Gerbong
Februari 20, 2016Baca Juga
Beberapa waktu lalu, saya baru melepas rindu dengan seorang kawan lama. Akh, disebut melepas rindu juga terlampau melankolis. Tak ada pelukan. Tak ada bincang-bincang serius. Kami bertemu justru saling ledek satu sama lain. Ia yang masih dengan kesendiriannya dan tengah berusaha mendaftarkan diri di salah satu program beasiswa "bergengsi". Sementara saya, dipaksa-paksanya memperkenalkan perempuan misterius yang dilihatnya sempat jadi bahan gosip grup BBM kelas kami. Betapa kau, perempuanku, membuat semua orang di sekitarku agak terkejut, entah takjub atau tak berdaya.
"Aduh. Ternyata tak ada gunanya bertemu kau," ujar teman kuliah saya ini mencela. Apalagi justru saya yang harus ditraktirnya di tengah pergulatannya mencari kerja.
Semula, ia ternyata hendak "memanfaatkan" saya sebagai penyalur ide untuk bahan esai persyaratan beasiswanya. Katanya, ada tes wawancara tentang permasalahan bangsa Indonesia yang sedang hangat dipeebincangkan. Hal itu mesti ia lalui demi meloloskan diri pada beasiswa dari Kementerian Keuangan. Sebagai jurnalis, saya dianggapnya khatam persoalan negeri ini. Ia mengajak diskusi, alih-alih menjajal kemampuan eksaknya.
"Kalau mau tanya soal klub PSM sekarang siapa yang latih? Bagaimana perkembangan pemainnya? Atau soal persiapan beberapa cabang olahraga menjelang Pekan Olahraga Nasional (PON), saya layani deh," elak saya.
Serius. Terlalu lama menukangi desk olahraga membuat saya agak "buta" dengan persoalan-persoalan selain "olahraga". Berita-berita yang sedang booming hanya melintas sekilas lalu saja di kepala. Masyarakat Ekonomi ASEAN. Prostitusi online. Kasus ledakan bom di Thamrin. Kasus kopi Mirna. Perdebatan LGBT. Hingga yang terbaru; penyanyi dangdut jadi tersangka pencabulan.
"Saya kan bukan anak organisasi, jadi tidak paham nanti menjawab hal seperti itu," paparnya lagi.
Saya hanya tertawa mendengar repetan sahabat itu. Ia masih belum banyak berubah. Waktu ternyata tak banyak mengubah perangai kami. Tergolong cerdas (secara matematis) di kelas, tidak lantas memudahkannya mengarungi hidup. Pun, kini ia masih belum memutuskan hendak melanjutkan kehidupannya sebagai apa. Pekerjaan bertahan sampai sekarang, katanya, sebagai guru privat. Padahal saya mengenalnya sebagai anak seorang guru di kampung kelahirannya. Mudah saja jika ia ingin jadi guru. Namun hanya bertaruh saja pada beasiswa itu. Saya malah menganggap sebagai pelarian atas hal yang masih bingung ditapakinya.
Sudahlah. Tak ada adegan menghakimi dalam cerita itu. Saya hanya rindu bercengkerama lagi dengan sahabat-sahabat saya. Mungkin sebagai jalan menyisihkan segala hal sumpek tentang pekerjaan.
Kemarin, saya juga baru saja mencoba meramaikan linimassa twitter. Menyapa teman-teman di seberang pulau yang dulu teramat "ribut" membicarakan blog. Saling pamer dan menantang. Saling melontarkan ejekan dan candaan.
"Kalau ada cuti berkunjunglah ke Bandung atau Jakarta," ajak seorang teman. Saya saja masih ngarep dapat jatah libur, belum tahu kapan.
Akan tetapi, semua juga berlangsung sebentar. Tak lama, kami mesti kembali disibukkan dengan urusan "dunia" masing-masing. Entah itu pekerjaan, sisa-sisa kuliah, atau soal pasangan hidup.
Kini, setiap orang telah sibuk dengan kehidupan dan pekerjaan masing-masing. Kehidupan terus berjalan. Teman-teman yang dulunya saban hari bertemu, mulai menjauh. Wajah-wajah yang dulu penuh ledekan, mulai beralih serius.
Anak-anak, bermain, sekolah, ujian, kuliah, yudisium, wisuda, bekerja, menikah, semua serupa gerbong kereta yang sedang ditumpangi. Kita menumpang di salah satunya. Terus maju ke gerbong berikutnya. Sesekali kita ingin berlama-lama di salah satu gerbong. Sayangnya, jika melewati batas waktu tertentu, "alarm" dari arah depan memperingatkan kita.
Berjalan terus ke gerbong berikutnya. Menyisakan kerinduan. Sekali waktu bersamaan dengan penumpang lainnya. Lain waktu, meninggalkan atau ditinggalkan lebih dulu. Di ujungnya, kita baru sadar hendak kemana. Ternyata, semua kereta hanya punya satu tujuan: Sang Pencipta.
Sementara kita menuju pada tujuan hakiki itu, sudahkah kita memperbaiki diri?
"Aduh. Ternyata tak ada gunanya bertemu kau," ujar teman kuliah saya ini mencela. Apalagi justru saya yang harus ditraktirnya di tengah pergulatannya mencari kerja.
Semula, ia ternyata hendak "memanfaatkan" saya sebagai penyalur ide untuk bahan esai persyaratan beasiswanya. Katanya, ada tes wawancara tentang permasalahan bangsa Indonesia yang sedang hangat dipeebincangkan. Hal itu mesti ia lalui demi meloloskan diri pada beasiswa dari Kementerian Keuangan. Sebagai jurnalis, saya dianggapnya khatam persoalan negeri ini. Ia mengajak diskusi, alih-alih menjajal kemampuan eksaknya.
"Kalau mau tanya soal klub PSM sekarang siapa yang latih? Bagaimana perkembangan pemainnya? Atau soal persiapan beberapa cabang olahraga menjelang Pekan Olahraga Nasional (PON), saya layani deh," elak saya.
Serius. Terlalu lama menukangi desk olahraga membuat saya agak "buta" dengan persoalan-persoalan selain "olahraga". Berita-berita yang sedang booming hanya melintas sekilas lalu saja di kepala. Masyarakat Ekonomi ASEAN. Prostitusi online. Kasus ledakan bom di Thamrin. Kasus kopi Mirna. Perdebatan LGBT. Hingga yang terbaru; penyanyi dangdut jadi tersangka pencabulan.
"Saya kan bukan anak organisasi, jadi tidak paham nanti menjawab hal seperti itu," paparnya lagi.
Saya hanya tertawa mendengar repetan sahabat itu. Ia masih belum banyak berubah. Waktu ternyata tak banyak mengubah perangai kami. Tergolong cerdas (secara matematis) di kelas, tidak lantas memudahkannya mengarungi hidup. Pun, kini ia masih belum memutuskan hendak melanjutkan kehidupannya sebagai apa. Pekerjaan bertahan sampai sekarang, katanya, sebagai guru privat. Padahal saya mengenalnya sebagai anak seorang guru di kampung kelahirannya. Mudah saja jika ia ingin jadi guru. Namun hanya bertaruh saja pada beasiswa itu. Saya malah menganggap sebagai pelarian atas hal yang masih bingung ditapakinya.
Sudahlah. Tak ada adegan menghakimi dalam cerita itu. Saya hanya rindu bercengkerama lagi dengan sahabat-sahabat saya. Mungkin sebagai jalan menyisihkan segala hal sumpek tentang pekerjaan.
@dianz28 @Imam_Rahmanto haha iya udah pada sibuk. Kalo balik keburu capek dan tepar lalu tidur haha. Yeay liputan dmna diaan— Ai chintya ratnawati (@Aichintya) February 18, 2016
Kemarin, saya juga baru saja mencoba meramaikan linimassa twitter. Menyapa teman-teman di seberang pulau yang dulu teramat "ribut" membicarakan blog. Saling pamer dan menantang. Saling melontarkan ejekan dan candaan.
"Kalau ada cuti berkunjunglah ke Bandung atau Jakarta," ajak seorang teman. Saya saja masih ngarep dapat jatah libur, belum tahu kapan.
Akan tetapi, semua juga berlangsung sebentar. Tak lama, kami mesti kembali disibukkan dengan urusan "dunia" masing-masing. Entah itu pekerjaan, sisa-sisa kuliah, atau soal pasangan hidup.
***
Kini, setiap orang telah sibuk dengan kehidupan dan pekerjaan masing-masing. Kehidupan terus berjalan. Teman-teman yang dulunya saban hari bertemu, mulai menjauh. Wajah-wajah yang dulu penuh ledekan, mulai beralih serius.
Anak-anak, bermain, sekolah, ujian, kuliah, yudisium, wisuda, bekerja, menikah, semua serupa gerbong kereta yang sedang ditumpangi. Kita menumpang di salah satunya. Terus maju ke gerbong berikutnya. Sesekali kita ingin berlama-lama di salah satu gerbong. Sayangnya, jika melewati batas waktu tertentu, "alarm" dari arah depan memperingatkan kita.
Berjalan terus ke gerbong berikutnya. Menyisakan kerinduan. Sekali waktu bersamaan dengan penumpang lainnya. Lain waktu, meninggalkan atau ditinggalkan lebih dulu. Di ujungnya, kita baru sadar hendak kemana. Ternyata, semua kereta hanya punya satu tujuan: Sang Pencipta.
Sementara kita menuju pada tujuan hakiki itu, sudahkah kita memperbaiki diri?
--Imam Rahmanto--
0 comments