Mungkin Demam
Desember 08, 2016Baca Juga
Oke, kita berhenti dulu cerita tentang Jogja. Saya sebenarnya tak pernah bosan ingin menjelajah di kota nan damai itu. Akan tetapi, momen nyantai-nyantai seperti itu pasti ada masanya kok. Saya hanya memberi jeda untuk beberapa cerita yang akan tetap berlanjut di seputar Prambanan hingga Keraton.
Sebanyak apa pun kita berharap pada Tuhan, tak boleh menuntut untuk dikabulkan secepat mungkin. Tak perlu ikut-ikutan demo seperti aksi #212 kemarin, bukan?
Tahulah. Negara kita sedang "demam" untuk sementara waktu. Terlalu banyak orang-orang yang "merasa" dirinya pandai, sampai-sampai menunjuk jidat orang lain bodoh. Agama jadi senjata sekaligus tameng atas apa yang dianggapnya benar. Bahkan, namanya kebenaran pun seolah tak memandang etika. Saya tak menyukainya. Bukannya membuat orang semakin dekat dan respek, mereka justru mengkerdilkan agama yang dibawa secara damai ini.
Saya tak pernah menyangkal aksi damai yang bisa mendatangkan banyak massa umat Muslim itu. Hati saya justru tak bisa menahan haru saat melihat orang berbondong-bondong menuju Monas. Banjir pakaian putih dimana-mana, menutupi permukaan jalan di sekitar tugu kebanggaan kota Jakarta. Saya senang. Apalagi, hal itu menjadi pertanda bahwa persaudaraan umat Muslim masih sangat tinggi.
Sayangnya, belakangan ini, memandangi timeline media sosial sama saja dengan mendatangi penampungan sampah, yang bisa menularkan virus-virus penyakit berbahaya. Hal menyenangkan pun bisa diubah menjadi propaganda dan perdebatan.
Ditambah lagi, sekarang yang sedang hangat-hangatnya mengenai persoalan S*ri Roti yang juga menjadi buntut dari aksi damai #212 itu. Mereka-yang-seolah-pemilik-kebenaran, entah bagaimana, malah menyauarakan boikot produk makanan itu. Dianggap kafir. Atau diperhalus sedikit, dianggap produk kafir. Hanya gara-gara produk itu mengklarifikasi tak terlibat dalam aksi "heroik" di Monas? Duh, bangsa ini mbok ya kok semakin dibuat tak berpikir dengan kabar-kabar yang berseliweran di medsos. Miris
Mengapa di saat membaca status lebay kita hanya bisa tersenyum-senyum sendiri, sementara membaca kabar hoax-bin-aneh justru tak bisa berpikir jernih? Tak heran, ada anekdot soal otak bangsa Indonesia yang dihargai sangat mahal dibandingkan otak-otak bangsa Amerika atau Jepang. Otak kita dianggap masih segar, karena tak pernah dipakai berpikir.
Dan euforia kemenangan timnas Indonesia menuju puncak Piala AFF seharusnya bisa menyatukan tujuan pandangan kita. Duka di Aceh sana bisa mengalihkan sedikit perseteruan kita. Atau, setidaknya, pandanglah bencana itu sebagai teguran bagi bangsa yang tengah dirundung "demam" ini....
Sebanyak apa pun kita berharap pada Tuhan, tak boleh menuntut untuk dikabulkan secepat mungkin. Tak perlu ikut-ikutan demo seperti aksi #212 kemarin, bukan?
Tahulah. Negara kita sedang "demam" untuk sementara waktu. Terlalu banyak orang-orang yang "merasa" dirinya pandai, sampai-sampai menunjuk jidat orang lain bodoh. Agama jadi senjata sekaligus tameng atas apa yang dianggapnya benar. Bahkan, namanya kebenaran pun seolah tak memandang etika. Saya tak menyukainya. Bukannya membuat orang semakin dekat dan respek, mereka justru mengkerdilkan agama yang dibawa secara damai ini.
Saya tak pernah menyangkal aksi damai yang bisa mendatangkan banyak massa umat Muslim itu. Hati saya justru tak bisa menahan haru saat melihat orang berbondong-bondong menuju Monas. Banjir pakaian putih dimana-mana, menutupi permukaan jalan di sekitar tugu kebanggaan kota Jakarta. Saya senang. Apalagi, hal itu menjadi pertanda bahwa persaudaraan umat Muslim masih sangat tinggi.
Sayangnya, belakangan ini, memandangi timeline media sosial sama saja dengan mendatangi penampungan sampah, yang bisa menularkan virus-virus penyakit berbahaya. Hal menyenangkan pun bisa diubah menjadi propaganda dan perdebatan.
Ditambah lagi, sekarang yang sedang hangat-hangatnya mengenai persoalan S*ri Roti yang juga menjadi buntut dari aksi damai #212 itu. Mereka-yang-seolah-pemilik-kebenaran, entah bagaimana, malah menyauarakan boikot produk makanan itu. Dianggap kafir. Atau diperhalus sedikit, dianggap produk kafir. Hanya gara-gara produk itu mengklarifikasi tak terlibat dalam aksi "heroik" di Monas? Duh, bangsa ini mbok ya kok semakin dibuat tak berpikir dengan kabar-kabar yang berseliweran di medsos. Miris
Mengapa di saat membaca status lebay kita hanya bisa tersenyum-senyum sendiri, sementara membaca kabar hoax-bin-aneh justru tak bisa berpikir jernih? Tak heran, ada anekdot soal otak bangsa Indonesia yang dihargai sangat mahal dibandingkan otak-otak bangsa Amerika atau Jepang. Otak kita dianggap masih segar, karena tak pernah dipakai berpikir.
Dan euforia kemenangan timnas Indonesia menuju puncak Piala AFF seharusnya bisa menyatukan tujuan pandangan kita. Duka di Aceh sana bisa mengalihkan sedikit perseteruan kita. Atau, setidaknya, pandanglah bencana itu sebagai teguran bagi bangsa yang tengah dirundung "demam" ini....
--Imam Rahmanto--
0 comments