Dan nyatanya, basuhan hujan ikut memutar kembali ingatan saya, beberapa hari lalu...
Alun-alun selatan keraton Jogja dengan mitos diantaranya. (Imam Rahmanto) |
***
"Hei, hujan loh?" ujar saya agak cemas. Tak enak hati melihat teman saya, Aan, memaksakan diri mengantarkan ke bandara internasional Adi Sucipto. Saya sudah terlalu banyak merepotkannya di kota ini.
"Tak apalah. Daripada kau ketinggalan pesawat," balasnya diantara deraian hujan.
Saya sebenarnya menawarkan diri untuk memboncengnya. Hanya saja, ia kekeuh membawa motornya sendiri. Katanya, tak elok jika harus masuk pesawat dalam keadaan kuyup. Meski sempat berteduh, kami melanjutkan perjalanan menembus hujan.
Entah bagaimana cara saya harus berterima kasih. Saya jadi terenyuh dengan kebaikan orang-orang di sekitar saya. Seberapa riuhnya saya hadir di kota tempat mereka menjalani pendidikan magister, saya selalu punya tempat untuk merepotkan hari-hari mereka.
***
.: 6 jam sebelumnya..."Saya kenal wartawan yang pernah tugas di pengadilan itu. Duh, siapa namanya ya? Saya kok agak lupa..." ujar Pak Barmudin, lelaki yang menjadi penutup perjalanan sejarah saya di Yogyakarta. Ia mencoba mengingat-ingat nama wartawan media saya di zaman 90-an yang bertugas di salah satu kantornya.
Saya nyaris pulang ke Makassar dengan tangan hampa. Pasalnya, seluruh penelusuran di Jogja tak memberikan petunjuk terkait keturunan terakhir pejuang Makassar - disebut Prajuri Daeng - di zaman Kerajaan Mataram itu. Pun, usaha saya bolak-balik keraton tak membuahkan hasil dimana ia tinggal. Saya hanya menjumpai namanya dari penuturan beberapa orang (narasumber) yang bergantian saya sambangi.
Nyatanya, lelaki tua pensiunan hakim itu begitu hangat menyambut saya. Di depan pintu, ia sudah kadung antusias melihat gantungan ID pers yang menunjukkan asal saya. Kehangatan itu seolah menjadi penutup yang cukup manis bagi segala perjuangan saya menjelajah kota Jogja selama empat hari.
"Yah, dulu saya pernah di Makassar jadi hakim. Meskipun lahir dan sekolah disana, saya kuliahnya di Jogja," kisah lelaki yang kini menjadi salah satu petinggi pasukan di keraton Jogja itu. Namanya saja sudah bergelar Kanjeng Raden Tumenggung (KRT).
Lelaki berusia 73 tahun itu begitu akrab di atas meja makan. Meski sedikit sungkan, saya menjajal saja hidangan sate yang disajikan istrinya. Katanya, sang istri merupakan keturunan asli Jogja. Keduanya bertemu saat masa kuliah dulu, lantaran tempat tinggal sang istri tepat berada di sebelah dinding tembok keraton.
"Lha kok, tidak dimakan gado-gadonya tah?" ujar istrinya, melihat sepiring besar gado-gado masih lengkap dengan ulekan pecelnya.
"Inggih (iya, red), Bu. Aku sudah kenyang, kok," balas saya agak sungkan. Sepiring sate dan kupatnya sudah tak bersisa di hadapan saya.
Cerita yang bermula dari depan pintu, ruang tamu, meja makan, hingga ruang tamu itu sungguh melegakan. Saya tak pernah menyangka, kerinduannya dengan kampung halaman membuat Pak Barmudin begitu hangat menyambut saya. Ia yang paham banyak sejarah dan budaya Makassar - Jogja ikut membuka cakrawala berpikir saya. Bahkan, saya yang bukan asli Makassar, harus mengikuti alur sejarah yang menjadi penugasan kantor saya.
"Seandainya waktumu lebih banyak, saya akan ceritakan lebih banyak lagi. Ada banyak referensi juga yang mau saya tunjukkan," ujarnya lagi, masih antusias.
Ia sempat menanyai jadwal keberangkatan pesawat saya. Dengan sedikit menggeser waktunya lebih cepat, saya menjawabnya. Apalagi, redaktur juga sudah mewanti-wanti untuk menyetorkan naskahnya sebelum take off dari Jogja. Jika percakapan berlanjut lebih lama (dan sangat hangat), saya tentu tak punya banyak waktu mengejar deadline tersebut. Tak tahu lagi bagaimana cara mengakhiri obrolan tadi...
Langit juga sudah tak setenang biasanya. Di ujung sana, awan hitam sudah bergerombol menyuarakan isyarat rindunya pada bumi.
***
"Coba hubungi nomor ini......"
Saya menghentikan laju motor pinjaman dari Aan. Sebuah pesan singkat masuk di saat saya sedang memutar gas dan haluan kembali ke arah pusat kota. Saya menyangka tak ada lagi harapan di kota ini.
Tuhan masih berbaik hati. Dari ujung nomor telepon itu, seorang lelaki tua memberikan saya alamat rumahnya secara detail. Dari nada suaranya, ia bahkan cukup ramah jika seandainya harus menjemput pengembaraan saya di kota kediamannya.
"You sekarang ada dimana?" potongan suaranya yang mengingatkan saya pada para inetelek di masa penjajahan kompeni Belanda.
***
Saya kebingungan mencari alamat rumah narasumber penutup ini. Jalan poros sepanjang Jogja - Wonosari telah saya lalui, sembari melirik kiri-kanan jalan. Kali aja ada nama-nama firma hukum yang mengindikasikan pekerjaan pensiunan hakim itu.
Lelaki bernama lengkap Barmudiningrat itu menjadi satu-satunya harapan saya untuk bernapas lega. Sebagai keturunan terakhir Daeng Naba di keraton, ia punya nilai historis yang cukup dalam. Diantara naskah lain yang telah saya tuangkan di kafe langganan setiap malam, ceritanya tentu punya sisi lain. Di samping itu, redaktur saya juga telah berpesan untuk menemukan nama lelaki yang didapatinya disebutkan dalam skripsi seorang mahasiswa asal Jogja.
Google Map memang telah berhasil mengarahkan saya ke jalan lintas kabupaten ini. Sayangnya, petunjuk saya di jalan poros ini tak begitu jelas. Tak ada nama desa yang bisa menjadi pedoman. Nama jalan ini hanya jadi acuan dari ujung telepon Pak Kusumanegara.
Saya kembali patah arang. Ingin rasanya menghubungi lagi Pak Kusumanegara untuk memperjelas nama desa tempat bermukimnya Pak Barmudin. Hanya saja, suaranya bernada enggan di sambungan telepon sebelumnya. Apalagi, ia sudah menyebutkan kesibukannya yang sementara menjalani rapat.
Alhasil, saya hanya bisa bertaruh dengan mengirimkan pesan singkat (sms) padanya. Dijawab atau tidak, hanya soal waktu. Lagi-lagi, karena ini hari terakhir saya di Jogja.
***
.: 10 jam sebelumnya...
"Maaf, Pak. Apa saya tidak bisa minta nomornya? Mungkin bisa saya hubungi saja untuk ditemui dimana gitu..."
Saya sebenarnya sudah dibuat jengkel dengan pegawai (entahlah bagaimana menyebutnya) Tepas Keprajuritan Keraton. Kepala Tepas, Kusumanegara teramat sulit untuk ditemui. Beberapa petunjuk memang mengarahkan saya padanya untuk mengulik tentang sejarah yang dibutuhkan. Akan tetapi, lelaki itu tak pernah berpapasan waktu dengan saya yang sudah bolak-balik menyambangi kantornya (di keraton) sampai empat kali.
Mungkin karena agak segan, pegawainya itu enggan membagikan nomor tersebut. Biasalah, di kultur Kejawaan, adab dan etika memang masih begitu tegas. Apalagi untuk lingkungan keraton yang memang tergolong istimewa daei akar sejarahnya.
Saya nyaris mengubur petunjuk terakhir itu. Tak mau lagi berurusan dengan salah satu petinggi keraton itu.
Akan tetapi, hari terakhir saya di Jogja bakal berakhir beberapa jam lagi. Tentu saja, saya masih butuh beberapa bahan untuk melengkapi naskah saya, yang terasa agak janggal dan menggantung. Jika saya menyerah sekarang, artinya penelusuran saya bakal sia-sia.
Saya memutuskan untuk duduk saja lebih lama di ruang tunggu kantor Tepas Keprajuritan itu. Hampir sejam lamanya memainkan gadget sembari mencari informasi di dunia maya.
Seorang pegawai perempuan mendekati saya. Ia menyerahkan potongan kertas kecil. "Coba saja hubungi beliau di nomor ini. Soalnya dia orangnya sibuk," lanjutnya.
Seperti mendapatkan oase di padang pasir, saya langsung saja menyambungkan telepon ke dua nomor miliknya itu. Langit masih nampak terang, secerah harapan saya.
KRT Nitibarmudiningrat. (Foto: Imam Rahmanto) |
***
Hujan masih terus berlarian di luar sana. Akhir tahun memang sedang berjabat erat dengan cuaca nan sendu. Genangan dan tempias jadi sahabat paling dekat diantara kebisingan kota. Air hujan hanya jadi penumpang bagi selokan beton yang berujung ke sungai.
Keramaian lain tercipta dari atas kafe ini. Argumen mahasiswa beradu dengan dentingan sendok dan piring di atas meja. Tentu, seruput minuman hangat tak bisa memecah suasananya. Akan tetapi, aromanya, sungguh, selalu menjaga saya tetap terjaga. Biasanya, jika sudah berhadapan dengan notebook begini, dua cappuccino tandas begitu saja.
Saya hanya bisa memandangi lalu-lalang kendaraan dari atas teras. Sesekali tempias hujan mengenai wajah. Tak begitu mengesalkan. Sepanjang mata saya menjelajah, ada banyak mahasiswa lainnya di meja yang berbeda. Mereka juga nampak sibuk menuntaskan tugas (atau bahkan rindu) yang tengah menumpuk.
Saya senang menyaksikan keriuhan mereka dari ujung kursi. Meski hanya berbekal satu buku catatan kecil, cappuccino hangat, notebook, dan seorang lelaki yang tak saya kenal di hadapan (yang juga sibuk dengan laptopnya). Barangkali, karena kafe ini sedang ramai, ia tak dapat tempat untuk menyelesaikan tugas kuliahnya. Kesibukan mereka mengingatkan banyak hal di masa kuliah dahulu. Sebagian hal, yang mungkin takkan pernah kembali lagi. Sedikit hal, yang selalu saya rindukan.
Bayangan itu pun sebenarnya adalah kelebatan deadline saya di Jogja, empat jam sebelum menyusun perjalanan ke bandara...
--Imam Rahmanto--
2 comments
Kapan ke Jogja lagi?
BalasHapusWaduh. Itu saya kurang tau lagi, Mase. Lha wong, aku kemarin ke Jogjanya dadakan e.... Hahahaha
Hapus