Tekanan
Mei 16, 2016Baca Juga
"Jadi, kamu lebih mementingkan temanmu ketimbang keluargamu?"
Saya benci jika bapak sudah membawa-bawa keluarga dalam percakapannya. Kenyataan bahwa saya tak begitu erat dengan keluarga (terkhusus dirinya) selalu jadi belati yang siap ditusukkan kapan saja. Telinga saya serasa mampet. Tanpa menjauhkan telepon, saya hanya bisa mengernyit jengah dan mendesah pelan. Padahal bapak hanya terbiasa mendengarkan setengah alasan anak sulungnya.
Sejatinya, suara bapak yang menuntut itu serupa tekanan tak kasat mata. Akh, sebenar-benar tekanan memang selalu hanya bisa dirasakan lewat hati. Di balik perintah atau permintaannya, ia selalu menyelipkan sesuatu yang "terselubung". Tahukah apa? Semacam ujian bagi anaknya yang pernah membelot di masa silam.
Atmosfer perasaan saya tetiba berubah jika bapak sudah berbicara keluarga dan segala sesuatunya. Begitu beratnya semua hal itu di kepala. Seolah-olah, saya hendak lari saja dan menghilang, simsalabim, wushh! Namun... paraplegia bapak selalu menjadi pengikat saya agar tetap bertahan atas segala tekanan itu.
Tekanan. Dalam pekerjaan yang saya jalani pun tak lepas dari berbagai macam tekanan. Di internal kantor, kami selalu dicekoki dengan tekanan dari atas. Harus begini, harus begitu. Belum habis lelah terkulai, tugas sudah menyambut.
Desk liputan saya masih jauh lebih "aman". Teramat berbeda dengan anak-anak kriminal yang saban malam berhadapan dengan kepolisian. Sweeping. Penggrebekan. Begadang. Sampai-sampai saya merasa iba melihat salah seorang teman yang kini nampak kelihatan stress bekerja di bagian liputan kriminal.
Pernah suatu kali saya mendapati matanya yang tak lagi segarang biasanya. Memerah. Saking bergerilya di malam hari. Kepalanya terkulai di atas meja ruang tamu kantor. Sapaan (sebenarnya ledekan) "Hai!" dari saya tak lagi dihiraukannya. Padahal, sebelum diputar ke bagian kriminal, teman perempuan itu bekerja di desk olahraga.
Desk kriminal nampaknya punya rekam jejak yang agak ngeri. Saya mengakuinya. Semenjak berstatus wartawan, sudah tiga orang teman yang memilih buang handuk di desk "kelelawar" itu. Entah apa penyebabnya. Saya hanya menduga-duga, tekanan dan tuntutan liputan di dunia kriminal jauh lebih sadis dan tak pernah pandang bulu.
"Jadi, kamu belum tahu kalau dia sudah angkat bendera putih?"
Saya nampaknya sedang terkurung di dunia olahraga tanpa tahu informasi semacam itu. Mulai menyamankan diri. Ternyata, saya lagi-lagi menyadari, yang namanya "cinta" bisa dipaksa agar terbiasa.
Sejauh ini, saya belum merasa banyak tertekan dengan pekerjaan sebagai jurnalis. Mungkin sekadar "tertekan" karena kurang waktu libur, okelah. Itu saja. Yah, sebagaimana saya rindu bisa kesana kemari tanpa pikiran "deadline" menggantung di ubun-ubun kepala. Sekadar menikmati detail-detail setiap momen sederhana. Semisal, pagi dan senja.
Bukankah pekerjaan jurnalistik memang berasal dari kata "press" yang artinya "tekanan" ya? Semakin di-pressing, nampaknya bakal semakin menjiwai dunia jurnalistik. Alih-alih jadi gepeng seperti makanan khas masyarakat kota Makassar, Peppe'. *jadi lapar
Meski pernah diskorsing seminggu, saya tetap membangun tekad baru. Padahal, sejujurnya saya pernah dihadapkan pada dua pilihan untuk mundur atau tetap melangkah. Telinga sudah begitu kebal dengan ledekan-ledekan orang kantor saat menjalani skorsing itu. Mata sudah begitu bebal dengan tatapan cemburu dari orang lain. Katanya, cemburu hanya bagi orang-orang yang tak percaya diri.
Yah, saya sudah terbiasa dengan tekanan. Jauh sebelum menyandang toga, saya kadung paham bagaimana menjengkelkannya dituntut target terlalu banyak. Itu di organisasi kampus, yang tak punya tujuan komersial apa-apa. Kalau senior sudah bicara, tekanan berlipat akan berbanding lurus dengan tingkat kegarangan (atau ketuaan) senior. Akan tetapi, selalu ada teman yang saling menopang.
Tekanan, apapun bentuknya, tak semestinya membuat kita ciut. Semakin banyak belajar, semakin paham bagaimana menahan ego. Justru, tekanan di luar ekspektasi bisa menjadi jalan untuk melampaui keterbatasan diri. Out of the limit. Percaya saja, selama mampu bertahan lebih lama, menebalkan kulit serupa badak, menutup mata, mengatupkan telinga, segalanya bisa berlalu bagai badai dalam lagu Chrisye.
Bukankah menjadi lebih baik, sudah sewajarnya dicapai setiap manusia?
Saya benci jika bapak sudah membawa-bawa keluarga dalam percakapannya. Kenyataan bahwa saya tak begitu erat dengan keluarga (terkhusus dirinya) selalu jadi belati yang siap ditusukkan kapan saja. Telinga saya serasa mampet. Tanpa menjauhkan telepon, saya hanya bisa mengernyit jengah dan mendesah pelan. Padahal bapak hanya terbiasa mendengarkan setengah alasan anak sulungnya.
Sejatinya, suara bapak yang menuntut itu serupa tekanan tak kasat mata. Akh, sebenar-benar tekanan memang selalu hanya bisa dirasakan lewat hati. Di balik perintah atau permintaannya, ia selalu menyelipkan sesuatu yang "terselubung". Tahukah apa? Semacam ujian bagi anaknya yang pernah membelot di masa silam.
Atmosfer perasaan saya tetiba berubah jika bapak sudah berbicara keluarga dan segala sesuatunya. Begitu beratnya semua hal itu di kepala. Seolah-olah, saya hendak lari saja dan menghilang, simsalabim, wushh! Namun... paraplegia bapak selalu menjadi pengikat saya agar tetap bertahan atas segala tekanan itu.
Tekanan. Dalam pekerjaan yang saya jalani pun tak lepas dari berbagai macam tekanan. Di internal kantor, kami selalu dicekoki dengan tekanan dari atas. Harus begini, harus begitu. Belum habis lelah terkulai, tugas sudah menyambut.
Desk liputan saya masih jauh lebih "aman". Teramat berbeda dengan anak-anak kriminal yang saban malam berhadapan dengan kepolisian. Sweeping. Penggrebekan. Begadang. Sampai-sampai saya merasa iba melihat salah seorang teman yang kini nampak kelihatan stress bekerja di bagian liputan kriminal.
Pernah suatu kali saya mendapati matanya yang tak lagi segarang biasanya. Memerah. Saking bergerilya di malam hari. Kepalanya terkulai di atas meja ruang tamu kantor. Sapaan (sebenarnya ledekan) "Hai!" dari saya tak lagi dihiraukannya. Padahal, sebelum diputar ke bagian kriminal, teman perempuan itu bekerja di desk olahraga.
Desk kriminal nampaknya punya rekam jejak yang agak ngeri. Saya mengakuinya. Semenjak berstatus wartawan, sudah tiga orang teman yang memilih buang handuk di desk "kelelawar" itu. Entah apa penyebabnya. Saya hanya menduga-duga, tekanan dan tuntutan liputan di dunia kriminal jauh lebih sadis dan tak pernah pandang bulu.
"Jadi, kamu belum tahu kalau dia sudah angkat bendera putih?"
Saya nampaknya sedang terkurung di dunia olahraga tanpa tahu informasi semacam itu. Mulai menyamankan diri. Ternyata, saya lagi-lagi menyadari, yang namanya "cinta" bisa dipaksa agar terbiasa.
Sejauh ini, saya belum merasa banyak tertekan dengan pekerjaan sebagai jurnalis. Mungkin sekadar "tertekan" karena kurang waktu libur, okelah. Itu saja. Yah, sebagaimana saya rindu bisa kesana kemari tanpa pikiran "deadline" menggantung di ubun-ubun kepala. Sekadar menikmati detail-detail setiap momen sederhana. Semisal, pagi dan senja.
Bukankah pekerjaan jurnalistik memang berasal dari kata "press" yang artinya "tekanan" ya? Semakin di-pressing, nampaknya bakal semakin menjiwai dunia jurnalistik. Alih-alih jadi gepeng seperti makanan khas masyarakat kota Makassar, Peppe'. *jadi lapar
Meski pernah diskorsing seminggu, saya tetap membangun tekad baru. Padahal, sejujurnya saya pernah dihadapkan pada dua pilihan untuk mundur atau tetap melangkah. Telinga sudah begitu kebal dengan ledekan-ledekan orang kantor saat menjalani skorsing itu. Mata sudah begitu bebal dengan tatapan cemburu dari orang lain. Katanya, cemburu hanya bagi orang-orang yang tak percaya diri.
Yah, saya sudah terbiasa dengan tekanan. Jauh sebelum menyandang toga, saya kadung paham bagaimana menjengkelkannya dituntut target terlalu banyak. Itu di organisasi kampus, yang tak punya tujuan komersial apa-apa. Kalau senior sudah bicara, tekanan berlipat akan berbanding lurus dengan tingkat kegarangan (atau ketuaan) senior. Akan tetapi, selalu ada teman yang saling menopang.
Tekanan, apapun bentuknya, tak semestinya membuat kita ciut. Semakin banyak belajar, semakin paham bagaimana menahan ego. Justru, tekanan di luar ekspektasi bisa menjadi jalan untuk melampaui keterbatasan diri. Out of the limit. Percaya saja, selama mampu bertahan lebih lama, menebalkan kulit serupa badak, menutup mata, mengatupkan telinga, segalanya bisa berlalu bagai badai dalam lagu Chrisye.
(Sumber: googling) |
"Jika kamu hanya mengerjakan apa yang kamu bisa, kamu takkan pernah lebih baik," --Shifu, Kungfu Panda
Bukankah menjadi lebih baik, sudah sewajarnya dicapai setiap manusia?
--Imam Rahmanto--
0 comments